Bab 12- (Sambungan)

Thriller Completed 11

Namun, tubuh Indah tiba-tiba menjadi hangat. Wajahnya memucat, napasnya tersengal-sengal.

Sukma (panik):

> “Mbah… badannya panas banget! Wajahnya juga pucat! Gimana ini, Mbah?”

Adi dan Yanto langsung berdiri cemas.

Adi:

> “Mbah… tolong Indah, harus gimana sekarang?”

Yanto:

> “Apa jangan-jangan… masih ada yang nempel di tubuhnya?”

Mbah Surya (dengan tenang):

> “Aja kuwatir, Nak. Iki dudu lelakon sing ora iso diruwat. Biar Mbah sing ngurusi.”
(Jangan khawatir, Nak. Ini bukan perkara yang tak bisa disembuhkan. Biar Mbah yang urus.)

Mbah lalu menatap mereka satu per satu.

Mbah Surya:

> “Sore mengko, sadurunge Maghrib, kowe kabeh teka neng omahku. Aku bakal nyiapke upacara kanggo mulihke semangat Indah.”
(Sore nanti, sebelum Maghrib, kalian semua datang ke rumahku. Aku akan siapkan upacara untuk memulihkan semangat Indah.)

Mereka semua mengangguk setuju.

Mbah Surya (kepada Mas Bayu):

> “Bayu, aku titip. Kowe sing ngeterke lan nemeni bocah-bocah iki.”
(Bayu, aku titip. Kamu yang antar dan temani anak-anak ini.)

Mas Bayu:

> “Inggih, Mbah. Saya siap.”

Mbah Surya kemudian bangkit perlahan.

Mbah Surya:

> “Saiki Mbah bali dhisik. Aku kudu nyiapke saweneh ritual.”
(Sekarang Mbah pulang dulu. Aku harus menyiapkan beberapa ritual.)

Sebelum melangkah pergi, Mbah sempat menoleh, tersenyum penuh ketegasan dan kehangatan.

Setelah Mbah Surya pamit, suasana rumah pusaka kembali hening. Mas Bayu menepuk bahu Adi dan Yanto, lalu menatap Indah yang sudah tertidur lemah di pangkuan Sukma.

Mas Bayu:

> “Wes, saiki kowe kabeh istirahat disit. Awake kudu tenang ben sore ora tambah berat.”
(Sudah, sekarang kalian semua istirahat dulu. Tubuh harus tenang supaya sore nanti tidak semakin berat.)

Mereka semua mengangguk pelan, lalu kembali ke kamar masing-masing, meninggalkan ruang tengah yang sepi dengan bayangan ritual sore nanti.

Sore Hari Menjelang Ritual

Langit sore mulai merona jingga, waktu menunjukkan pukul 16.45. Suasana desa terasa lebih tenang, tetapi ada hawa aneh yang menekan. Angin sore membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan wangi bunga liar.

Di rumah pusaka, Indah masih berbaring pucat, ditemani Sukma yang tak henti-hentinya duduk di sisinya. Adi dan Yanto bersiap dengan wajah cemas.

Mas Bayu masuk ke kamar, lalu berkata tegas namun lembut:

Mas Bayu:

> “Wis wayahe. Ayo padha siap-siap, sore iki kudu menyang omah Mbah Surya.”
(Sudah waktunya. Ayo bersiap, sore ini kita harus pergi ke rumah Mbah Surya.)

Sukma membantu Indah berdiri. Meski lemah, Indah berusaha kuat, tangannya menggenggam lengan Sukma erat-erat.

Indah (lirih):

> “Suk… aku isih kroso wedi. Opo tenan aku iso mari?”
(Suk… aku masih merasa takut. Apa benar aku bisa sembuh?)

Sukma (lembut, menenangkan):

> “Percoyo, Ndah. Mbah Surya ora bakal ninggalke kowe. Gusti Allah uga bakal paring dalan kanggo mari.”
(Percaya, Ndah. Mbah Surya tidak akan meninggalkanmu. Allah juga akan memberi jalan untuk sembuh.)

Mereka berjalan keluar rumah pusaka bersama-sama. Jalan desa sudah mulai sepi karena warga mematuhi pesan Mbah untuk tetap di rumah. Beberapa terlihat dari jendela, menatap penuh cemas saat rombongan itu melintas.

Sesampainya di rumah Mbah Surya, suasana terasa berbeda. Halaman rumah sudah dihiasi dengan janur, kembang kantil, dan dupa yang mengepul perlahan. Di tengah ruangan, sudah ada sesaji: bunga tujuh rupa, kendi berisi air, serta seikat daun-daun berduri.

Mbah Surya duduk bersila, menunggu mereka dengan wajah teduh. Begitu melihat Indah, ia tersenyum tipis.

Mbah Surya:

> “Alhamdulillah, kowe wis teko, Nak. Ayo mlebu, lungguh neng tengah. Ritual iki kanggo mulihke semangatmu sing wis kecanthol kuwat.”
(Alhamdulillah, kamu sudah datang, Nak. Ayo masuk, duduk di tengah. Ritual ini untuk memulihkan semangatmu yang sudah terikat kuat.)

Indah menelan ludah, lalu dengan bantuan Sukma ia duduk di tengah ruangan. Adi dan Yanto menatapnya khawatir, sementara Mas Bayu menutup pintu rapat-rapat sesuai petunjuk Mbah.

Angin sore mendadak berhenti, suasana semakin senyap. Hanya suara burung-burung yang kembali ke sarang terdengar sayup-sayup.

Mbah Surya mulai menyiapkan dupa, membaca doa lirih dengan bahasa Jawa kuno yang dalam, suaranya bergetar seperti gema.

Mbah Surya (mantra lirih):

> “Saka endi asalmu, bali marang papanmu… ojo ngganggu, ojo ngrebut, iki dudu hakmu…”
(Dari mana asalmu, kembalilah ke tempatmu… jangan mengganggu, jangan merebut, ini bukan hakmu…)

Sukma, Adi, dan Yanto hanya bisa menunduk, merasakan hawa dingin merayap di kulit mereka. Indah menggigil, tubuhnya bergetar hebat seolah ada sesuatu yang mencoba keluar darinya.

Indah duduk di tengah ruangan, tubuhnya bergetar hebat. Matanya sesekali terbuka, tapi pandangannya kosong. Sukma duduk di sampingnya, menggenggam tangan Indah erat-erat agar ia merasa ditemani.

Mbah Surya menyalakan dupa, asap tipis mengepul ke langit-langit rumah. Aroma wangi bercampur mistis memenuhi ruangan. Mas Bayu menaburkan bunga tujuh rupa di sekeliling Indah, sementara Adi dan Yanto diminta duduk agak jauh, membentuk lingkaran.

Mbah Surya mulai melantunkan doa dalam bahasa Jawa kuno. Suaranya berat, bergetar, seperti bergema dari ruang lain.

Mbah Surya (lirih, penuh wibawa):

> “Heh, roh-roh kang keluwen… iki dudu duniamu. Balikna awakmu, ojo ndhelik ing ati bocah iki. Iki ora kagunganmu.”
(Hei, roh-roh yang kelaparan… ini bukan dunia kalian. Kembalilah, jangan bersembunyi di hati anak ini. Dia bukan milikmu.)

Indah tiba-tiba terjerit, tubuhnya melengkung seperti ada yang menarik dari dalam. Dari mulutnya keluar suara lain, serak dan marah:

Suara dalam tubuh Indah:

> “Ora gampang… Dheweke wis tak tandhai! Dheweke wis dadi wadahku!!”
(Tidak semudah itu… Dia sudah kutandai! Dia sudah jadi wadahku!!)

Adi terlonjak kaget, Yanto gemetar, tapi Mas Bayu menahan mereka agar tetap duduk.

Mbah Surya menatap Indah tajam, lalu mengangkat kendi berisi air yang sudah dibacakan doa. Ia memercikkannya ke tubuh Indah.

Sekejap, Indah menjerit lagi, kali ini lebih panjang. Asap hitam tipis terlihat mengepul keluar dari tubuhnya.

Indah (lirih, menangis):

> “Mbah… aku kesel… tulung, mbah… aku pengin mari…”
(Mbah… aku lelah… tolong, Mbah… aku ingin sembuh…)

Sukma tak tahan, ia ikut menangis sambil menggenggam tangan Indah lebih erat. Namun, tiba-tiba sorot matanya berubah. Nyai kembali hadir dalam dirinya.

Nyai (dengan suara lembut tapi tegas):

> “Ojo wedi, Nak. Aku ana kene. Kowe ora piyambakan. Lawan, aja pasrah marang angkara murka.”
(Jangan takut, Nak. Aku ada di sini. Kamu tidak sendirian. Lawan, jangan menyerah pada angkara murka.)

Hawa ruangan mendadak berubah. Bayangan gelap yang tadi membungkus Indah mulai tercerai-berai, seperti kabut yang dipaksa pergi. Aroma bunga kantil dan melati memenuhi ruangan, menekan bau dupa yang menyengat.

Indah kejang beberapa saat, lalu tubuhnya perlahan melemas. Nafasnya tersengal, keringat dingin membasahi wajahnya.

Mbah Surya mengambil segenggam bunga, lalu menaburkannya di atas kepala Indah.

Mbah Surya (lirih, penuh doa):

> “Muga Gusti paring pepadhang, mulihna semangatmu, bali dadi awake dhewe maneh…”
(Semoga Allah memberi penerangan, kembalikan semangatmu, kembalilah menjadi dirimu sendiri…)

Tiba-tiba, angin bertiup kencang dari luar, pintu rumah berderit keras, tapi kemudian hening. Sunyi.

Indah terkulai di pelukan Sukma, wajahnya lebih tenang, napasnya lebih teratur. Sukma mengelus rambutnya dengan lega.

Mas Bayu menarik napas panjang, lalu berkata pelan:

> “Mbah… opo wes rampung?”
(Mbah… apakah sudah selesai?)

Mbah Surya tersenyum tipis, menatap mereka semua dengan mata yang masih penuh kewaspadaan.

Mbah Surya:

> “Wis. Nanging, isih ana sing kudu rampung. Cincin iku kudu ilang selawase. Ora kena bali maneh ing tangan menungsa.”
(Sudah. Tapi masih ada yang harus diselesaikan. Cincin itu harus hilang selamanya. Tidak boleh kembali lagi ke tangan manusia.)

Semua terdiam. Hanya detak jantung mereka yang terdengar jelas, menandai bahwa malam itu menjadi penentu akhir dari semua misteri yang telah menjerat mereka.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience