Bab 11- (Sambungan)

Thriller Completed 11

Bayangan hitam yang tadinya menari dengan liar tiba-tiba berhenti, lalu berkerumun di sekitar Indah, menutupinya seperti kabut tebal.

Indah terhuyung, wajahnya berkeringat dingin. Suaranya terdengar lirih, penuh kepasrahan—namun ada suara lain yang ikut menguasainya.

Indah (lirih, menangis, bahasa Jawa):

> “Suk… tulung aku… aku wedi… aku kesel…”
(Suk… tolong aku… aku takut… aku capek…)

Suara lain (menggeram, bahasa Jawa):

> “Meneng kowe!! Kowe duweke aku!!”
(Diam kau!! Kau milikku!!)

Tiba-tiba, aroma bunga kantil dan melati memenuhi ruangan. Wangi itu begitu menusuk, seolah membuka jalan bagi energi lain yang masuk.

Sukma—atau tepatnya Nyai dalam dirinya—mengulurkan tangan, membelai lembut wajah Indah. Suaranya halus, menenangkan, tapi penuh kekuatan.

Nyai (lembut, bahasa Jawa):

> “Balenono sing wis kowe jupuk, Nduk… Lawanen napsumu dewe. Kuwi dudu hakmu… kuwi duweke wong-wong mau… dudu hakmu, Nduk Indah.”
(Pulangkan apa yang kau ambil, Nak… Lawan nafsumu sendiri. Itu bukan hakmu… Itu hak mereka… bukan hakmu, Nak Indah.)

Indah menggigil, tubuhnya bergetar hebat, sementara bayangan hitam semakin menekan, tak rela melepaskan

Indah menangis kesakitan, tubuhnya tersentak-sentak, namun kakinya masih menari patah-patah, seperti ada kekuatan yang memaksa sendi-sendinya bergerak.

Dari sisi gelap, terdengar suara mengeram, keras namun bergema dalam batin Indah.

Suara gaib (dalam bahasa Jawa halus, bergema):

> “Kowe bakal tetep ana ing angkara murka! Kowe kudu ngladeni wong-wong kuwi kabeh nganggo tarianmu… sejengkal demi sejengkal tanah iki!”
(Kau akan tetap berada dalam angkara murka! Kau akan melayani mereka semua dengan tarianmu… sejengkal demi sejengkal tanah ini!)

Indah terisak keras, suaranya pecah:

Indah (menangis, terbata-bata):

> “Ampuniii aku!! Aku bakal mbalekke hakmu! Lepasken aku!!”
(Maafkan aku!! Aku akan pulangkan hakmu! Lepaskan aku!!)

Suasana berubah semakin mencengkam. Petir menyambar-nyambar, kilat membelah langit, sementara Dewan Megah terasa berguncang oleh gaung gaib.

Mbah Surya duduk tegak, matanya tetap terpejam, lalu membuka perlahan. Ia memanggil pelan namun penuh wibawa:

Mbah Surya:

> “Di… Adi… jupukno kothak kayu sing ana ing sisihku.”
(Adi… ambilkan kotak kayu yang ada di sisiku.)

Mas Adi segera meraih kotak kayu kecil berukir kuno yang sudah disiapkan sejak awal. Tangannya sedikit bergetar.

Mbah Surya lalu berbisik halus ke telinga Mas Bayu:

Mbah Surya (lirih):

> “Wektune wis tekan… saiki kudu dibalekke.”
(Sudah waktunya… sekarang harus dikembalikan.)

Mas Bayu menerima kotak itu dengan hormat. Ia membuka perlahan, matanya menatap isi kotak. Namun tiba-tiba wajahnya berubah pucat.

Mas Bayu (bingung, lirih):

> “Mbah… cincine kok ora ana?!”
(Mbah… cincinnya kok tidak ada?)

Mbah Surya hanya tersenyum tipis, matanya tetap tajam menatap ke arah gamelan.
Senyum itu mengandung rahasia yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang paham tanda.

Mas Bayu menelan ludah, lalu akhirnya mengerti. Senyum itu bukan sekadar jawaban, melainkan tanda bahwa sesuatu telah mendahului mereka.

Dengan hati-hati, Mbah Surya memberi instruksi:

Mbah Surya (tegas, tapi tenang):

> “Yen ngono… lebokna wae kothak iki ing ngarep gamelan.”
(Kalau begitu… letakkan saja kotak ini di hadapan gamelan.)

Mas Bayu mengangguk pelan, lalu melangkah maju ke tengah ruangan. Semua mata mengikuti gerakannya. Kotak kayu itu bergetar halus seolah ada daya yang menolaknya, namun Mas Bayu tetap teguh.

Ia meletakkan kotak kayu itu di hadapan gamelan—dan seketika ruangan bergetar lebih kuat, suara gamelan berdentum sendiri meski tak ada yang memainkannya.

Nyai yang bersemayam dalam tubuh Sukma berjalan perlahan, menuntun Indah dengan lembut. Tangannya menyentuh bahu Indah, dan seketika gerakan liar Indah mereda meski wajahnya masih meringis kesakitan.

Nyai (lembut, tersenyum):

> “Lepasken, Nak Indah… mbalekna sing dudu hakmu.”
(Lepaskan, Nak Indah… kembalikan yang bukan hakmu.)

Indah menunduk, matanya berkaca-kaca. Dengan tubuh yang gemetar, ia mengangkat tangannya perlahan ke arah saku jaketnya. Seolah ada beban berat yang menahan, tapi dengan bimbingan Nyai, ia berhasil merogoh sesuatu dari dalam.

Dari saku itu, Indah mengeluarkan sebuah cincin berwarna kecokelatan, berbatu delima merah yang bercahaya samar seakan hidup.

Adi dan Yanto terpaku kaget.

Mereka saling pandang, wajah pucat. Pertanyaan muncul dalam benak mereka: “Kapan Indah mengambil cincin itu? Bagaimana mungkin bisa ada padanya?”

Dengan tangan bergetar, Indah menunduk dan meletakkan cincin itu ke dalam kotak kecil di hadapan gamelan.

Seketika, Mbah Surya berseru lantang:

> “Bayu!! Tutup kotake saiki!!”
(Bayu!! Tutup kotaknya sekarang!!)

Mas Bayu sigap menutup kotak kayu itu, dan tepat saat tutupnya rapat, deruan angin mendadak mengamuk di dalam Dewan Megah. Tirai-tirai tipis berterbangan, api pelita hampir padam, dan suara jeritan Indah melengking tinggi, bercampur dengan suara lain yang menolak dilepaskan.

Kotak kecil itu bergegar kuat, bergetar seolah ada sesuatu yang berusaha keluar kembali. Namun perlahan… semakin mereda.

Suara gamelan yang tadi menggelegar sendiri, satu demi satu menghilang, hingga tinggal gema samar yang kemudian lenyap sepenuhnya. Angin berputar menurun, lalu berhenti, meninggalkan keheningan yang mencekam.

Indah terjelupuk pingsan di lantai, tubuhnya lemah, tapi wajahnya tampak lebih tenang.

Nyai dalam Sukma memandang ke arah Mbah Surya, senyumnya lembut namun penuh makna.

Nyai (lirih, tegas):

> “Wis rampung kabeh. Hanyutna kothak iku menyang segara… aja nganti ana manungsa sing njupuk maneh.”
(Semuanya sudah selesai. Hanyutkan kotak itu ke laut… jangan sampai ada manusia lain yang mengambilnya lagi.)

Mbah Surya mengangguk dalam-dalam, paham betul pesan itu bukan sekadar anjuran, melainkan titah gaib yang tak boleh dilanggar.

Hening meliputi seluruh Dewan Megah setelah kotak kecil itu ditutup. Hanya tersisa suara hujan rintik di luar dan deru napas mereka yang masih terengah.

Nyai dalam tubuh Sukma menatap satu per satu wajah yang ada di hadapannya—Mbah Surya, Mas Bayu, Adi, Yanto, dan Indah yang masih tak sadarkan diri.

Dengan suara lembut namun berwibawa, Nyai menyampaikan pesannya:

Nyai (lembut tapi tegas):

> “Elingo, nak kabeh. Sing dudu hakmu aja kok gowo mulih. Amarga saben gamelan, saben gending, saben bunyi… nduweni nyowo lan penjaga. Yen ana sing wani nyolong, nyawane sing dadi taruhan.”
(Ingatlah, anak-anakku. Jangan pernah membawa pulang sesuatu yang bukan hakmu. Sebab setiap gamelan, setiap gending, setiap bunyi… memiliki jiwa dan penjaga. Jika ada yang berani mencurinya, maka nyawalah yang jadi taruhannya.)

Tatapan Nyai beralih ke arah Mbah Surya.

> “Wis wayahe ritual lawas iku digelar maneh. Wong-wong desa kudu eling, aja nganti ilang kepercayaane.”
(Sudah saatnya ritual lama itu dilakukan kembali. Warga desa harus sadar, jangan sampai hilang kepercayaannya.)

Kemudian Nyai menatap ke arah Adi dan Yanto yang masih terpaku.

> “Kowe loro isih enom… nanging ati kudu resik. Aja nganti rasa penasaranmu nggawa cilaka kanggo kowe lan kancamu.”
(Kalian berdua masih muda… tapi hati kalian harus bersih. Jangan sampai rasa penasaran membawa celaka bagi kalian dan teman-temanmu.)

Terakhir, Nyai menunduk menatap Indah yang tergeletak lemah. Suaranya berubah sangat halus, penuh kasih sayang.

> “Nak Indah… wes cukup. Aja nganti kowe ngulang salah sing podo. Yen atimu resik, ora ana sing iso nguwasani awakmu.”
(Nak Indah… sudah cukup. Jangan sampai kau mengulang kesalahan yang sama. Jika hatimu bersih, tak ada yang bisa menguasai tubuhmu.)

Setelah pesan itu terucap, wajah Sukma mendadak pucat. Senyum Nyai perlahan memudar, matanya terpejam. Tubuhnya goyah, lalu jatuh pingsan tepat di samping Indah.

Mas Bayu segera melangkah cepat untuk menopang Sukma, sementara Yanto dan Adi tergopoh membantu mengangkat Indah.

Mbah Surya hanya menghela napas panjang, wajahnya serius namun tenang.

> “Wis wayahe istirahat. Sakdurunge wengi tekan maneh, awake kudu disiapke.”
(Saatnya beristirahat. Sebelum malam tiba lagi, tubuh kita harus dipersiapkan.)

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience