Langit malam gelap pekat. Bulan hanya separuh, tersembunyi di balik awan tebal. Angin berhembus dingin, membawa aroma tanah basah bercampur kemenyan yang mulai dibakar.
Dewan megah kini tampak berbeda. Semua gamelan yang dipindahkan sore tadi tersusun rapi di tengah ruangan, seakan menunggu dimainkan. Obor-obor bambu dipasang di sekeliling, cahayanya bergetar diterpa angin malam. Bayangan obor menari-nari di dinding kayu, menambah suasana mencekam.
Mbah Surya duduk bersila di depan bonang yang serpihannya pernah diambil Yanto. Di tangannya ada sebuah kendi berisi air bunga tujuh rupa, dan di depannya tersaji sesaji lengkap: tumpeng kecil, kembang setaman, serta dupa yang mengepul.
Mas Bayu berdiri menjaga di samping, sesekali memandang ke arah anak-anak muda itu.
Indah memeluk lututnya, wajahnya masih pucat.
Adi menunduk, tidak berani menatap gamelan yang berjejer.
Yanto berusaha tegar, meski keringat dingin membasahi pelipisnya.
Sukma duduk agak ke belakang, merapatkan selendangnya, berdoa dalam hati.
Tiba-tiba, suara kentongan dari jauh terdengar tiga kali, tanda bahwa warga desa sudah masuk rumah masing-masing. Desa benar-benar senyap, hanya dewan megah yang hidup dengan cahaya obor dan bau dupa.
Mbah Surya mulai bersuara, lirih namun mantap.
Mbah Surya (Jawa, menunduk):
> “Kita ora mung ngadhepi bayangan. Nanging uga ngadhepi warisan dosa sing wis suwé ora diruwat. Wengi iki, kabeh kudu wani lan ikhlas.”
(Terjemahan: “Kita tidak hanya berhadapan dengan bayangan. Tapi juga menghadapi warisan dosa yang sudah lama tidak diruwat. Malam ini, semua harus berani dan ikhlas.”)
Angin bertiup lebih kencang. Dari arah gamelan, terdengar suara lirih seperti bilah saron dipukul pelan, padahal tak seorang pun menyentuhnya. Indah spontan menjerit kecil, tapi Mas Bayu menenangkannya.
Lalu, gamelan lain ikut berdenting, satu per satu, membentuk irama samar. Seolah-olah ada tangan tak kasat mata yang sedang mempersiapkan pesta.
Adi (berbisik, gemetar): “Mbah… itu… itu kan gamelan main sendiri?”
Mbah Surya membuka matanya perlahan.
Mbah Surya (Jawa, dalam):
> “Wis wayahe. Dheweke wis ngerti yen kita teka.”
(Terjemahan: “Sudah waktunya. Mereka sudah tahu kita datang.”)
Suara gamelan makin jelas, berubah menjadi tabuhan seperti sebuah hajatan besar. Namun alih-alih meriah, irama itu terdengar muram, seperti menyambut arwah yang haus dendam.
Mbah Surya menutup matanya, lalu mulai melantunkan mantra kuno dengan suara berat bergetar. Irama mantranya menyatu dengan suara gamelan yang makin nyaring, seolah ada ratusan penabuh yang tak kasat mata.
Asap dupa menebal, memenuhi dewan megah dengan aroma mistis. Obor berderak, nyalanya kadang redup, kadang berkobar tinggi seperti tertiup angin tak wajar.
Indah yang sejak tadi duduk pucat mulai menggigil. Tubuhnya tiba-tiba menegang, matanya mendelik ke atas, lalu terdengar jeritan panjang dari mulutnya.
Indah (suara parau, keras):
> “Kowe kabeh wani ngganggu pesta kawula? Iki dudu gaweanmu!”
(Terjemahan: “Kalian berani mengganggu pestaku? Ini bukan urusan kalian!”)
Adi langsung berlari mendekat, tapi Mas Bayu menahan bahunya.
Mas Bayu: “Jangan! Itu bukan Indah lagi.”
Tubuh Indah bergerak liar, seperti boneka yang ditarik-tarik oleh kekuatan gaib. Tangannya menari patah-patah, mengikuti irama gamelan yang semakin cepat.
Sementara itu, Sukma yang duduk di belakang mendadak terpaku. Suara gamelan baginya terdengar berlapis-lapis, seperti datang dari dimensi lain. Pandangannya kabur, matanya mulai berat, dan napasnya terengah.
Perlahan, Sukma merasa tubuhnya terlepas dari kesadaran. Suasana di sekelilingnya memudar, berganti dengan sebuah balairung megah. Lampu minyak berderet, penari-penari Jawa dengan wajah datar bergerak serentak, dan di tengahnya… Indah terbaring, persis seperti yang pernah Yanto mimpikan.
Sukma mencoba melangkah, tapi kakinya seakan berat, seperti terikat oleh tanah. Di telinganya terdengar lagi bisikan halus, sama seperti malam sebelumnya:
Suara halus:
> “Kowe saiki wis mlebu, Nak… Iki dudu panggonanmu, nanging mung kowe sing bisa nyekseni. Elinga, salah siji saka kancamu wis nglanggar.”
(Terjemahan: “Sekarang kamu sudah masuk, Nak… Ini bukan tempatmu, tapi hanya kamu yang bisa menyaksikan. Ingat, salah satu dari temanmu sudah melanggar.”)
Sukma menutup matanya rapat, istighfar lirih. Namun semakin ia melawan, semakin kuat tarikan gaib itu menyeretnya lebih dalam ke dunia bawah sadar.
Di dunia nyata, tubuh Sukma tampak kaku, matanya kosong menatap gamelan, sementara Indah masih meraung keras di bawah pengaruh kerasukan.
Mbah Surya membuka matanya, wajahnya serius.
Mbah Surya (Jawa, tegas):
> “Ora kena loro-lorone! Yen padha terus kepenak, bakal ana sing ora bali.”
(Terjemahan: “Tak boleh dua-duanya! Kalau mereka terus larut, akan ada yang tak kembali.”)
Obor bergetar, suara gamelan semakin menggila, dan ritual malam itu baru saja mencapai puncaknya.
Tubuh Sukma yang sejak tadi kaku tiba-tiba bergerak sendiri. Matanya masih kosong, tapi langkah kakinya mantap, perlahan maju ke depan hingga berdiri di hadapan deretan gamelan.
Adi dan Yanto terperangah, ingin menahan Sukma, tapi Mas Bayu mengangkat tangan memberi isyarat untuk diam. Mereka hanya bisa menatap dengan wajah cemas.
Sukma berhenti tepat di depan bonang, persis di mana Mbah Surya sedang duduk bersila. Lalu, ia mengangkat tangannya tinggi-tinggi… dan seketika, suara gamelan berhenti total.
Hening. Begitu hening hingga deru napas semua orang terdengar jelas. Asap dupa menggantung berat, seakan takut bergerak.
Dengan suara lembut tapi penuh wibawa, Sukma berkata kepada Mbah Surya:
Sukma (suara Nyai, lembut):
> “Ojo kuatir, Surya. Saiki aku sing njaga awaké. Sukma ora piyambakan.”
(Terjemahan: “Jangan khawatir, Surya. Sekarang aku yang menjaga dirinya. Sukma tidak sendirian.”)
Mbah Surya menunduk hormat, wajahnya penuh hormat sekaligus lega.
Mbah Surya (lirih, Jawa):
> “Nyai… kulo ngaturaken panuwun.”
(Terjemahan: “Nyai… saya menghaturkan terima kasih.”)
Namun, suasana damai itu hanya bertahan sekejap.
Indah, yang tubuhnya masih dikuasai roh asing, mendadak berdiri dengan gerakan patah-patah. Matanya melotot penuh amarah, bibirnya tersenyum sinis. Suaranya parau bercampur tawa dingin.
Indah (keras, menuding Nyai dalam tubuh Sukma):
> “Heh, Nyai! Ojo campur urusanku! Iki hakku! Aku ora bakal lunga nganti nyawa sing dakkarepke dadi kagunganku!”
(Terjemahan: “Hei, Nyai! Jangan ikut campur urusanku! Ini hakku! Aku tidak akan pergi sampai nyawa yang kuinginkan menjadi milikku!”)
Api obor bergejolak tinggi, gamelan bergetar pelan meski tak disentuh, dan udara di dewan megah mendadak kembali mencekam.
Nyai dalam tubuh Sukma menatap Indah dengan tenang, seolah amarah itu tak menyentuhnya.
Indah tiba-tiba menjerit dengan suara yang menggema di seluruh ruangan.
Indah (keras, parau):
> “MAINKEEEEN!!!”
Sekejap kemudian, alat-alat musik gamelan itu bergetar sendiri, seolah digerakkan tangan-tangan tak kasat mata. Bunyi saron terdengar lirih, diikuti kenong dan kendang yang bertalu perlahan.
Awalnya pelan… tetapi semakin lama, iramanya makin cepat, makin keras, seperti ada kenduri besar tak kasat mata yang sedang berlangsung.
Langit yang tadinya mendung, kini pecah oleh hujan deras. Petir menyambar bergantian, menerangi dewan megah dengan kilatan putih yang membuat bayangan di dinding tampak menari liar.
Adi memegang lengan Yanto erat-erat, wajah keduanya pucat pasi.
Mas Bayu hanya bisa menahan napas, bersiap jika keadaan tak terkendali.
Sementara itu, Nyai dalam tubuh Sukma berdiri tegak. Pandangannya yang lembut namun tajam tertuju langsung pada Indah yang meronta dengan tawa gila.
Sesaat kemudian, Nyai mengalih pandangannya ke arah Mbah Surya.
Tatapan itu tidak diiringi kata, tapi penuh makna.
Mbah Surya menunduk sedikit, mengerti akan pesan itu.
Ia lalu merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada, menggumamkan doa-doa kuno dengan lirih, bersiap menghadapi apa yang akan terjadi selanjutnya.
Suasana menjadi titik tegang yang tak tertahankan—antara dua kekuatan yang saling menguji di bawah dentuman gamelan gaib.
Dari tubuh Indah, perlahan muncul bayangan hitam pekat. Mula-mula samar, lalu semakin jelas, menjelma seperti sosok-sosok tanpa wajah yang mengelilinginya sambil berputar.
Dewan Megah terasa berat. Udara mendadak pengap, seolah dipenuhi bisikan dan desahan dari banyak suara yang tak terlihat. Suasana sepi—tapi sekaligus ramai—penuh gema gaib yang menekan dada setiap orang di dalamnya.
Mbah Surya menatap dalam ke arah Indah. Sorot matanya tajam, penuh kewaspadaan.
Sementara itu, Nyai dalam tubuh Sukma mulai mendekati Indah dengan langkah tenang, meski udara di sekelilingnya bergetar.
Share this novel