Bab 9 (Sambungan)

Thriller Completed 11

Beberapa menit kemudian, Yanto kembali dengan sebuah bungkusan kain lusuh berwarna cokelat kehitaman. Ia meletakkannya di atas meja ruang tengah dengan tangan bergetar.

Begitu kain itu disentuh meja…

Braakkk!!!
Petir menyambar di luar rumah. Pagi yang semula cerah seketika berubah. Langit mendung pekat, lalu hujan deras turun tanpa ampun. Suara guntur bersahut-sahutan, membuat kaca jendela bergetar.

Adi spontan berdiri, wajahnya panik.
Adi: “Ya Allah… kok bisa langsung gini?”

Indah menutup mulutnya dengan tangan, tubuhnya gemetar. Sukma hanya bisa menatap benda terbungkus itu dengan hati berdebar, firasatnya semakin buruk.

Mbah Surya masih duduk tenang, meski sorot matanya tajam.

Mbah Surya (Jawa, pelan tapi tegas):

> “Iki dudu barang sembarangan… iki tandha nek roh-roh sing turu, saiki wis tangi maneh.”
(Terjemahan: “Ini bukan benda sembarangan… ini pertanda bahwa roh-roh yang tidur, kini sudah bangun kembali.”)

Kilatan petir kembali menyambar, menyinari wajah mereka yang pucat. Suasana pagi yang harusnya menenangkan kini berubah mencekam, seakan alam sendiri marah karena benda itu kembali tersingkap.

Serpihan Bonang

Suara hujan deras masih menghantam atap rumah pusaka. Petir sesekali menyambar, menerangi ruang tengah yang semakin mencekam.

Dengan tangan penuh kehati-hatian, Mbah Surya meraih bungkusan kain lusuh di atas meja. Ia membuka lipatan demi lipatan, hingga akhirnya tampak sebuah logam berwarna keemasan. Permukaannya berukir halus dengan pola yang tampak kuno, meski sebagian sudah pudar dimakan usia.

Cahaya samar dari lampu minyak membuat logam itu berkilau, seolah memiliki nyawa sendiri.

Indah menelan ludah, berbisik pelan.
Indah: “Itu… itu apa sebenarnya, Mbah?”

Mbah Surya menatap logam itu lama, sorot matanya berat seperti memikul kenangan masa lalu.

Mbah Surya (Jawa, lirih):

> “Iki… dudu logam biasa. Iki serpihan saka bonang sing ana ing ruang musik kene.”
(Terjemahan: “Ini… bukan logam biasa. Ini serpihan dari bonang yang ada di ruang musik ini.”)

Adi mengerutkan kening, berusaha mengingat.
Adi: “Bonang? Maksud Mbah… yang kayak alat gamelan itu?”

Mbah Surya mengangguk pelan.

Mbah Surya (Jawa, pelan tapi tegas):

> “Bonang kuwi pusaka, dudu mung piranti musik. Saben instrumen ing kene ana jiwane dhewe. Nalika siji wae rusak utawa kesingkir, keseimbangane bakal guncang.”
(Terjemahan: “Bonang itu pusaka, bukan sekadar alat musik. Setiap instrumen di sini memiliki jiwanya sendiri. Ketika satu saja rusak atau tersingkir, keseimbangannya akan terguncang.”)

Yanto terdiam, wajahnya pucat pasi. Tangannya gemetar, seolah rasa bersalah menelan habis keberaniannya.

Petir kembali menyambar, kali ini begitu dekat hingga kaca jendela bergetar keras. Suasana ruang tengah kian terasa seperti pusat amarah yang tak terlihat.

Amarah yang Terkunci

Suara hujan masih deras, sesekali petir membelah langit desa. Mbah Surya menatap serpihan logam keemasan itu dengan sorot mata berat.

Mbah Surya (Jawa, dalam):

> “Yen serpihan iki ora bali menyang panggonane… gamelan iku ora bakal meneng. Suarane bakal nggawa bala, lan sing paling kena dhisik yaiku wong-wong sing nyekel utawa nggawa barang iki.”
(Terjemahan: “Jika serpihan ini tidak kembali ke tempatnya… gamelan itu tidak akan pernah tenang. Suaranya akan membawa malapetaka, dan yang pertama terkena adalah orang-orang yang menyentuh atau membawa benda ini.”)

Sebelum ada yang sempat merespons, bunyi logam bergemerincing terdengar dari arah ruang musik.

Guuuuung… dung… dung…

Tiba-tiba, sebuah bonang dari perangkat gamelan di ruang musik bergelinding keluar sendiri. Benda itu berhenti tepat di ambang pintu ruang tengah, seolah mencari bagian tubuhnya yang hilang.

Semua tersentak kaget. Adi mundur dua langkah sambil menahan napas. Indah menutup mulutnya, nyaris berteriak. Yanto gemetar tak karuan.

Sukma menoleh ke kanan-kiri, wajahnya tegang. “Ya Allah…” bisiknya lirih.

Namun Mbah Surya tetap tenang. Ia berdiri, memandang ke arah bonang itu dengan tatapan penuh wibawa.

Mbah Surya (Jawa, lirih seperti berbicara ke udara):

> “Aku ngerti… kowe lagi nesu. Ning ojo nganti amarahmu nglarani sing ora salah. Aku sing tanggung jawab.”
(Terjemahan: “Aku mengerti… kau sedang marah. Tapi jangan biarkan amarahmu melukai yang tak bersalah. Aku yang akan bertanggung jawab.”)

Ruangan hening sejenak, hanya suara hujan deras menemani. Bonang itu berhenti bergetar, namun tetap berada di ambang pintu, seakan menunggu sesuatu.

Mbah Surya lalu duduk kembali perlahan, menatap Yanto dengan sorot mata penuh makna.

Mbah Surya (Jawa, lembut tapi menusuk):

> “Yanto… saiki aku pitakon maneh. Apa kowe tenan ngerti kenapa serpihan iki isa tekan ing tanganmu?”
(Terjemahan: “Yanto… sekarang aku bertanya lagi. Apakah kau benar-benar tahu bagaimana serpihan ini bisa sampai ke tanganmu?”)

Semua mata tertuju pada Yanto. Wajahnya semakin pucat, mulutnya terbuka ingin menjawab, tapi lidahnya kelu.

Pengakuan Yanto

Yanto menunduk, tangannya gemetar hebat. Semua tatapan menekannya, tapi sorot mata Mbah Surya terasa berbeda—bukan marah, melainkan menunggu kejujuran.

Ia menarik napas panjang, lalu suara lirihnya pecah di antara derasnya hujan.

Yanto (pelan, bergetar):
“A-aku… aku nggak sengaja, Mbah. Waktu kita jalan lewat hutan kecil sebelum masuk desa, aku lihat sesuatu yang mengkilat di tanah. Entah kenapa… aku ngerasa kayak ada yang manggil. Kayak… benda itu minta aku ambil.”

Adi langsung menoleh cepat.
Adi: “Manggil? Yant… maksudmu gimana?”

Yanto menggeleng cepat, wajahnya penuh rasa bersalah.
Yanto: “Aku sendiri nggak ngerti… tapi waktu aku pegang, rasanya hangat. Aku pikir cuma logam tua biasa. Jadi aku simpan di tas, nggak cerita ke siapa-siapa.”

Indah yang masih pucat menatapnya tak percaya.
Indah: “Kamu… jadi dari awal kamu udah bawa benda itu?!”

Yanto menutup wajahnya dengan kedua tangan.
Yanto: “Aku nggak bermaksud jahat… aku cuma penasaran. Tapi sejak itu aku sering mimpi aneh, kayak dengar suara gamelan dari jauh…”

Ruangan mendadak semakin mencekam. Bonang di ambang pintu bergetar pelan, menimbulkan bunyi dung… dung… yang seakan merespons ucapan Yanto.

Mbah Surya menghela napas dalam, lalu berkata dengan nada berat.

Mbah Surya (Jawa, tegas):

> “Kowe wis krungu dhéwé. Ora kabeh sing nggilap kudu digawa. Ana barang sing digawe kanggo dijaga, dudu kanggo diduweni.”
(Terjemahan: “Kau sudah mendengarnya sendiri. Tidak semua yang berkilau harus dibawa. Ada benda yang diciptakan untuk dijaga, bukan untuk dimiliki.”)

Sukma yang sedari tadi diam ikut merasakan hawa dingin menusuk. Firasatnya berkata, ini baru awal dari sesuatu yang lebih besar.

Amarah yang Mereda

Dengan tenang, Mbah Surya bangkit dari duduknya. Tongkat kayu di tangannya menjejak lantai, mengiringi langkah perlahan menuju ambang pintu di mana bonang itu masih bergetar.

Ia mengangkat serpihan logam keemasan dari atas meja, lalu menempelkan kembali pada bonang yang seolah menunggu.

Mbah Surya (Jawa, lembut penuh wibawa):

> “Sabar… aku ngerti. Aku ngerti wis suwe kowe diapusi wektu. Aku ngerti kowe wis keluwen suwara.”
(Terjemahan: “Sabar… aku tahu. Aku tahu sudah lama kau terdiam dalam waktu. Aku tahu kau sudah lapar akan suara.”)

Seolah mendengar kata-kata itu, bonang perlahan berhenti bergetar. Bunyi aneh yang sedari tadi mengisi ruangan menghilang, berganti hening yang lebih menekan.

Dengan khidmat, Mbah Surya mengangkat bonang itu dan membawanya masuk kembali ke ruang musik. Ia meletakkannya di tempat asalnya, lalu menepuk lembut permukaan logam itu, seperti menenangkan seorang anak kecil yang sedang menangis.

Saat kembali ke ruang tengah, wajah Mbah tetap serius namun sedikit lebih teduh. Ia duduk perlahan, menatap Yanto yang masih pucat dengan tubuh kaku.

Mbah Surya (Jawa, menunduk sedikit):

> “Saiki… aku takon maneh, Yanto. Nalika kowe ngrungokake suwara iku ing njero atimu, opo sing sejatine kowe rasakke? Iki penting, amarga jawabanmu bakal nemtokke opo sing kudu ditindakake sabanjure.”
(Terjemahan: “Sekarang… aku bertanya lagi, Yanto. Ketika kau mendengar suara itu dalam hatimu, apa yang sebenarnya kau rasakan? Ini penting, karena jawabanmu akan menentukan apa yang harus dilakukan selanjutnya.”)

Suasana kembali tegang. Adi dan Indah saling berpandangan, sementara Sukma menggenggam erat tangannya sendiri, seolah menyiapkan diri untuk jawaban yang akan keluar.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience