Fajar baru saja menyingsing. Embun masih menempel di dedaunan bambu yang tumbuh rapat di belakang rumah pusaka. Udara pagi terasa lembab menusuk kulit, dingin yang berbeda dari pagi biasanya.
Sukma, seperti biasa, adalah orang pertama yang bangun. Matanya masih terasa berat, tapi ia sudah terbiasa bangun lebih awal sejak di rumah orang tuanya. Ia melipat selimut, merapikan tempat tidur seadanya, lalu menuju kamar mandi yang berada di sisi timur rumah.
Pintu kayu itu berderit saat dibuka. Begitu kaki telanjangnya menyentuh lantai dingin, Sukma sedikit bergidik. Ia menggantung handuk, menyalakan keran air, dan membasuh wajah. Airnya dingin sekali, seolah berasal dari sumur yang dalam.
Saat Sukma selesai mandi dan hendak berwudhu, tiba-tiba terdengar suara lirih dari luar jendela kamar mandi yang tertutup rapat. Suara itu merambat pelan, tapi jelas—suara sinden. Alunan tembang Jawa yang lembut, mendayu-dayu, seakan sedang mengiringi wayang kulit.
Sukma terdiam. Air wudhu masih menetes di tangannya. Dadanya terasa bergetar. Ia menarik napas panjang lalu beristighfar.
“Astaghfirullahaladzim…”
Ia memilih melanjutkan wudhunya, tak ingin larut dalam rasa takut. Begitu selesai, ia kembali ke kamar dan menunaikan salat Subuh. Namun, ketika sujud terakhir, suara sinden itu kembali terdengar—kali ini berbeda. Nadanya lirih, seperti tangisan yang menyayat hati.
Sukma merapatkan doa, lalu menutup salat dengan salam. Tubuhnya sedikit gemetar, tapi ia menenangkan diri. “Solat dulu yang utama. Yang lain bisa nanti,” gumamnya.
Setelah itu, ia menuju dapur. Pintu kayu berderit lagi, aroma kayu tua bercampur bau arang yang tersisa dari tungku lama. Sukma mulai menyiapkan sarapan sederhana: nasi goreng kampung, telur dadar, dan teh panas.
Saat sedang mengiris bawang, suara itu datang lagi. Suara sinden, tapi kali ini seperti berbisik di telinganya sendiri. Kata-kata yang tak jelas, namun terasa menusuk. Sukma menggenggam pisau lebih erat, lalu menoleh ke belakang. Tak ada siapa pun.
“Bismillah… bismillah…” Sukma berulang kali berzikir pelan, berusaha menepis perasaan aneh yang menghampiri.
Jarum jam menunjukkan pukul 7.30 pagi. Sarapan sudah siap. Sukma mengelap tangannya di celemek, lalu berjalan ke ruang tengah. Dengan suara lembut ia membangunkan teman-temannya satu per satu.
“Di… Yan… Indah… ayo bangun. Sarapan udah siap.”
Indah menggeliat sambil menarik selimut. Yanto langsung ngedumel, “Sarapan? Cepet amat… gue baru enak mimpi, sumpah.”
Adi bangun lebih dulu, menepuk pundak Yanto. “Dasar tukang tidur. Kalau disuruh ngerjain proyek juga pasti banyak alasan.”
Yanto mendengus. “Ealah, bos… masih pagi gini udah ceramah aja.”
Melihat wajah-wajah kantuk mereka, tiba-tiba Sukma mendapat ide nakal. Ia menundukkan kepala, lalu menatap mereka satu per satu dengan tatapan kosong, sambil berkata dengan suara datar:
“Kowe kabeh… wis nglanggar adat. Kowe kabeh kudu tak iket ing angkara murka…”
(Kalian semua… sudah melanggar adat. Kalian semua harus kuikat dalam angkara murka…)
Indah langsung pucat, mulutnya terbuka tanpa suara. Yanto mendekap bantal sambil berteriak kecil, “Astaga Sukmaaa! Jangan gituuuu!”
Adi sempat terdiam sejenak, tapi begitu melihat ekspresi teman-temannya, ia malah ngakak. “Hahaha, parah banget! Muka kalian kayak abis liat hantu beneran.”
Sukma akhirnya tertawa keras, wajahnya berubah ceria. “Hahaha, guyon kok… ojo di anggep serius! Ora ono racune, kabeh aman.”
(Hahaha, bercanda kok… jangan dianggap serius! Nggak ada racunnya, semuanya aman.)
Indah yang tadinya ketakutan langsung mencubit pundak Sukma keras-keras. “Kamu tuh ya! Hampir aja aku pingsan, dasar jahat!”
Tawa pun pecah memenuhi ruang tengah, sedikit menepis hawa aneh yang sejak tadi melingkupi rumah pusaka itu. Namun, jauh di dalam hati Sukma, ia tahu… suara sinden tadi bukanlah hal biasa.
Share this novel