Matahari mulai naik, sinarnya menembus sela-sela jendela rumah pusaka. Udara desa terasa segar, berbeda jauh dengan hiruk pikuk kota. Setelah sarapan sederhana buatan Sukma, mereka duduk di ruang tengah untuk menentukan rencana hari itu.
"Gini aja," ujar Adi sambil menggaruk kepalanya, "aku sama Sukma bersihin halaman belakang sekalian catat kondisi luar rumah. Yanto sama Indah, kalian periksa ruang musik, siapa tahu ada alat musik yang bisa kita dokumentasikan."
"Loh, kenapa aku harus sama dia?" Indah langsung menunjuk Yanto dengan wajah cemberut.
"Walah, enak aja. Aku kan asik orangnya," Yanto membalas dengan terkekeh, membuat Indah makin manyun.
Sukma hanya menghela napas sambil tersenyum tipis. "Udah, jangan ribut. Nanti kerjaan malah nggak kelar."
Mereka pun berpencar sesuai tugas.
---
Sosok Wanita Misterius
Di halaman belakang, Sukma membantu Adi membersihkan ranting dan mencatat detail ukiran kayu jati di dinding rumah. Namun tiba-tiba, langkah Sukma terhenti. Matanya menangkap sosok wanita tua berbusana kemben coklat lusuh. Wanita itu berjalan perlahan membawa sesajen-bunga, kemenyan, dan kendi kecil berisi air.
Yang membuat Sukma merinding, wanita itu berhenti sejenak. Ia menunduk dalam-dalam, seolah memberi hormat kepadanya. Senyumnya samar, tapi tatapannya tajam, seakan tahu siapa Sukma sebenarnya. Lalu ia berbalik dan menghilang di balik rumpun bambu.
Sukma terdiam, tubuhnya gemetar. "Kamu... kamu lihat itu, Di?"
Adi mengernyit. "Lihat apa?"
Sukma menelan ludah. "Nggak... nggak jadi."
---
Insiden Ruang Musik
Jeritan Indah tiba-tiba memecah udara tenang. Sukma dan Adi sontak berlari masuk ke rumah. Di ruang musik, Indah berdiri di depan pintu, wajahnya pucat, napasnya tersengal.
"Kenapa?!" Adi mendekat.
Indah hanya menunjuk ke dalam ruangan dengan tangan gemetar.
Di dalam, Yanto berdiri membelakangi mereka, tubuhnya kaku. Wilaga berada di tangannya, dan senyum tipis terukir di bibirnya.
"Yanto?" panggil Adi, hati-hati. Ia melangkah pelan lalu menepuk pundak Yanto.
BRAK!
Yanto tiba-tiba menoleh cepat, lalu... terkekeh. "Hahaha! Wajah kalian kocak banget! Aku cuma bercanda, bro. Indah sampe hampir nangis gitu."
"Candaanmu kelewatan!" Adi mendengus, lega tapi kesal. "Sampe bikin Indah takut setengah mati."
Indah mendelik sambil menyeka air matanya. "Dasar keterlaluan! Kalau aku pingsan beneran gimana?!"
Yanto mengangkat kedua tangan. "Oke, oke... aku minta maaf."
Ia meletakkan wilaga ke tempat semula. Namun tanpa sengaja, salah satu bonang terketuk pelan. Suaranya sangat lirih, hampir tak terdengar-tapi cukup untuk membuat Sukma merasakan bulu kuduknya meremang.
---
Kedatangan Mas Bayu & Mbah Surya
Ketika suasana masih tegang, terdengar ketukan di pintu depan. "Assalamualaikum..." suara Mas Bayu menggema.
Adi buru-buru berjalan ke ruang tengah dan melihat kearah pintu. Mas Bayu berdiri di sana, wajahnya ramah seperti biasa, namun kali ini ia tidak sendiri. Di sampingnya ada seorang pria tua berambut putih, membawa tongkat kayu. Wajahnya penuh keriput tapi matanya tajam berwibawa.
Suasana ruang tengah rumah pusaka itu mendadak berubah tenang ketika Mbah Surya melangkah masuk. Tongkat kayu di tangannya terdengar "tok... tok..." tiap kali menjejak lantai kayu jati tua. Sorot matanya tajam namun teduh, seperti seorang kakek yang penuh wibawa sekaligus menyimpan rahasia yang dalam.
Mas Bayu tersenyum sambil menoleh ke sahabat-sahabat itu.
"Ini, Mbah Surya. Beliau yang paling dituakan di desa ini. Kalau ada apa-apa, beliau yang biasanya dimintai pertolongan."
Adi yang biasanya keras kepala kali ini lebih dulu maju. Ia menunduk sopan.
"Selamat pagi, mbah. Monggo pinarak, mbah." (Silakan masuk, mbah.)
Mbah Surya mengangguk pelan, lalu duduk di kursi bambu yang ada di sudut ruang tengah. Tatapannya beralih satu per satu: ke Adi yang tegas, ke Indah yang masih terlihat gugup, ke Yanto yang berusaha menyembunyikan rasa takutnya dengan senyum tipis, lalu terakhir berhenti di Sukma. Senyum tipis itu muncul, tapi segera berlalu, meninggalkan kesan yang tak terjelaskan.
"Aku ngerti, omah iki wis suwé ora dienggoni." (Aku tahu, rumah ini sudah lama tidak ditinggali.)
"Tapi saiki, omah iki kudu dijaga. Sampeyan kabeh sing kapilih kanggo urip sakdurunge ing kene."
(Tapi sekarang, rumah ini harus dijaga. Kalianlah yang dipilih untuk tinggal sementara di sini.)
Indah menelan ludah, lalu berbisik pada Adi. "Dipilih... maksudnya apa?"
Adi hanya menggeleng pelan, tidak ingin memperpanjang pertanyaan di hadapan sesepuh.
Mbah Surya menatap mereka lagi.
"Ojo sembrono. Omah iki ora mung papan kosong. Ana sing ndeleng, ana sing ngrungokke."
(Jangan sembarangan. Rumah ini bukan sekadar tempat kosong. Ada yang melihat, ada yang mendengarkan.)
Yanto yang biasanya santai mendadak kehilangan kata-kata. Ia refleks menunduk, mengusap tengkuknya yang tiba-tiba dingin.
Mas Bayu segera menengahi. "Tenang saja, mbah cuma mengingatkan. Biar anak-anak ini hati-hati."
Sukma yang dari tadi diam hanya bisa meremas ujung bajunya. Kalimat Mbah Surya terasa menggetarkan jiwanya. Ia tidak tahu kenapa, tapi kata-kata itu seperti diarahkan khusus kepadanya.
Mbah Surya kemudian melanjutkan dengan nada sedikit lebih ringan.
"Sampeyan kabeh kudu guyub. Yen ana apa-apa, aja dijupuk pancingane. Ojo gampang kepancing nesu utawa wedi. Sing penting rukun lan eling marang Gusti."
(Kalian semua harus kompak. Kalau ada apa-apa, jangan terpancing. Jangan mudah marah atau takut. Yang penting tetap rukun dan ingat pada Tuhan.)
Keempat sahabat itu mengangguk bersamaan, meskipun dalam hati masing-masing menyimpan rasa was-was.
Sebelum berpamitan, Mbah Surya berdiri pelan dengan bantuan tongkatnya. Ia menoleh sekali lagi ke arah mereka, lalu berkata singkat:
"Sing sabar lan ojo sembrono. Dina iki mung wiwitan."
(Bersabarlah dan jangan sembarangan. Hari ini baru permulaan.)
Mas Bayu menepuk bahu Adi sambil tersenyum, berusaha mencairkan suasana yang sedikit tegang. "Sudah, jangan dipikir berat. Anggap saja mbah memberi wejangan supaya kalian lebih hati-hati. Ayo, aku antar mbah pulang dulu."
Mbah Surya mengangguk tipis, lalu berjalan perlahan keluar bersama Mas Bayu. Namun, sebelum benar-benar meninggalkan teras, ia sempat berhenti sebentar, menoleh ke arah rumah pusaka itu-pandangan yang dalam, seperti berbicara dengan sesuatu yang tak terlihat oleh mata manusia.
Pintu menutup pelan. Suasana hening. Hanya detak jam tua di dinding yang terdengar jelas.
Yanto langsung menghela napas panjang, lalu bersuara dengan nada dibuat-buat ceria.
"Ck... serem amat tadi. Kayak lagi diinterogasi sama dosen killer. Aku sampe lupa mau nafas, lho."
Indah, yang sedari tadi menahan rasa takut, melotot ke arahnya.
"Yan! Jangan ngomong sembarangan deh! Dibilang tadi kan... ada yang ndelok, ada yang ngrungokke."
(Yan! Jangan asal ngomong! Kan tadi dibilang... ada yang melihat, ada yang mendengarkan.)
Adi menepuk pelan bahu Yanto.
"Udahlah. Guyonanmu kelewatan. Aku sendiri agak merinding dengar kata-kata mbah. Bener-bener beda auranya."
Yanto meringis kecil. "Ya habis gimana... aku kan kalo tegang malah pengennya bercanda."
Indah mencubit lengan Yanto. "Makanya kamu bikin aku makin takut!"
Sukma dari tadi diam, hanya menatap kosong ke arah pintu yang baru saja tertutup. Dalam hatinya, ada sesuatu yang mengganjal. Tatapan Mbah Surya barusan... seolah menyampaikan pesan yang tidak bisa diucapkan dengan kata-kata.
Adi melirik Sukma yang masih termenung. "Kamu kenapa, Suk?"
Sukma tersentak kecil, lalu memaksakan senyum tipis. "Nggak... nggak apa-apa. Aku cuma mikir, kayaknya kita beneran harus hati-hati."
Indah langsung merapat ke samping Sukma, menyandarkan kepalanya di bahu sahabatnya itu.
"Iya... aku setuju sama Sukma. Aku nggak mau ada hal aneh-aneh kejadian."
Yanto mencoba menutup rasa gugup dengan berceloteh. "Tenang aja... ada aku, jagoan desa. Hantu pun kalo lihat wajah gantengku bakal mundur."
"Plak!" Adi menepuk kepala Yanto.
"Jagoan apaan. Baru tadi aja wajahmu pucet kayak kain kafan pas Mbah Surya ngomong."
Mereka semua akhirnya tertawa kecil, meski tawa itu lebih terdengar seperti upaya untuk melawan rasa takut yang diam-diam merambat di hati mereka.
Namun jauh di dalam dada Sukma, rasa itu tidak bisa ditertawakan. Ada bisikan halus yang ia rasakan, seolah suara samar yang berkata:
"Iki dudu mung omah kosong, ndok..."
(Ini bukan sekadar rumah kosong, anakku...)
Share this novel