Mentari pagi menembus celah-celah jendela rumah pusaka. Cahaya keemasan perlahan masuk, menerangi ruang tengah tempat Adi, Yanto, Indah, dan Sukma masih tertidur pulas. Wajah mereka tampak letih, tubuh terasa berat, kewalahan setelah kejadian mencekam semalam.
Di dapur, Mas Bayu sudah bangun lebih awal. Tangannya sibuk menanak nasi, menggoreng tempe, dan menyiapkan sayur hangat sederhana untuk sarapan. Aroma masakan mulai menyebar ke seluruh rumah, sedikit mengusir hawa dingin yang masih tersisa dari malam itu.
Di sudut dapur, Mbah Surya duduk tenang di kursi bambu, tongkatnya disandarkan ke meja. Beliau menyesap kopi hitam panas dari cangkir tanah liat, matanya sesekali memandang ke arah luar jendela yang berkabut tipis.
Mbah Surya (pelan, bahasa Jawa):
> “Bayu, panganan sing anget kuwi becik. Wong enom butuh tenaga sawisé kedadeyan wingi wengi.”
(Terjemahan: “Bayu, makanan hangat itu baik. Anak-anak muda butuh tenaga setelah kejadian semalam.”)
Mas Bayu:
> “Inggih, Mbah. Aku sengaja masak luwih akeh, supaya awaké dewe iso sarapan bareng. Biar suasana rada lega.”
(Terjemahan: “Iya, Mbah. Aku sengaja masak lebih banyak, supaya kita bisa sarapan bersama. Biar suasana agak lega.”)
Mbah Surya hanya mengangguk, menyeruput lagi kopi hitamnya dengan tenang, meski sorot matanya menyiratkan banyak hal yang masih disimpan rapat.
---
Membangunkan Anak-anak
Setelah masakan siap, Mas Bayu berjalan ke ruang tengah. Ia berjongkok, menepuk pelan bahu Yanto yang masih meringkuk di tikar.
Mas Bayu: “Bangun, Dik. Ayo, sudah pagi. Sarapan sudah siap.”
Yanto menggeliat malas, wajahnya masih kusut.
Yanto: “Hmm… kayak habis sparing sama setan semalaman, Mas…”
Mas Bayu hanya tersenyum tipis, lalu menepuk bahu Adi yang langsung membuka mata.
Adi: “Mas… Indah sama Sukma gimana? Masih tidur?”
Mas Bayu mengangguk, lalu menepuk lembut lengan Sukma. Gadis itu perlahan membuka mata, menatap kosong ke langit-langit sebelum akhirnya bangkit duduk. Wajahnya masih pucat, jelas pikirannya belum lepas dari bisikan yang ia dengar semalam.
Indah yang terakhir terbangun, tubuhnya lemas, namun matanya sudah tidak lagi merah seperti semalam. Ia sempat menatap bingung ke arah teman-temannya, seolah tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya.
Mas Bayu (menenangkan):
> “Sudah… ayo, kumpul di dapur. Makan dulu. Setelah itu, baru kita bicara.”
Perlahan, mereka semua bangkit. Aroma nasi hangat dan tempe goreng dari dapur seolah memanggil mereka, membawa sedikit rasa tenang setelah malam panjang yang penuh kengerian.
Sebelum duduk di meja makan, mereka meminta izin untuk membersihkan diri terlebih dahulu. Wajah lelah masih tampak jelas, tapi air wudhu dan sedikit basuhan membuat mereka lebih segar.
Setelah mencuci muka dan berganti pakaian sederhana, mereka satu per satu kembali ke ruang makan.
Indah berjalan paling terakhir. Saat melangkah keluar dari kamar, ia baru sadar ada garis merah tipis di betisnya, mirip bekas cakaran kuku. Garis itu seolah masih menyisakan rasa perih dingin. Indah menatapnya sesaat, lalu menarik napas panjang dan menutupinya dengan celana panjang. Ia memilih diam, tak ingin membuat teman-temannya panik.
---
Meja Makan
Orang pertama yang duduk di meja adalah Adi, disusul Yanto, lalu Sukma. Indah akhirnya duduk paling akhir, agak menunduk.
Suasana meja makan terasa hening. Hanya terdengar suara sendok beradu dengan piring dan aroma nasi hangat yang baru matang. Tidak ada yang berani membicarakan apa pun tentang semalam.
Yanto, seperti biasa, mencoba mencairkan suasana.
Yanto (dengan tawa hambar):
> “Iki yo lucu, awake dhewe mangan bareng neng omah wingit, kaya acara camping. Bedane, kancane setan sing melu.”
(Terjemahan: “Ini lucu juga, kita makan bareng di rumah angker, seperti acara camping. Bedanya, temannya setan yang ikut.”)
Sukma tersenyum tipis, Indah hanya menunduk, dan Adi mendengus kecil. Meski terdengar ringan, canda Yanto tetap menyisakan rasa canggung.
Di ujung meja, Mbah Surya menyelesaikan kopi hitamnya, lalu berkata dengan suara berat.
Mbah Surya (bahasa Jawa, pelan):
> “Rampung dhisik manganmu. Sawisé kuwi, kabeh kumpul neng ruang tengah. Ono perkara sing kudu tak rembug.”
(Terjemahan: “Selesaikan dulu makanan kalian. Setelah itu, semua kumpul di ruang tengah. Ada hal penting yang harus kubicarakan.”)
Mereka berempat saling pandang, tak ada yang berani menjawab.
Ruang Tengah
Setelah sarapan selesai, mereka berkumpul di ruang tengah. Suasana terasa dingin, meski sinar matahari sudah menembus kaca jendela. Tikar digelar, dan mereka duduk melingkar menghadap Mbah Surya dan Mas Bayu.
Mbah Surya menatap mereka satu per satu dengan sorot mata tajam dan penuh wibawa. Tongkat kayunya digenggam erat, seperti penopang sekaligus tanda kuasa.
Mbah Surya (tenang, dalam bahasa Jawa):
> “Wingi wengi wis ana sing teka, nggawa tandha lan bebaya. Saiki wektu kanggo ngerti sapa sing wis gawe salah.”
(Terjemahan: “Semalam sudah ada yang datang, membawa pertanda dan bahaya. Sekarang waktunya untuk mengetahui siapa yang sudah berbuat salah.”)
Beliau menundukkan kepala sebentar, lalu mengangkat wajah, pandangannya jatuh ke arah Yanto.
Mbah Surya:
> “Yanto… kowe sing sepisanan tak takoni.”
(Terjemahan: “Yanto… kamu yang pertama akan kutanyai.”)
Jantung Yanto berdegup kencang. Ia menelan ludah, tubuhnya sedikit kaku, sementara teman-temannya menoleh padanya dengan wajah tegang.
Pertanyaan Pertama
Di ruang tengah, suasana begitu hening. Hanya suara ayam jantan dari kejauhan terdengar, sesekali angin bertiup lewat celah jendela.
Yanto duduk gelisah, kedua tangannya saling meremas. Pandangan Mbah Surya yang tajam tapi penuh wibawa membuatnya tak berani menatap langsung.
Mbah Surya menghela napas panjang, lalu berkata dengan nada lembut:
Mbah Surya (Jawa, tenang):
> “Yanto… aku ora bakal nuduh sapa-sapa. Ning aku kudu ngerti, opo ana barang sing kowe gowo saka omah iki utawa saka desa iki, sing dudu kagunganmu?”
(Terjemahan: “Yanto… aku tidak akan menuduh siapa pun. Tapi aku harus tahu, apakah ada benda yang kau bawa dari rumah ini atau dari desa ini, yang bukan milikmu?”)
Yanto menunduk, keringat dingin mulai muncul di pelipisnya. Ia menggigit bibir, mencoba mengingat-ingat.
Yanto (gugup):
“E-eh… barang? Maksudnya, kayak apa, Mbah? Aku cuma bawa kamera, buku catatan, sama baju… itu aja.”
Mbah Surya tetap menatapnya, kali ini dengan sorot mata yang dalam, seakan bisa membaca isi hati. Tapi suaranya tetap halus.
Mbah Surya (Jawa, perlahan):
> “Kowe eling-eling apik-apik. Kadang barang cilik sing ora kowe kira penting, iku sing nyebabke geger.”
(Terjemahan: “Ingat-ingat baik-baik. Kadang benda kecil yang tidak kau anggap penting, justru itulah yang bisa menimbulkan kekacauan.”)
Sukma, Indah, dan Adi memperhatikan dengan wajah tegang. Indah tanpa sadar menggenggam ujung bajunya erat-erat, sementara Adi hanya menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri.
Yanto menunduk semakin dalam, hatinya diliputi rasa bersalah walau ia belum yakin apa yang dimaksud Mbah Surya.
Benda yang Terlupakan
Yanto masih menunduk, wajahnya pucat pasi. Tiba-tiba matanya melebar seolah teringat sesuatu. Ia menelan ludah, jantungnya berdegup kencang.
Yanto (lirih, nyaris berbisik):
“…Mbah… aku… aku baru inget. Waktu perjalanan ke desa ini… aku sempat nemu barang kecil di jalan setapak dekat hutan.”
Mbah Surya menajamkan pandangan, namun tetap tenang.
Mbah Surya (Jawa, dalam):
> “Yanto… gawanen saiki barang kuwi. Aja ditundha maneh.”
(Terjemahan: “Yanto… ambil sekarang barang itu. Jangan ditunda lagi.”)
Dengan tangan gemetar, Yanto berdiri lalu bergegas ke kamar. Teman-temannya menatap penuh tanya, sementara Mas Bayu dan Mbah Surya saling pandang seolah sudah menduga.
Share this novel