Bab 7- Kopi Yang Pahit Terasa Manis

Thriller Completed 11

Sukma membuka matanya lebih awal, sebagaimana biasanya. Namun kali ini, tubuhnya terasa lebih berat dari biasanya, seakan ada sesuatu yang menekan raganya. Ia duduk perlahan, mencoba mengatur napas.

Begitu ia melangkah keluar kamar, langkahnya terhenti mendengar suara serak tapi akrab dari ruang tengah.

“Wis tangi, ndok?”
(Sudah bangun, nak?)

Sukma terperanjat sesaat. Ia menoleh, dan di kursi bambu sudah duduk Mbah Surya, tegak dengan tongkat kayu di sampingnya. Pandangannya tenang, menembus, tapi ada kehangatan samar di balik sorot matanya.

“Mbah…?” ucap Sukma pelan, masih tak percaya.

Mbah Surya tersenyum tipis. “Ndok, bikinkno Mbah loro cangkir kopi pait. Saiki wae. Mbah pengin ngobrol karo kowe, sadurunge kancamu liyane tangi.”
(Nak, tolong bikinkan Mbah dua cangkir kopi pahit. Sekarang saja. Mbah ingin ngobrol denganmu, sebelum temanmu yang lain bangun.)

Sukma sempat menunduk sopan. “Iya, Mbah… tapi izinkan saya solat dulu ya. Baru setelah itu bikinin kopi.”

Mbah Surya mengangguk perlahan. “Benar. Ibadahmu sing utama. Usai kuwi, goleki aku maneh ning kene.”
(Benar. Ibadahmu yang utama. Setelah itu, cari aku lagi di sini.)

---

Selesai menunaikan solat, Sukma masuk ke dapur. Ia merebus air, menakar bubuk kopi pekat ke dalam dua cangkir tanah liat. Bau khas kopi pahit memenuhi udara. Dengan hati-hati, ia membawa kedua cangkir itu ke ruang tengah.

“Ini, Mbah… kopinya.”

Mbah Surya menerima, lalu menatapnya dalam. “Coba kowe ngombe seteguk.”
(Coba kamu minum seteguk.)

Sukma langsung menggeleng. “Aduh, Mbah… saya punya asam lambung. Kalau minum kopi pait bisa sakit perut.”

Mbah Surya menatapnya tajam. “Seteguk wae, ndok. Ora luwih.”
(Satu teguk saja, nak. Tidak lebih.)

Sukma ragu. Ada rasa berat, seolah permintaan itu mengandung sesuatu yang tidak biasa. Namun ia tak kuasa menolak. Dengan perlahan, ia meneguk setetes kecil kopi pahit itu.

Lidahnya menegang, tapi wajahnya mendadak berubah heran. “Mbah… ini… kok rasanya manis?” tanyanya bingung.

Senyum samar Mbah Surya mengembang. “Hmmm… apik. Sing kowe rasa ora tansah padha karo sing nyata. Iku tandha, ana sing njaga kowe.”
(Hmmm… bagus. Apa yang kamu rasakan tidak selalu sama dengan kenyataan. Itu tanda, ada yang menjagamu.)

Sukma terdiam, jantungnya berdegup cepat. “Penjaga…?”

Mbah Surya tidak menjawab langsung. Hanya meneguk kopinya sendiri, lalu menatap Sukma lembut namun dalam, seakan menyimpan sesuatu yang belum waktunya diungkapkan.

---

Sukma pun mencoba mengalihkan suasana. “Mbah, saya mau siapkan sarapan ya. Sarapan sama-sama aja, biar teman-teman juga bisa.”

Berbeda dari sebelumnya, kali ini Mbah Surya mengangguk. “Iyo, ndok. Mbah gelem.”
(Iya, Nak. Mbah mau.)

---

Tak lama kemudian, aroma nasi goreng sederhana memenuhi udara. Sukma membangunkan teman-temannya satu per satu.

“Bangun, ayo sarapan dulu! Mbah Surya udah nunggu.”

Adi langsung melompat kaget. “Lho, Mbah Surya sarapan sama kita?! Wah, aku harus cuci muka dulu biar nggak malu.”

Yanto menguap lebar. “Sarapan… tidur lagi… itu rencana hidup terbaik.” Tapi begitu perutnya berbunyi keras, ia buru-buru bangun juga.

Indah menatap Sukma, masih agak pucat. “Syukurlah kamu kuat lagi, Suma…” bisiknya.

Mereka pun duduk bersama. Suasana sarapan terasa hangat, meski sesekali tatapan Mbah Surya yang penuh makna membuat mereka terdiam lebih lama dari biasanya.

---

Tiba-tiba, suara ketukan terdengar dari pintu utama.

Tok… tok… tok…

Adi berdiri membuka pintu, dan tampaklah Mas Bayu dengan senyum cerahnya. “Selamat pagi semua! Wah, kebetulan… saya mau ajak kalian jalan-jalan keliling desa. Biar lebih kenal tempat ini. Sekalian, saya bisa nganter Mbah Surya pulang.”

Mbah Surya hanya meneguk kopinya sekali lagi, lalu bangkit perlahan dengan tongkat di tangan.
“Iyo, apik. Saiki wayahe kowe kabeh ngerti deso iki luwih cedhak.”
(Iya, bagus. Sekarang waktunya kalian mengenal desa ini lebih dekat.)

Sukma dan kawan-kawan saling pandang. Hati mereka campur aduk antara gembira, penasaran, sekaligus was-was. Sebab entah kenapa, sejak semalam mereka merasa desa ini menyimpan lebih banyak misteri daripada yang terlihat.

Menyusuri Desa Tua

Matahari pagi mulai naik perlahan, menyinari jalan desa yang masih basah oleh embun. Angin membawa aroma tanah dan dedaunan, bercampur bau kayu jati dari rumah-rumah tua.

Sukma, Adi, Indah, dan Yanto berjalan berdampingan dengan Mas Bayu dan Mbah Surya. Buku catatan kecil dan kamera sederhana sudah siap di tangan mereka—proyek penelitian tetap berjalan meski perasaan was-was masih menghantui.

Sepanjang jalan, aktivitas warga desa tampak jelas.
Ada ibu-ibu menumbuk padi di lesung, suara thok-thok-thok bergema berirama. Anak-anak kecil berlari tanpa alas kaki, tertawa riang meski tanah becek. Sejumlah bapak tua duduk di lincak bambu depan rumah, merokok sambil mengobrol.

Namun, ketika mata mereka tertuju pada empat sahabat itu, suasana berubah.
Ada yang hanya melirik dingin, seolah tidak suka kehadiran orang luar. Ada pula yang menatap bingung, seperti menyimpan pertanyaan di dalam hati. Bahkan seorang ibu sempat membuka mulutnya, seakan ingin bicara, tapi buru-buru menunduk dan masuk ke rumah.

Yanto mendesah pelan, lalu berbisik ke Adi.
“Bro, kok rasanya kayak kita lagi jadi tontonan sirkus? Aku takut ada yang tiba-tiba lempar tomat.”

Adi menahan tawa. “Sirkus apaan, Yan… kita di desa, bukan di kota.”

Mas Bayu yang mendengar percakapan itu hanya menoleh sekilas sambil tersenyum tipis. “Jangan kaget. Warga sini memang jarang melihat pendatang yang berani tinggal di rumah pusaka itu. Mereka… punya pandangan sendiri.”

Mbah Surya berjalan dengan tenang, tongkatnya mengetuk tanah pelan setiap langkah. Beliau tidak banyak bicara, tapi sorot matanya mengamati setiap gerak-gerik warga.

---

Perjalanan berlanjut ke bagian lain desa. Jalan setapak yang mereka lalui kini melewati sawah menghijau, dengan burung-burung kecil beterbangan. Mas Bayu sesekali menunjuk sesuatu.

“Lihat itu. Sawah ini dulunya tempat warga melakukan upacara panen besar. Ada gamelan, tari-tarian, dan sesaji. Tapi semua itu sudah lama berhenti.”

Indah menulis cepat di buku catatannya, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu.
“Kenapa berhenti, Mas?”

Mas Bayu menarik napas pelan. “Banyak hal yang membuat tradisi itu hilang… sebagian karena waktu, sebagian lagi karena sesuatu yang tak semua orang bisa pahami.”

Jawaban itu membuat suasana mendadak hening. Angin seolah ikut berhenti berhembus.

---

Tiba-tiba Yanto yang sedari tadi berjalan sambil celingak-celinguk, menepuk lengan Adi keras-keras.
“Bro! Lihat tuh!”

Semua menoleh ke arah yang ditunjuk Yanto. Di balik pepohonan, tampak sebuah bangunan megah berdiri. Atapnya tinggi, dihiasi ukiran-ukiran unik khas Jawa. Dindingnya dari kayu jati tua, namun masih kokoh dan tampak berwibawa.

Bangunan itu menyerupai balai pertemuan atau dewan besar. Namun anehnya, suasana di sekitarnya terasa sepi, seperti tak terjamah.

Adi meneguk ludah. “Itu… apa, Mas?”

Mas Bayu menatap lama bangunan itu, seolah menimbang-nimbang jawabannya.
“Itu… salah satu peninggalan lama desa ini. Dulu digunakan untuk musyawarah besar, juga tempat pertunjukan gamelan saat pesta adat. Sekarang… jarang sekali dipakai.”

Sukma merasakan hawa dingin samar yang keluar dari arah bangunan itu. Bulu kuduknya berdiri, meski sinar matahari sudah tinggi.

Sementara Yanto, meski awalnya heboh, kini ikut terdiam. Tatapannya terpaku pada ukiran-ukiran di atap bangunan itu—ada bentuk naga, bunga teratai, dan wajah-wajah aneh yang seakan menatap balik ke arahnya.

---

“Mbah… bolehkah kita masuk ke sana?” tanya Indah penuh penasaran.

Mbah Surya menghentikan langkahnya, menatap bangunan itu dengan pandangan tajam. Suaranya berat, dalam, dan penuh makna.
“Durung wayahe. Ana sing kudu kowe ngerti dhisik, sadurunge mlebu kono.”
(Belum waktunya. Ada yang harus kalian pahami dulu, sebelum masuk ke sana.)

Keempat sahabat itu saling berpandangan. Rasa penasaran mereka semakin membuncah… tapi juga bercampur dengan rasa takut yang sulit dijelaskan.

Jamuan Siang di Rumah Mas Bayu

Jarum jam sudah menunjukkan pukul 12.30 tengah hari. Matahari tepat di atas kepala, sinarnya terik meski angin desa masih membawa kesejukan. Setelah cukup lama berkeliling, kaki mereka terasa letih, perut pun mulai ikut protes.

Yanto mengusap-usap perutnya sambil meringis dramatis.
“Waduh… Mas, kalau muter-muter terus begini, perut saya bisa bunyi gamelan. Bentar lagi keluar suara gonggggg!”

Indah spontan menahan tawa, sedangkan Adi menggeleng dengan muka malas.
“Yan, kamu tuh… bisa-bisanya kelaparan masih sempat bercanda. Perut lapar kok diibaratkan gamelan.”

Yanto cengar-cengir. “Lah, cocok kan? Suara perutku itu paling mistis. Bisa bikin orang takut kalau dengar tengah malam.”

Mas Bayu hanya terkekeh, lalu menepuk bahu Yanto.
“Kalau begitu, waktunya kita isi perut. Mau makan di warung atau di rumah saya saja? Di rumah lebih enak, kalian bisa santai, sekalian ngobrol sama Mbah Surya.”

Keempat sahabat itu saling pandang. Sukma yang sedari tadi diam akhirnya angkat bicara,
“Kalau boleh, kami lebih senang di rumah Mas Bayu saja. Jadi bisa sekalian ngerasain masakan khas desa ini.”

Mbah Surya mengangguk setuju, sorot matanya teduh.
“Ngene luwih apik. Ing omah, luwih guyub lan luwih cedhak.”
(Begini lebih baik. Di rumah, lebih hangat dan lebih dekat.)

Mas Bayu tersenyum ceria. “Kalau begitu ayo, kita ke rumah. Biar saya masak sesuatu yang sederhana, tapi khas desa ini.”

Rumah Mas Bayu

Rumah Mas Bayu terbuat dari kayu jati, tak kalah kokoh dengan rumah pusaka yang mereka tinggali. Bedanya, rumah ini terasa lebih hidup, dengan suara ayam berkokok, bau kayu bakar dari dapur, dan jemuran kain yang berkibar ditiup angin.

Mas Bayu segera ke dapur, melipat lengan bajunya, lalu mulai sibuk menyalakan tungku kayu.
“Duduklah di pendopo. Nanti saya masak sebentar. Jangan sungkan, anggap saja rumah sendiri.”

Sukma dengan sopan ikut membantu, memotong sayuran dan menyiapkan bumbu. Indah menemaninya sambil sesekali mengintip cara Mas Bayu memasak.

Tak lama kemudian, aroma harum masakan mulai menyebar. Ada sayur lodeh dengan labu dan kacang panjang, tempe goreng renyah, dan ikan asin yang digoreng garing. Untuk pelengkap, Mas Bayu menyiapkan sambal terasi ulek yang baunya langsung bikin Yanto menelan ludah keras-keras.

“Mas… hati-hati ya. Kalau sambalnya terlalu pedas, bisa-bisa aku langsung kesurupan cabe rawit,” canda Yanto, membuat semua tertawa.

Mbah Surya hanya mengamati dari kursi bambu, tersenyum tipis melihat keakraban anak-anak itu dengan Mas Bayu.

---

Jamuan Sederhana

Makanan ditata rapi di atas tikar pandan. Semua duduk melingkar, suasana terasa hangat. Angin sepoi-sepoi masuk dari jendela terbuka, membawa aroma sawah yang segar.

“Silakan dicoba. Ini makanan sehari-hari orang desa, sederhana tapi dari hasil bumi sendiri,” kata Mas Bayu sambil menuangkan sayur lodeh ke mangkuk.

Adi mencicipi duluan. Wajahnya langsung berubah cerah.
“Wah, ini enak banget! Rasanya segar dan gurih.”

Indah pun ikut mencicipi tempe goreng. “Kriuk banget! Lebih enak dari tempe yang biasa aku makan di kota.”

Sukma tersenyum kecil, menikmati rasa sederhana tapi penuh kehangatan itu.

Sementara Yanto… sudah tak bisa berkata-kata. Dia sibuk menyendok nasi untuk ketiga kalinya.
“Mas… sumpah ini bukan makanan, ini doa yang berubah jadi nasi sama lauk! Nikmat banget…”

Mas Bayu tertawa geli. “Kalau begitu habiskan saja. Rezeki jangan disia-siakan.”

Mbah Surya meneguk air teh hangat, lalu berkata pelan tapi dalam.
“Mangan kuwi ora mung kanggo weteng, nanging uga kanggo jiwa. Yen mangan karo ikhlas lan guyub, rasa apa wae dadi luwih nikmat.”
(Makan itu bukan hanya untuk perut, tapi juga untuk jiwa. Kalau makan dengan ikhlas dan kebersamaan, rasa apa pun jadi lebih nikmat.)

Semua terdiam sejenak, mencerna kata-kata itu.

---

Siang itu berlalu dalam suasana penuh keakraban. Tidak ada ketegangan, tidak ada rasa takut—hanya tawa, gurauan, dan rasa kenyang yang menenangkan. Namun, di balik semua itu, ada bayangan samar yang masih menggantung. Sesuatu di desa ini belum sepenuhnya terbuka…

Perut kenyang, hati hangat, tawa masih tersisa di udara. Usai makan siang bersama di rumah Mas Bayu, mereka beristirahat sebentar di pendopo. Angin siang mengibaskan tirai tipis, aroma kayu bakar masih tertinggal di udara.

“Masakannya top banget, Mas Bayu. Kalau setiap hari bisa makan di sini, saya rela nggak balik ke kota,” ucap Yanto sambil mengelus perutnya.

Mas Bayu terkekeh. “Lha, kalau begitu nanti kamu bisa saya nikahkan saja sama gadis desa sini, biar nggak pulang ke kota.”

Semua tertawa, kecuali Yanto yang pura-pura batuk. “Eh, jangan gitu, Mas. Saya masih single and happy. Nanti gadisnya malah kabur kalau tahu saya doyan makan.”

Setelah cukup beristirahat, Mas Bayu mengajak mereka kembali berjalan keliling desa.
“Biar kalian bisa lihat kehidupan warga lebih dekat. Sekalian kalian bisa catat untuk proyek kalian.”

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience