Bab 13 - Hari Keberangkatan

Thriller Completed 11

Fajar mulai merekah. Embun masih menempel di dedaunan, burung-burung kecil sudah terdengar berkicau pelan. Suasana desa terasa damai, seakan ingin menenangkan jiwa mereka setelah malam-malam penuh kengerian.

Yanto terbangun lebih dahulu. Matanya masih berat, tapi rasa penasaran membuatnya keluar dari bilik. Di ruang tengah, ia melihat Mbah Surya duduk bersila di lantai, dikelilingi dupa yang mengepul dan bunga tujuh rupa yang tertata rapi di atas tikar pandan.

Di hadapannya, kotak kayu kecil itu diletakkan. Mbah Surya dengan khusyuk menyiapkan sesajen: kembang, kemenyan, sepotong ayam panggang, segelas air kelapa, dan beras kuning. Gerakannya tenang, teratur, seakan setiap langkah sudah dihafal puluhan tahun.

Yanto berdiri terpaku, tidak menyadari bahwa Adi dan Sukma ternyata sudah bangun juga dan berdiri di belakangnya. Mereka bertiga hanya diam, mengamati dengan penuh rasa hormat.

Tanpa menoleh, Mbah Surya tersenyum.
Dengan suara pelan tapi tegas, ia berkata:

Mbah Surya:

> “Wis tangi to, le? (Sudah bangun, Nak?)
Biar mbah rampungke sesajen iki dhisik yo, sakwise kuwi awake dhewe sarapan.”
(Sudah bangun, Nak? Biar Mbah selesaikan sesajen ini dulu ya, setelah itu kita sarapan.)

Yanto menelan ludah, lalu mengangguk meski Mbah tidak menatapnya.

Yanto (pelan):

> “Inggih, Mbah…” (Iya, Mbah…)

Sukma menatap Adi, keduanya saling berpandangan, lalu tersenyum tipis. Ada rasa lega, tapi juga penasaran, karena mereka tahu, ritual pagi ini adalah langkah terakhir untuk menutup semua yang telah terjadi.

Indah sedari tadi belum juga bangun. Tiba-tiba, dari dalam kamar terdengar suaranya memanggil lirih:

Indah:

> “Suk… ma…”

Sukma yang baru saja hendak membantu Mbah Surya merapikan sesajen, segera bergegas masuk ke kamar. Ia mendekat, duduk di sisi ranjang, lalu mengelus lembut dahi Indah.

Sukma (lembut):

> “Kenapa, Ndah? Kalau masih capek, istirahat dulu ya… Biar aku bantu beresin pakaianmu. Bentar lagi kita udah mau pulang ke kota.”

Indah hanya mengangguk lemah, matanya sayu. Nafasnya teratur, tapi tubuhnya masih terlihat belum pulih benar. Setelah itu, ia kembali memejamkan mata, tertidur lagi dengan tenang.

Sukma tersenyum tipis, lalu keluar dari kamar. Saat ia menapakkan kaki ke ruang tengah, aroma hangat sarapan sudah tercium. Di atas meja makan, sudah tersaji nasi hangat, sayur lodeh, tempe goreng, sambal, dan secangkir kopi hitam untuk Mbah.

Mbah Surya melirik Sukma yang baru keluar dari kamar, lalu memanggilnya dengan suara lembut.

Mbah Surya:

> “Sukma, ayo padha mangan sek… (Sukma, ayo makan dulu…)
Ora usah kuwatir, Mbah wis nyisakke panganan sethithik kanggo Indah nek wis tangi.”
(Jangan khawatir, Mbah sudah sisakan sedikit makanan untuk Indah kalau nanti dia sudah bangun.)

Sukma tersenyum lega, lalu duduk bergabung dengan yang lain untuk sarapan.

Sambil mereka menikmati sarapan sederhana itu, suasana terasa hangat, jauh berbeda dengan malam-malam sebelumnya. Namun, di tengah kebersamaan itu, Mbah Surya tiba-tiba menoleh pada Adi dan Yanto.

Mbah Surya:

> “Le Adi, Yanto… bar iki kowe loro melu Mbah menyang segara. (Adi, Yanto… nanti kalian ikut Mbah ke laut.)
Kothak kuwi kudu dilebokke, supaya ora ana sing wani njupuk maneh.”
(Kotak itu harus dihanyutkan, supaya tidak ada yang berani mengambilnya lagi.)

Adi dan Yanto saling berpandangan. Keduanya tampak ragu, bahkan Yanto sempat menggoyang sendok di tangannya.

Adi (pelan):

> “Mbah… tenan to? Apa ora bahaya nek kita melu?”
(Mbah… sungguhan? Apa tidak bahaya kalau kami ikut?)

Yanto:

> “Iyo Mbah… aku ki sejatine yo rada wedi… (Iya, Mbah… sebenarnya aku agak takut…)”

Mbah Surya tersenyum, tatapannya lembut tapi penuh keyakinan.

Mbah Surya:

> “Ora usah wedi, le… nek kowe loro melu, kuwi tandha nek kowe gelem tanggung jawab marang uripmu dhewe. (Jangan takut, Nak… kalau kalian ikut, itu tanda kalian berani bertanggung jawab atas hidup kalian sendiri.)”

Mendengar kata-kata itu, Adi dan Yanto akhirnya menghela nafas panjang. Mereka berdua mengangguk, meski masih ada rasa was-was di hati.

Yanto (mencoba bercanda, tapi gugup):

> “Yo wis, Mbah… tapi nek ana ombak gede, aku numpak punggungmu wae yo… hehe.”
(Ya sudah, Mbah… tapi kalau ada ombak besar, aku numpang punggung Mbah aja ya… hehe.)

Semua tertawa kecil, mencairkan suasana pagi itu.

Persiapan Menuju Laut

Setelah selesai sarapan, suasana rumah Mbah kembali hening. Hanya suara ayam berkokok dan desir angin pagi yang terdengar.

Mbah Surya berdiri, lalu menatap Sukma dengan lembut.

Mbah Surya:

> “Sukma, kowe temeni Indah neng omah yo. (Sukma, kamu temani Indah di rumah ya.)
Dheweke isih ringkih, ora kena ditinggal piyambakan.”
(Dia masih lemah, tidak boleh ditinggal sendirian.)

Sukma mengangguk patuh.
Sukma:

> “Inggih, Mbah… (Baik, Mbah…)”

Mas Bayu sudah berdiri di luar rumah, menunggu. Pagi itu ia tampak gagah dengan sarung kotak-kotak yang dililitkan di pinggang dan ikat kepala batik. Sorot matanya serius, menandakan bahwa perjalanan ini bukan perjalanan biasa.

Di sampingnya, sebuah bakul anyaman bambu telah siap berisi sesajen: bunga setaman, kemenyan, dan beberapa potong jajan pasar yang ditutup daun pisang. Kotak kayu kecil berisi cincin delima itu diletakkan di dalam kain putih, dililit benang hitam-putih.

Adi dan Yanto keluar rumah dengan wajah sedikit tegang. Yanto menelan ludah, sementara Adi menepuk bahunya, seakan memberi semangat.

Mbah Surya (pelan, tapi tegas):

> “Wis wayahe… ayo padha budhal. (Sudah waktunya… mari kita berangkat.)”

Mereka berjalan perlahan meninggalkan halaman rumah. Suasana desa masih sepi, embun masih menempel di dedaunan, dan jalan tanah menuju pantai terasa lembab selepas hujan semalam.

Di sepanjang perjalanan, Mbah Surya berjalan paling depan, membawa kotak kayu yang dibungkus kain putih. Mas Bayu mengikuti di belakang, sementara Adi dan Yanto berjalan beriringan, sesekali saling melirik karena jantung mereka berdegup lebih cepat dari biasanya.

Semakin dekat ke laut, suara deburan ombak semakin terdengar jelas. Angin asin berhembus kencang, membuat kain putih yang membungkus kotak itu berkibar tipis.

Yanto (berbisik ke Adi):

> “Di… aku kok ngerasa merinding yo. Koyok ana sing ngetutke kita…”
(Di… aku kok merasa merinding ya. Seperti ada yang mengikuti kita…)

Adi (menelan ludah, berusaha tenang):

> “Wis, aja mikir sing aneh-aneh. Mbah ngerti opo sing dilakoni.”
(Sudah, jangan pikir yang aneh-aneh. Mbah tahu apa yang dilakukan.)

Mbah Surya hanya tersenyum tipis mendengar bisik-bisik mereka, tapi tidak menoleh. Langkahnya mantap, seakan lautan sudah memanggil untuk menerima kembali apa yang seharusnya tidak keluar dari tempatnya.

Di Tepi Laut

Perjalanan memakan waktu sekitar setengah jam. Saat mereka tiba di tepi laut, matahari mulai naik perlahan, namun sinarnya seolah tertahan oleh awan kelabu yang menggantung rendah. Ombak menggulung deras, menghantam karang, seakan-akan tahu ada sesuatu yang akan dikembalikan hari itu.

Mbah Surya berhenti di pasir basah yang dingin. Ia menurunkan bakul sesajen, lalu meletakkan kotak kayu kecil di atas selembar kain putih yang telah ia bentangkan.

Mas Bayu segera menyalakan dupa dan kemenyan, asapnya membumbung tinggi, terbawa angin laut. Bau harum bercampur dengan asin ombak, menciptakan suasana yang lain dari biasanya.

Adi dan Yanto berdiri kaku. Kaki mereka seakan tertanam ke pasir, dada berdebar kuat.

Mbah Surya (dengan suara berwibawa):

> “Sak durunge kabeh, ayo padha nyebut Asma Gusti… supaya ati kita tentrem.”
(Sebelum semuanya, mari kita sebut nama Tuhan… supaya hati kita tenang.)

Mereka menunduk, mengikuti doa Mbah. Suasana hening, hanya suara ombak dan desir angin yang menjadi latar.

Setelah itu, Mbah mulai mengatur sesajen. Bunga kantil ditaburkan di atas pasir, jajan pasar diletakkan rapi di samping kotak kayu. Ia lalu menengadahkan tangan, melantunkan doa-doa kuno dalam bahasa Jawa halus yang penuh makna.

Mbah Surya (lirih, khusyuk):

> “Kulo nyuwun ngapunten… menawi wonten lelampahan ingkang mboten trep. Kulo mulihaken, kulo pasrahaken… supados dumugi papanipun, tanpa kendhala, tanpa sengkala.”
(Saya memohon ampun… bila ada perjalanan yang tidak tepat. Saya kembalikan, saya pasrahkan… agar sampai ke tempatnya, tanpa halangan, tanpa celaka.)

Kotak kayu kecil itu bergetar pelan, seakan menanggapi doa Mbah. Adi dan Yanto saling pandang dengan wajah tegang.

Yanto (berbisik, hampir tak bersuara):

> “Di… kowe weruh? Iki goyang dewe…”
(Di… kamu lihat? Itu bergerak sendiri…)

Adi (menelan ludah, pelan):

> “Aku weruh… nanging ojo ganggu. (Aku lihat… tapi jangan ganggu.)”

Mbah Surya lalu berdiri, mengambil kotak itu dengan kedua tangannya. Ia menoleh ke arah laut yang bergemuruh, lalu menatap Adi dan Yanto bergantian.

Mbah Surya (tegas):

> “Wis wayahe. Ayo padha nulungi aku ngluncurake iki menyang samudra. Supaya ora bali meneh.”
(Sudah waktunya. Mari bantu aku melepaskan ini ke samudra. Agar tidak kembali lagi.)

Adi dan Yanto mengangguk meski wajah mereka pucat. Bersama-sama, mereka mengikuti langkah Mbah Surya masuk ke bibir ombak, pasir dingin menggenggam kaki mereka. Mas Bayu berdiri di belakang, siap menjaga.

Ombak pertama menggulung kaki mereka, air asin terasa menusuk tulang. Dengan khidmat, Mbah mengangkat kotak itu tinggi-tinggi, lalu melepaskannya perlahan ke lautan.

Begitu kotak itu menyentuh air, ombak besar datang menghantam, menelan kotak kayu itu dalam sekejap. Air laut berbuih putih, lalu tiba-tiba menjadi lebih tenang. Awan kelabu yang menutupi matahari mulai bergerak, memberi cahaya hangat di ufuk timur.

Adi dan Yanto terdiam, merinding. Mereka merasa seakan beban berat ikut terseret ombak, meninggalkan mereka.

Mbah Surya menutup matanya sejenak, lalu tersenyum tipis.

Mbah Surya:

> “Wis rampung. (Sudah selesai.)”

Setelah Ritual di Laut

Mereka berjalan kembali dari pantai dengan langkah perlahan. Pasir masih menempel di kaki, pakaian basah oleh ombak, namun hati terasa lebih ringan. Adi dan Yanto sesekali menoleh ke arah laut, memastikan kotak kayu itu benar-benar lenyap ditelan ombak.

Mas Bayu tersenyum kecil, lalu menepuk bahu mereka berdua.

Mas Bayu:

> “Nganti koyo ngene iki, kowe kudu eling. Aja sembarangan yen weruh barang gaib. Ora kabeh sing ayu iku duweke manungsa.”
(Sampai seperti ini, kamu harus ingat. Jangan sembarangan kalau melihat benda gaib. Tidak semua yang indah itu milik manusia.)

Adi dan Yanto hanya mengangguk. Wajah mereka masih pucat, tapi ada rasa lega yang mulai muncul.

Sesampainya di rumah Mbah, suasana begitu hening. Angin berembus pelan, membawa aroma tanah basah bercampur bunga kantil yang tersisa dari ritual. Sukma keluar dari dalam rumah, menyambut mereka dengan tatapan penuh tanya.

Sukma:

> “Mbah… piye?”
(Mbah… bagaimana?)

Mbah Surya tersenyum hangat, meski wajahnya tampak letih.

Mbah Surya:

> “Wis rampung, Nak. Samudra wis nampani barang kuwi. Saiki kabeh luwih aman.”
(Sudah selesai, Nak. Samudra sudah menerima benda itu. Sekarang semuanya lebih aman.)

Sukma menunduk, hatinya bergetar penuh syukur. Ia segera masuk kembali ke kamar, melihat Indah yang masih berbaring. Indah tampak lebih tenang, napasnya teratur, meski wajahnya masih pucat.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience