Di ruang tengah, Mas Bayu mulai menyiapkan air hangat untuk mereka semua membasuh badan. Sementara itu, Mbah Surya duduk di kursi tua, menyalakan rokok lintingnya, lalu menatap jauh ke luar jendela.
Mbah Surya (pelan, seakan bicara sendiri):
> “Sing penting saiki, kabeh bocah kudu bali menyang kutha kanthi slamet. Nanging ojo lali, crita iki durung rampung… bakal ana sing nyambung ing wektu liyane.”
(Yang penting sekarang, semua anak harus pulang ke kota dengan selamat. Tapi jangan lupa, cerita ini belum selesai… akan ada yang bersambung di waktu lain.)
Langkah demi langkah terasa lebih tenang. Waktu terus berjalan, jam sudah menunjukkan pukul 9 pagi. Sukma mulai membantu Indah membereskan barang-barangnya. Adi dan Yanto duduk di teras, bercanda kecil untuk mencairkan suasana.
Mas Bayu menyiapkan kendaraan yang akan membawa mereka kembali ke kota.
Dan sebelum semuanya berangkat, Mbah Surya memanggil mereka ke ruang tengah.
Mbah Surya:
> “Sakdurunge kowe bali, ana pitutur saka aku. Elinga tansah ngucap syukur, ojo nganti kepengin sing dudu hakmu, lan kudu rukun sesamane.”
(Sebelum kalian pulang, ada pesan dariku. Ingatlah untuk selalu bersyukur, jangan sampai menginginkan sesuatu yang bukan hakmu, dan hiduplah rukun dengan sesama.)
Anak-anak mengangguk penuh hormat. Sukma menahan air mata, sementara Indah memeluk Mbah Surya erat, berbisik lirih meminta maaf sekali lagi.
Perpisahan di Rumah Pusaka
Matahari sudah naik tinggi. Burung-burung terdengar berkicau di halaman rumah pusaka. Angin yang lembut berembus, seakan ingin menenangkan hati mereka yang sebentar lagi akan berpisah.
Indah, Sukma, Adi, dan Yanto berdiri di depan rumah pusaka dengan barang-barang mereka. Mas Bayu sedang memastikan kendaraan siap untuk berangkat, sementara Mbah Surya duduk di kursi kayu tua, menatap mereka dengan mata teduh.
Indah melangkah lebih dulu, wajahnya masih terlihat lemah, tapi senyumnya tulus. Ia menunduk, lalu mencium tangan Mbah Surya.
Indah (lirih):
> “Mbah… maafke aku… kabeh iki ora bakal kelakon nek dudu amarga kesalahanku…”
(Mbah… maafkan aku… semua ini tidak akan terjadi kalau bukan karena kesalahanku…)
Mbah Surya mengusap kepala Indah lembut.
Mbah Surya:
> “Wis, Nak… sing penting kowe wis ngerti. Aja diulang maneh, yo.”
(Sudah, Nak… yang penting kamu sudah mengerti. Jangan diulangi lagi, ya.)
Indah mengangguk, meneteskan air mata.
Giliran Sukma mendekat. Ia memeluk Mbah Surya erat, seolah tak ingin melepas.
Sukma:
> “Mbah… aku matur nuwun. Tanpo mbah, awake dhewe ora ngerti kudu piye.”
(Mbah… aku berterima kasih. Tanpa mbah, kami tidak tahu harus bagaimana.)
Mbah Surya tersenyum hangat.
Mbah Surya:
> “Kowe kuwat, Sukma. Nanging tansah elinga, sing nglindhungi sejati mung Gusti Allah. Nyai mung numpang lewat ing dalan uripmu.”
(Kamu kuat, Sukma. Tapi selalu ingat, yang melindungi sejati hanyalah Allah. Nyai hanya numpang lewat di jalan hidupmu.)
Sukma terisak, lalu mengangguk.
Adi dan Yanto mendekat bersama. Yanto, seperti biasa, berusaha mencairkan suasana.
Yanto (tersenyum kaku):
> “Mbah, matur nuwun. Aku janji ora bakal iseng-iseng maneh… kecuali ngisengin Adi.”
Semua tertawa kecil, meski mata mereka sembab.
Mbah Surya lalu berdiri dengan susah payah, dibantu Mas Bayu. Ia menepuk bahu Adi dan Yanto bergantian.
Mbah Surya:
> “Kowe loro kudu tansah ngelingi… ojo sembrana. Akeh sing ora katon ning jagad iki, nanging dheweke ana.”
(Kalian berdua harus selalu ingat… jangan ceroboh. Banyak yang tidak terlihat di dunia ini, tapi mereka ada.)
Mas Bayu kemudian menambahkan, dengan nada ringan namun serius:
Mas Bayu:
> “Wis, ayo berangkat. Yen kowe kabeh kangen, bali wae. Nanging ojo bali karo gawé masalah maneh, yo.”
(Sudah, ayo berangkat. Kalau kalian rindu, silakan kembali. Tapi jangan kembali sambil bawa masalah lagi, ya.)
Anak-anak tertawa tipis, lalu mengangguk setuju.
Satu per satu mereka berpamitan. Saat kendaraan mulai berjalan meninggalkan rumah pusaka, keempatnya menoleh ke belakang.
Rumah pusaka itu berdiri kokoh, teduh, namun tetap menyimpan aura misteriusnya. Di beranda, Mbah Surya melambaikan tangan, Mas Bayu berdiri di sampingnya. Senyum mereka mengiringi kepergian anak-anak itu.
Di hati masing-masing, terpatri janji: kenangan di rumah pusaka dan dewan megah itu akan selamanya menjadi bagian dari hidup mereka.
Perjalanan Pulang
Mobil yang dikemudikan Mas Bayu melaju pelan melewati jalan desa yang masih berkabut tipis. Indah duduk bersandar lemah di kursi belakang, kepalanya tergeletak di bahu Sukma. Adi duduk di samping jendela, tatapannya kosong menembus pepohonan yang bergoyang tertiup angin. Yanto, seperti biasa, mencoba mencairkan suasana, meski dalam hati ia sendiri masih diliputi rasa takut bercampur syukur.
Yanto (sambil pura-pura nyengir):
> “Eh… nek dipikir-pikir, kita kayak habis syuting film horor, ya? Bedanya… ora ono sutradara sing teriak cut.”
(Eh… kalau dipikir-pikir, kita seperti habis syuting film horor, ya? Bedanya… tidak ada sutradara yang teriak cut.)
Sukma tersenyum kecil sambil mengelus rambut Indah.
Sukma:
> “Untung kabeh wis rampung. Aku ora kebayang nek sing dialami Indah kuwi kejadian karo aku.”
(Untung semua sudah selesai. Aku nggak bisa membayangkan kalau yang dialami Indah itu terjadi padaku.)
Indah membuka matanya perlahan, suaranya lemah tapi jelas.
Indah:
> “Aku… matur nuwun kabeh. Nek ora ono kowe-kowe, aku ra ngerti saiki nasibku piye…”
(Aku… terima kasih semuanya. Kalau tidak ada kalian, aku nggak tahu bagaimana nasibku sekarang…)
Adi yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara.
Adi:
> “Sing penting saiki kita kabeh isih lengkap. Nek dipikir, kowe nek iso ojo kepo maneh, Ndah. Gara-gara rasa penasaranmu, kabeh dadi runyam.”
(Yang penting sekarang kita semua masih lengkap. Kalau dipikir, kamu itu sebaiknya jangan kepo lagi, Ndah. Gara-gara rasa penasaranmu, semuanya jadi runyam.)
Yanto menyikut Adi sambil nyengir.
Yanto:
> “Wes, wes… ojo disalah-salahke maneh. Wong aku wae sing sok iseng iso kapok, piye maneh Indah.”
(Sudah, sudah… jangan disalah-salahkan lagi. Aku aja yang suka iseng bisa kapok, apalagi Indah.)
Mobil terus melaju, meninggalkan desa dan menuju jalan besar yang mengarah ke kota. Perlahan rumah pusaka itu hanya tinggal bayangan samar dalam ingatan, tapi suasananya masih terasa menyelimuti hati mereka.
Masing-masing terdiam dalam pikiran sendiri. Sukma teringat tatapan teduh Mbah Surya, Indah masih merasakan kehangatan doa yang menyelamatkannya, Adi memikirkan betapa tipisnya batas antara dunia nyata dan dunia gaib, sementara Yanto bertekad untuk tidak lagi menganggap remeh hal-hal yang tak kasat mata.
Langit siang itu cerah, seolah ikut merayakan perjalanan mereka kembali ke kota. Namun jauh di dalam hati, mereka semua tahu: pengalaman di rumah pusaka itu tidak akan pernah hilang. Ia akan selalu hidup sebagai kenangan… sekaligus pengingat.
Pulang ke Kota
Sesampainya di kota, mereka berpisah di jalan besar. Mas Bayu mengantarkan Indah pulang ke rumahnya, sementara Sukma, Adi, dan Yanto kembali ke rumah masing-masing. Malam itu semua memilih istirahat, tubuh masih lelah dan pikiran masih penuh dengan bayangan kejadian di rumah pusaka.
---
Keesokan Harinya
Pagi itu, hanya Sukma, Adi, dan Yanto yang bertemu. Indah belum bisa ikut karena kondisi tubuhnya masih lemah, wajahnya pucat, dan semangatnya belum pulih total.
Mereka bertiga berjalan menuju kampus, membawa berkas laporan sekaligus foto-foto hasil penelitian mereka di rumah pusaka.
Di ruang dosen, mereka duduk rapi menghadap meja kerja. Dosen membuka map berisi hasil kerja, menatap serius tiap lembar, lalu berhenti cukup lama pada beberapa foto. Wajahnya tampak kaget dan penuh tanda tanya.
Dosen (heran):
> “Ini… Indah, bukan? Tapi kenapa wajahnya beda ya?”
Adi dan Yanto saling pandang, Sukma menunduk, berusaha menahan degup jantung yang tiba-tiba terasa cepat.
Dosen (mengangkat kepala, menatap mereka bertiga):
> “Kalian bisa jelaskan… apa yang sebenarnya terjadi di sana?”
Penutup
Di ruang dosen, Sukma, Adi, dan Yanto hanya berdiam diri. Mereka saling pandang, tidak ada satu pun yang berani menceritakan detail pengalaman malam ritual itu.
Dosen menatap mereka beberapa saat, lalu tersenyum tipis, seolah mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
Dosen:
> “Baik… terima kasih, kalian sudah bekerja dengan baik.”
Tanpa menunggu jawaban, dosen itu pergi meninggalkan mereka.
---
Di Rumah Indah
Sementara itu, di kamar Indah, suasana terasa berbeda. Pintu kamar terkunci rapat. Indah duduk di tempat tidurnya, wajahnya memancarkan senyum sinis.
Indah (dalam hati, lirih):
> “Aku masih lagi di sini… menemani dan menanti.”
Tiba-tiba, ia tertawa kecil, suara itu menyelinap lembut namun dingin di kamar yang sunyi, meninggalkan kesan bahwa cerita mereka masih menyimpan misteri yang belum sepenuhnya hilang.
---
TAMAT
Share this novel