Keheningan itu tiba-tiba pecah oleh lolongan anjing dari kejauhan. Suaranya panjang, serak, dan terdengar seperti rintihan.
"Auuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu…"
Semua serentak menoleh, wajah-wajah mereka memucat.
“Anjing siapa ya? Kok suaranya ngeri banget,” gumam Indah sambil merapatkan selimut ke tubuhnya.
Tak lama setelah lolongan itu, samar-samar terdengar bunyi gamelan dari arah hutan. Pelan, tak teratur, seakan hanya sepotong melodi yang dimainkan lalu menghilang.
Dung… ting… dung… ting…
Adi menegakkan tubuhnya. “Kalian denger kan?” suaranya menurun, hampir berbisik.
Yanto menelan ludah. “Iya… kayak gamelan… tapi suaranya kayak… nggak jelas. Antara ada dan nggak ada.”
Indah gelisah, matanya berputar ke segala arah. “Jangan bercanda, Yan. Mana ada orang main gamelan malam-malam gini di tengah hutan.”
Namun suara itu datang lagi. Kali ini lebih jelas, seakan-akan dekat dengan dinding rumah mereka. Disusul lolongan anjing kedua, yang lebih nyaring, seperti menjerit kesakitan.
Sukma yang sejak tadi diam, memeluk kedua tangannya. Ada sesuatu yang bergetar dalam dirinya—seperti sinyal yang hanya bisa dia rasakan.
“Mungkin… ada yang nggak suka kita di sini,” ucapnya lirih, hampir tak terdengar.
Semua menoleh ke arah Sukma. Tatapan matanya kosong, seperti bicara tanpa sadar.
Yanto mencoba mengalihkan suasana dengan candaan, meski suaranya terdengar kaku. “Eh, kalau tiba-tiba ada yang mainin gamelan beneran di depan pintu, gimana? Kita suruh masuk aja sekalian biar rame.”
Indah mendelik. “Yan, sumpah kalau kamu bercanda lagi aku bisa nangis beneran.”
Namun candaan Yanto tak mampu menghapus rasa mencekam. Suara-suara itu datang dan pergi, silih berganti—lolongan, gamelan, lalu senyap kembali.
Seakan ada sesuatu di luar sana yang sedang memperhatikan mereka, mencoba mengusik tapi belum menunjukkan wujudnya.
Malam itu jadi malam pertama di rumah pusaka di mana mereka semua tidak bisa tidur dengan tenang.
Setelah suara gamelan dan lolongan anjing mereda, mereka akhirnya mencoba memejamkan mata. Rasa takut yang masih menempel dipaksa ditepis oleh kelelahan. Satu per satu terlelap, meski hati masih penuh was-was.
Jam berdetak 1.40 dini hari. Rumah pusaka itu sunyi, hanya terdengar deru angin yang menyusup lewat celah kayu jati tua.
Tanpa mereka sadari, Adi, Yanto, dan Indah tiba-tiba memasuki sebuah mimpi yang sama.
Mereka berdiri di tengah balai agung yang megah, berlantai marmer hitam, diterangi obor yang berjajar di setiap sudut. Di depan mereka, deretan penari Jawa dengan kostum kebesaran bergerak serentak, anggun namun terasa menyeramkan. Suara gamelan mengalun keras, jauh lebih nyata dibanding yang sempat mereka dengar sebelum tidur.
Adi menoleh kanan-kiri, wajahnya pucat.
“Ini… apa? Kok kita di sini bareng-bareng?”
Yanto menggenggam lengan Indah yang bergetar. “Aku… aku nggak ngerti. Tapi ini mimpi kan? Kan?”
Indah menutup telinganya, matanya berkaca-kaca. “Kenapa gamelannya keras banget… aku nggak tahan…”
Mereka semua saling berpegangan, bingung harus berlari atau tetap di tempat. Dari kejauhan, seorang sinden mulai menyanyi. Suaranya melengking, indah namun penuh duka, seolah meratapi sesuatu yang tak terlihat.
Sementara itu…
Sukma tidak bermimpi.
Tidurnya begitu tenang, namun tubuhnya sedikit bergerak di atas tikar, seperti mengikuti irama gamelan yang hanya terdengar dalam mimpi ketiga sahabatnya. Bibirnya bergerak-gerak, seolah melantunkan sesuatu yang tak dipahami.
Jam terus berjalan. Tepat pukul 2.45 dini hari, ketiga sahabat itu terbangun serentak. Nafas mereka terengah-engah, peluh dingin membasahi wajah. Mereka saling berpandangan tanpa kata, menyadari sesuatu: mereka baru saja bermimpi hal yang sama.
Hanya Sukma yang masih terlelap, tenang seakan tak terjadi apa-apa.
“Kenapa… kenapa kita bisa mimpi yang sama?” bisik Indah sambil memeluk lututnya. Suaranya gemetar.
Adi menggeleng cepat. “Aku nggak tahu. Tapi… itu jelas bukan mimpi biasa.”
Yanto masih terdiam. Wajahnya pucat, bibirnya bergerak tapi tak ada kata yang keluar. Tangannya gemetar hebat.
Mereka bertiga menoleh ke arah Sukma, yang masih terlelap. Anehnya, wajah Sukma begitu tenang. Nafasnya teratur, seolah tidak terusik apa pun.
Tiba-tiba, tubuh Sukma bergerak perlahan. Tangannya terangkat, kakinya melangkah ringan di atas lantai kayu. Ia bangun tanpa membuka mata, dan dengan gerakan anggun namun menyeramkan, Sukma mulai menari seperti penari Jawa. Jemari lentiknya meliuk, tubuhnya melingkar, persis seperti sedang menarikan tarian sakral.
Adi menelan ludah, berusaha menahan rasa takut. “Sukma…?” panggilnya pelan.
Namun Sukma tak menjawab.
Kepalanya menoleh perlahan, dan saat matanya terbuka, sorot tajam keluar dari sana—bukan pandangan Sukma yang mereka kenal.
Dengan suara lembut tapi tegas, Sukma berbicara:
> “Ana ing antarane kowe kabeh sing njupuk barang dudu duweke. Elinga, kowe teka dadi tamu. Ojo mulih dadi mayit!”
(“Ada di antara kalian yang mengambil sesuatu yang bukan miliknya. Ingat, kalian datang sebagai tamu. Jangan pulang sebagai jenazah!”)
Ketiga sahabat itu membeku. Indah menutup mulutnya, hampir menjerit.
Sukma terus menari perlahan, langkahnya mendekat ke arah mereka. Setiap hentakan kakinya terdengar seperti gema yang memantul di dinding rumah pusaka. Hingga akhirnya tubuhnya melemas, jatuh tak sadarkan diri di depan mereka.
Adi segera berlari mendekat, memeluk bahu Sukma. “Sukma! Sadar, Suk!”
Yanto menatap dengan mata membelalak, lalu dengan suara gemetar berkata, “Kita… kita harus panggil Mbah Surya sekarang juga!”
Yanto benar-benar nggak bisa diam lagi. Setelah melihat Sukma terkulai pingsan, ia merasa seolah jantungnya mau copot. Adi menahan, tapi Yanto tetap bersikeras.
Adi buru-buru berdiri. “Yan! Gila kamu ya? Jam segini?!”
“Daripada aku mati kaget gara-gara temen sendiri nari kayak kuntilanak, mending aku mati di jalan, Di!” balas Yanto, setengah panik setengah bercanda.
Yanto sudah keburu melangkah keluar, hanya bermodalkan senter kecil dari ponselnya. Begitu pintu kayu berderit menutup, angin malam langsung menyergap tubuhnya. Suasana desa begitu sunyi, hanya suara jangkrik dan sesekali lolongan anjing terdengar dari kejauhan.
--
Mencari Mbah Surya
Sambil berjalan, Yanto terus ngoceh sendirian, berusaha menenangkan diri.
“Ya Allah… apa yang aku lakuin ini? Tengah malam, sendirian, nyari orang tua sakti… mana rumahnya juga nggak tahu persis. Kalo aku kesasar terus ketemu tuyul minta pulsa, gimana coba?”
Langkahnya makin cepat. Cahaya bulan sesekali menyoroti jalan tanah yang becek karena hujan tadi. Sesekali dia hampir terpeleset.
“Lha kok licin banget ini jalan… Kayak hati Indah kalo aku godain. Eh—astaghfirullah, kok masih sempet mikirin cewek sih!” Yanto menepuk kepalanya sendiri.
Tiba-tiba dari balik semak terdengar suara ranting patah. Krek!
Yanto langsung meloncat mundur. “Astaghfirullahaladzim! Jangan nongol ya, wewe gombel! Aku lagi nggak bawa bekal!”
Senter ponselnya diarahkan ke semak itu… ternyata seekor kambing lewat sambil mengembik pelan.
“Hadeh… kambing, oh kambing. Hampir aja jantungku copot gara-gara kamu. Untung bukan pocong yang nyari pinjaman duit.”
Yanto menepuk dada sendiri, lalu buru-buru melanjutkan langkah. Ia berlari kecil, sambil terus bergumam doa seadanya.
Akhirnya, setelah beberapa menit, terlihat rumah joglo sederhana dengan lampu minyak masih menyala redup di terasnya. Yanto menelan ludah. “Alhamdulillah… semoga ini rumahnya Mbah Surya. Kalau bukan… ya wassalam, Yan…”
Dengan tangan gemetar, Yanto mengetuk pintu kayu tua itu. Tok tok tok!
“Assalamualaikum… Mbah? Ini… Aryanto… tolong buka, Mbah! Sukma kesurupan! Aku takut aku ikut jadi korban, Mbah!”
Tak lama, pintu berderit terbuka, menampakkan sosok Mbah Surya dengan pakaian hitam sederhana. Tatapannya tenang, meski jelas terkejut melihat Yanto datang tengah malam begini.
“Nak Yanto… opo sing kelakon? Kowe teko jam segini kok ndredeg koyo kebo adus udan?”
(Nak Yanto… ada apa? Kamu datang jam segini kok gemetaran kayak kerbau abis mandi hujan?)
Yanto nyaris menangis lega. “Mbah… tolong ikut saya. Cepet, Mbah! Sukma barusan nari-nari kayak penari Jawa tapi serem banget. Abis itu jatuh pingsan! Aku takut, Mbah… aku takut kalo tiba-tiba giliran aku yang digendong sama genderuwo!”
Mbah Surya hanya menghela nafas panjang, lalu mengambil tongkat kayunya. “Wis, ayo ndok. Ojo rame dhisik. Kabeh kudu tenang.”
(Sudah, ayo nak. Jangan ribut dulu. Semua harus tenang.)
Yanto mengangguk cepat. “Tenang gimana, Mbah? Aku aja tadi di jalan hampir mati ketemu kambing!”
Mbah Surya menatapnya sebentar, lalu tersenyum tipis. “Kowe iki, Yan… pancen ora owah. Kambing wae nggawe kowe meh mati.”
(Kamu ini, Yan… memang nggak berubah. Kambing saja bikin kamu hampir mati.)
--
Mbah Surya menutup pintu rumahnya perlahan, tongkat kayu di tangan, lalu berjalan berdampingan dengan Yanto. Malam semakin pekat, kabut tipis turun, membuat suasana jalan desa itu kian menyeramkan.
Yanto mencoba menutupi rasa takutnya dengan ngomong terus-terusan.
“Mbah… kok bisa ya saat saya lagi takut, saya masih bisa keluar dan mencari rumah sampeyan".
Mbah Surya tersenyum samar.
“Wong sing paling akeh omong iku sing biasane paling gampang digerakno. Kowe wes kebacut, Yan.”
(Orang yang paling banyak ngomong biasanya paling gampang digerakkan. Kamu sudah terlanjur, Yan.)
Yanto menghela napas panjang. “Heh… iya sih Mbah, tapi jujur aja, hati ini nggak siap. Kalo di jalan tiba-tiba ada pocong melompat, bisa-bisa aku langsung lari ninggalin sampeyan, Mbah!”
Mbah Surya terkekeh kecil. “Pocong iku ora iso mlumpat adoh. Sing mbok wedeni kuwi imajinasimu dewe.”
(Pocong itu nggak bisa lompat jauh. Yang kamu takuti itu imajinasimu sendiri.)
Yanto langsung berhenti melangkah. “Serius Mbah?! Jadi kalau pocong nongol, aku bisa lari lebih kenceng daripada dia?”
“Yo mesthi. Nanging nek kowe kesandhung, ya kelar urusane.”
(Ya pasti. Tapi kalau kamu tersandung, ya selesai urusannya.)
Yanto langsung menatap ke tanah, memastikan nggak ada batu. “Astagfirullah… semoga jalanan rata ya Allah.”
Mereka melanjutkan perjalanan. Suara burung malam terdengar dari pepohonan, menambah seram suasana. Yanto mendekatkan tubuhnya ke arah Mbah Surya.
“Mbah… sampeyan nggak takut jalan malam-malam gini? Saya aja jujur merinding. Rasanya kayak ada yang ngikutin dari belakang.”
Mbah Surya hanya melirik ke arahnya. “Sing ngancani awake dhewe iki luwih akeh tinimbang sing kowe pikir.”
(Yang menemani kita ini lebih banyak dari yang kamu kira.)
Yanto menelan ludah. “Ngancani? Maksudnya… ada makhluk lain yang ikut jalan bareng kita, Mbah?”
Mbah Surya hanya tersenyum tanpa menjawab.
Yanto langsung menunduk, mempercepat langkah. “Ya Allah… aku nggak siap kalo barengan rombongan tuyul!”
Beberapa meter kemudian, suara gemericik sungai terdengar. Kabut di atas permukaan air membuat suasana makin mistis. Yanto spontan menempel ke sisi Mbah Surya.
“Mbah, boleh saya pegangan tangan sampeyan nggak? Sumpah, saya takut keseleo jatuh ke sungai.”
Mbah Surya menggeleng pelan. “Yan, kowe iku lanang. Ojo nggenteni kaya cah wedok.”
(Yan, kamu itu laki-laki. Jangan manja kayak anak perempuan.)
Yanto meringis. “Iya Mbah, tapi kalo saya jatuh terus tenggelam, siapa yang tanggung jawab? Masa arwah saya gentayangan jadi setan sungai, kan repot juga…”
Mbah Surya berhenti sejenak, menatap Yanto dalam. “Yan… nek kowe pancen mati disek, aku yakin sukmamu ora tenang. Kowe bakal dadi hantu sing isine guyonan wae.”
(Yan… kalau kamu mati duluan, aku yakin rohmu nggak akan tenang. Kamu bakal jadi hantu yang isinya cuma bercandaan aja.)
Yanto melongo. “Mbah! Jangan gitu, Mbah! Masa saya jadi hantu stand-up comedy?! Hii… amit-amit.”
Mereka terus berjalan. Semakin dekat ke rumah pusaka, semakin sering Yanto menoleh ke kanan kiri. Ada kalanya ia seperti melihat bayangan hitam di balik pepohonan.
“Mbah… tadi ada yang ngintip nggak sih? Saya sumpah tadi lihat bayangan gerak-gerak di situ.”
Mbah Surya berhenti sejenak, menatap ke arah pepohonan yang sama. Lalu beliau hanya berkata pelan,
“Wes… ojo dipikir. Wong-wong kuwi mung kancamu sing ora katon.”
(Sudah… jangan dipikirkan. Mereka itu cuma temanmu yang tak terlihat.)
Yanto langsung pucat. “Teman saya?! Sejak kapan saya punya teman makhluk halus, Mbah? Saya aja sama Indah masih sering berantem, apalagi sama yang nggak kelihatan!”
Mbah Surya tersenyum tipis lagi, lalu melanjutkan langkah. Yanto mau protes lagi, tapi buru-buru menutup mulutnya sendiri karena takut kalau kebanyakan ngomong malah makin banyak makhluk yang mendengar.
Jarak rumah pusaka sudah terlihat samar-samar di ujung jalan. Tapi langkah Yanto terasa berat. Jantungnya berdetak kencang, keringat dingin bercucuran.
“Mbah… kita udah dekat kan? Saya takut sukma tiba-tiba kesurupan lagi terus ngejar saya kayak film horor.”
Mbah Surya hanya menjawab singkat, “Wis cedhak. Sabar. Ngko kabeh bakal ngerti apa sing sakjane kelakon.”
(Sudah dekat. Sabar. Nanti semua akan mengerti apa yang sebenarnya terjadi.)
Kedatangan Mbah Surya
Pintu rumah pusaka itu berderit pelan ketika Yanto membukanya. Nafasnya masih ngos-ngosan setelah perjalanan menjemput Mbah Surya.
“Silakan, Mbah…” suara Yanto terdengar serak, antara lega dan masih diliputi rasa takut.
Mbah Surya melangkah masuk perlahan, tongkat kayu menjejak lantai kayu tua, menghasilkan bunyi tok… tok… tok yang terdengar jelas di tengah kesunyian malam. Aroma dupa samar yang melekat pada tubuhnya langsung bercampur dengan bau lembab rumah pusaka itu.
Adi dan Indah yang sejak tadi duduk gelisah di ruang tengah segera berdiri. Wajah mereka pucat.
Share this novel