Jeep tua itu akhirnya berhenti setelah menempuh jalan tanah yang berliku, dikelilingi pohon jati dan bambu yang bergemerisik tertiup angin. Bayu yang duduk di kursi depan bersama adi yang lagi mengemudi, menoleh ke arah mereka sambil tersenyum tipis.
"Nah, ini dia... omah pusaka sing tak critakake mau."
(Nah, inilah rumah pusaka yang tadi aku ceritakan.)
Empat sahabat itu hampir bersamaan menegakkan tubuh mereka, menatap bangunan yang berdiri anggun namun menyeramkan di tengah halaman luas.
Rumah itu terbuat dari kayu jati tua, berwarna cokelat gelap, dengan ukiran-ukiran halus di setiap pintu dan jendelanya. Atap joglo menjulang, sebagian gentengnya sudah ditumbuhi lumut. Dari sela papan lantai, aroma khas kayu basah bercampur debu menyeruak, membuat dada mereka terasa berat.
"Wuih... gede banget, ya," gumam Yanto sambil menggaruk tengkuknya. "Tapi kok rasanya kayak... ada yang ngeliatin kita dari tadi."
Indah refleks merapat ke samping Sukma, wajahnya menegang. "Jangan ngomong gitu ah, Yan! Aku merinding tau!"
Adi terkekeh kecil, mencoba mencairkan suasana. "Dasar penakut. Belum apa-apa udah ngibrit duluan. Ini cuma rumah tua, ndah.. nggak ada apa-apanya."
Tapi Sukma diam saja. Tatapannya dalam, seakan menembus dinding-dinding kayu rumah itu. Ada sesuatu yang bergetar di hatinya, tapi ia memilih menahan, tak ingin menakut-nakuti teman-temannya.
Bayu turun lebih dulu, menepuk kap mobil.
"Kabeh podo mudhun disik. Nanging eling, ojo sembrono. Iki omah pusaka, akeh sing njaga, ora kethok ning ana."
(Kalian turun dulu. Tapi ingat, jangan sembrono. Ini rumah pusaka, banyak yang menjaga, tidak terlihat tapi ada.)
Mereka saling pandang, lalu menuruti. Begitu kaki menginjak tanah halaman, hawa dingin seakan menyusup masuk ke pori-pori kulit. Suara burung hantu terdengar sayup dari kejauhan.
Adi berdehem. "Maksudnya banyak yang jaga... itu siapa, Mas Bayu?"
Bayu hanya tersenyum samar. "Besok sampeyan bakal ngerti dewe."
(Besok kalian akan paham sendiri.)
Yanto pura-pura batuk kecil, menepuk pundak Adi. "Tuh, Di... katanya nggak ada apa-apa. Sekarang siapa yang merinding?"
"Dasar rese," sahut Adi ketus, tapi matanya sendiri tak lepas dari ukiran pintu rumah pusaka yang tampak seperti wajah-wajah menatap.
Mereka pun masuk. Pintu kayu besar itu berderit panjang, memantul di dalam ruangan yang luas. Udara lembab, bercampur bau dupa yang samar, seakan masih tersisa dari ritual-ritual lama.
"Serius... ini rumah atau museum horor?" bisik Indah, sambil memeluk lengan Sukma.
Sukma tersenyum tipis, meski wajahnya pucat. "Tenang aja. Kalau kita sopan, nggak bakal ada yang ganggu kok."
Bayu menuntun mereka ke ruang tengah, menunjukkan kamar masing-masing, dapur, hingga ruang musik yang dipenuhi gamelan Jawa: gong besar, bonang, kendang, dan saron berjejer rapi seolah baru saja digunakan. Debunya tipis, tak seperti benda yang sudah lama ditinggalkan.
"Besok pagi kalian bisa mulai kerja. Iki omah tak titipke marang kowe kabeh. Nanging eling, ojo nganti sembrono."
(Besok pagi kalian bisa mulai kerja. Rumah ini saya titipkan pada kalian. Tapi ingat, jangan sampai sembrono.)
Bayu berpamitan, meninggalkan mereka berempat.
Malam itu Sukma memasak sederhana: sayur bening dan tempe goreng. Mereka duduk lesehan di ruang tengah, makan sambil bercanda, berusaha menepis rasa takut yang sesekali muncul.
"Kalau ada setan, gue lempar pake tempe goreng ini!" kata Yanto, membuat Indah langsung mencubit lengan Yanto keras-keras.
"Bacot! Jangan ngomong sembarangan!"
Suasana hening sejenak, sebelum tawa mereka pecah. Hanya Sukma yang masih menyuap perlahan, matanya sesekali menoleh ke arah ruang musik. Seperti ada bayangan yang melintas cepat di sana...
Tapi ia diam. Hanya berbisik lirih dalam hati.
"Siapapun yang ada di sini... jangan ganggu teman-temanku. Aku mohon."
Malam pertama mereka pun berakhir tanpa gangguan. Namun dalam diam, rumah pusaka itu seakan bernafas, mengamati, menunggu waktu untuk memperlihatkan wajah aslinya.
Share this novel