Mbah Surya, Mas Bayu, Indah, Sukma, Yanto, dan Adi akhirnya tiba kembali di rumah pusaka. Waktu sudah menunjukkan pukul 5 pagi.
Suasana begitu hening. Seakan rumah tua itu pun mengerti betapa lelahnya mereka setelah malam panjang penuh hiruk pikuk gaib. Tidak ada suara kecuali desiran angin pagi yang masuk melalui celah-celah jendela kayu.
Mbah Surya dan Mas Bayu yang biasanya kuat, kali ini ikut tumbang oleh letih. Mereka terlelap di ruang tengah, beralaskan tikar pandan yang tergelar seadanya. Yanto dan Adi pun tertidur di sudut ruang, sementara Indah masih lemah, rebah di dekat Sukma.
Menjelang Subuh, Sukma menjadi orang pertama yang membuka mata. Meski tubuhnya masih lelah, ada rasa syukur dalam hatinya karena semuanya masih selamat. Ia segera membersihkan diri, lalu menunaikan shalat Subuh dengan khusyuk. Seusai sujud terakhir, ia meneteskan air mata, berbisik syukur kepada Allah atas perlindungan malam tadi.
> “Alhamdulillah… Gusti, sampun nglindungi kulo lan kanca-kanca.”
(Alhamdulillah… Ya Allah, Engkau telah melindungi aku dan teman-temanku.)
Setelah itu, Sukma beranjak ke dapur. Seperti biasa, meski tubuhnya masih pegal, ia mulai menyiapkan sarapan pagi untuk semuanya. Api kompor dinyalakan, aroma nasi yang dipanaskan dan sayur sederhana mulai memenuhi dapur, menghadirkan sedikit kehangatan di tengah rumah pusaka yang dingin.
Mas Bayu perlahan terbangun. Kepalanya masih berat, tapi hidungnya menangkap aroma hangat dari dapur. Ia menoleh, dan di sana terlihat Sukma tengah sibuk menyiapkan sarapan dengan wajah teduh meski tubuhnya masih lelah.
Mas Bayu berdiri, lalu berjalan ke arah dapur. Dengan senyum kecil ia berkata pelan,
Mas Bayu:
> “Sukma, biar aku bantu ya.”
Sukma sempat menoleh. Matanya sedikit lelah, tapi ia tersenyum tipis dan mengangguk pelan.
Sukma:
> “Matur nuwun, Mas.”
(Terima kasih, Mas.)
Mereka berdua kemudian mulai menyiapkan sarapan bersama. Mas Bayu mengiris bahan sederhana, sementara Sukma mengaduk sayur di atas wajan. Suasana dapur yang biasanya sunyi kini terasa lebih hangat, walau hanya dengan sedikit obrolan ringan dan senyum yang saling terbalas.
Tiba-tiba terdengar suara berdehem berat dari arah ruang tengah.
“Ehem…”
Keduanya sontak menoleh. Di ambang pintu dapur, tampak Mbah Surya berdiri dengan tongkat di tangan, wajahnya menampilkan senyum bijak.
Mbah Surya:
> “Wah, wong enom… katon rukun banget. Hehehe…”
(Wah, anak muda… kelihatan akur sekali. Hehehe…)
Sukma langsung menunduk, pipinya sedikit bersemu, sementara Mas Bayu hanya tersenyum kaku.
Mbah Surya lalu melangkah masuk, duduk perlahan di kursi kecil dekat tungku, dan berkata dengan nada santai:
Mbah Surya:
> “Yen iso, gawena secawan kopi ireng kanggo aku yo, Sukma.”
(Kalau bisa, bikinkan secangkir kopi hitam untukku ya, Sukma.)
Sukma mengangguk, masih tersenyum malu, lalu segera menyiapkan kopi untuk Mbah Surya.
Mbah Surya menyeruput kopi hangatnya perlahan, lalu menoleh pada Sukma yang sedang menyiapkan lauk di meja dapur. Matanya penuh perhatian.
Mbah Surya:
> “Sukma, kowe piyé kabarmu saiki? Isih rumangsa abot, ta?”
(Sukma, bagaimana keadaanmu sekarang? Masih merasa berat?)
Sukma menoleh, lalu tersenyum tenang.
Sukma:
> “Alhamdulillah, Mbah… Saya rasa lebih ringan dan tenang.”
Mbah Surya mengangguk, matanya berbinar lega. Mas Bayu yang berdiri di sampingnya juga ikut tersenyum, tanda syukur bahwa Sukma benar-benar mulai pulih dari kejadian semalam.
Mas Bayu:
> “Syukurlah, Sukma. Berarti doa-doa kita tak sia-sia.”
Suasana pagi terasa lebih hangat. Sukma kemudian meletakkan sendok kayu yang ia pegang, lalu berkata dengan lembut:
Sukma:
> “Kalau begitu, Mbah… saya minta izin untuk membangunkan teman-teman ya.”
Mbah Surya:
> “Iyo, ben padha sarapan bareng.”
(Iya, biar bisa sarapan bersama.)
Sukma pun melangkah keluar dapur. Sementara itu, Mas Bayu mulai memindahkan makanan dari dapur ke meja makan: sayur hangat, tempe goreng, sambal, dan nasi putih yang mengepul.
Tak lama, terdengar langkah tergesa. Adi muncul lebih dulu dari ruang tidur. Rambutnya masih kusut, wajahnya terlihat lelah tapi ada senyum lega di bibirnya.
Adi:
> “Wah… wangi sekali. Aku sudah lapar sejak tadi malam sebenarnya.”
Mas Bayu terkekeh kecil.
Menyusul kemudian, Yanto keluar dengan gaya malasnya, masih menguap lebar. Namun, begitu melihat meja makan penuh hidangan, matanya langsung berbinar.
Yanto (sambil bercanda):
> “Halah… iki tho alasane awake dewe mlebu ritual, ben isuké iso mangan enak! Hahaha…”
(Ohh… ini toh alasan kita ikut ritual, supaya paginya bisa makan enak! Hahaha…)
Semua yang mendengar tak bisa menahan senyum. Adi hanya menggelengkan kepala, sementara Mas Bayu pura-pura menepuk jidat.
Namun, satu orang belum juga keluar dari kamar: Indah. Ia masih terlelap, tubuhnya benar-benar kehabisan tenaga setelah malam panjang yang penuh kengerian.
Mbah Surya hanya menghela napas pelan, menatap pintu kamar Indah.
Mbah Surya (lirih):
> “Biarkan dia istirahat dulu. Perjuangannya paling berat di antara kita semua.”
Suasana pagi di rumah pusaka itu terasa berbeda. Matahari sudah mulai naik, cahayanya menembus kisi-kisi jendela, membuat ruangan yang semalam begitu mencekam kini terlihat lebih ceria. Burung-burung berkicau di kejauhan, udara segar masuk bersama hembusan angin pagi.
Semua sudah duduk di meja makan. Ada senyum kecil di wajah mereka, meski tubuh masih menyimpan lelah. Hanya satu kursi yang kosong — kursi milik Indah.
Mbah Surya menatap kursi itu sejenak, hendak berkata sesuatu. Namun tiba-tiba, dari arah kamar terdengar suara isakan tangis. Suara itu jelas, pecah, penuh dengan rasa sesal.
Mereka semua sontak menoleh. Suasana meja makan yang tadi hangat mendadak berubah hening.
Adi (cemas):
> “Itu… suaranya Indah!”
Tanpa menunggu lama, mereka semua meluru ke kamar Indah.
Pintu kamar terbuka, dan di dalamnya terlihat Indah duduk di tepi ranjang. Tubuhnya bergetar, wajahnya basah oleh air mata. Ia menutup wajah dengan kedua tangannya, lalu terisak semakin keras ketika menyadari kedatangan mereka.
Indah (terisak, lirih):
> “Maafkan aku… maafkan aku semuanya… aku… aku salah… aku sudah bikin kalian susah…”
Air matanya jatuh tanpa henti. Suaranya pecah, penuh rasa bersalah dan ketakutan yang masih tersisa dari malam ritual.
Sukma yang berdiri paling depan mendekatinya perlahan, lalu duduk di sampingnya. Ia meraih tangan Indah, menggenggam erat, memberi kehangatan.
Sukma (lembut):
> “Sudah, Ndah… jangan menyalahkan dirimu terus. Yang penting sekarang kamu selamat.”
Mbah Surya melangkah masuk, menatap Indah dengan sorot mata penuh welas asih.
Mbah Surya:
> “Nak Indah… wong urip iku mesthi ana cobaané. Sing penting kowe iso tangi, sadar, lan bali marang dalan sing bener.”
(Nak Indah… hidup ini pasti ada cobaannya. Yang penting kamu bisa bangkit, sadar, dan kembali ke jalan yang benar.)
Indah menangis semakin keras, lalu menunduk, seakan tak berani menatap siapapun.
Sukma perlahan membantu Indah berdiri. Tangannya masih menggenggam erat tangan Indah, seolah takut melepaskan. Dengan sabar ia menuntunnya keluar dari kamar menuju meja makan.
Indah berjalan tertunduk, matanya sembab, tapi langkahnya sedikit demi sedikit mulai tenang karena genggaman Sukma yang menenangkan.
Saat mereka tiba di meja makan, suasana sempat hening. Semua menatap Indah dengan rasa iba sekaligus syukur melihatnya sudah bisa keluar kamar.
Namun, tiba-tiba Yanto membuka mulutnya, dengan gaya khasnya yang selalu bisa memecah ketegangan. Ia pura-pura menepuk kursi kosong di sebelahnya.
Yanto (bercanda):
> “Nah, ini baru lengkap. Kursi kosong sejak tadi nanyain, ‘kok empunya nggak datang-datang?’”
Indah sempat tertegun, lalu menatap Yanto. Senyum tipis akhirnya muncul di bibirnya, meski matanya masih basah.
Adi (ikut terkekeh, menggoda):
> “Halah, To… kursi aja kamu bikin ngomong. Nanti bisa-bisa nasi goreng juga ikutan protes.”
Mereka semua tertawa kecil. Suasana yang tadi berat seketika mencair. Bahkan Mbah Surya ikut tersenyum tipis, menandai bahwa pagi itu perlahan kembali normal.
Indah duduk di kursi dengan dituntun Sukma. Ia menghela napas panjang, lalu menatap semua orang di sekelilingnya.
Indah (lirih, tapi lebih tenang):
> “Makasih… kalian nggak pernah ninggalin aku.”
Selepas sarapan, mereka semua berkumpul di ruang tengah. Suasana masih hening, hanya terdengar detak jam dinding yang berjalan lambat.
Mbah Surya duduk bersila, menatap satu per satu wajah anak-anak itu. Tatapannya penuh kasih sayang, tapi juga membawa kewibawaan yang membuat semua terdiam.
Mbah Surya (lembut):
> “Nak Indah… kowe wis krasa luwih penak to?”
(Nak Indah… kamu sudah merasa lebih enak kan?)
Indah menunduk. Bahunya gemetar, air matanya jatuh. Ia hanya mampu mengangguk pelan sebelum akhirnya suaranya pecah.
Indah (terisak-isak):
> “Waktu kemarin aku terbangun gara-gara dengar bunyi bonang… kayak ada yang mukul. Aku penasaran… jadi aku masuk ke kamar musik itu. Aku dekati bonang, mau cari kepastian kalau benar itu yang bunyi.
Tapi… mataku tiba-tiba tertuju ke sebuah kotak kecil. Aku buka… ada cincin delima di dalamnya. Cincinnya indah banget… ukirannya unik. Aku… aku suka… terus aku ambil. Aku… ak…”
Suaranya patah, tubuhnya terguncang.
Mbah Surya mengangkat tangan, memberi isyarat agar Indah berhenti.
Mbah Surya (tenang, dalam Jawa):
> “Wis, cukup, Nak. Opo sing wes kelakon, ojo diteruske maneh. Aku wes ngerti.”
(Sudah, cukup, Nak. Apa yang sudah terjadi, jangan diteruskan lagi. Aku sudah paham.)
Mas Bayu ikut menasihati dengan tegas.
Mas Bayu:
> “Kalian harus ingat, semua yang ada di rumah pusaka ini bukan benda biasa. Ada yang njaga, ada yang terikat. Ojo nganti kowe kepincut mung merga katon ayu.”
(Kalian harus ingat, semua yang ada di rumah pusaka ini bukan benda biasa. Ada yang menjaga, ada yang terikat. Jangan sampai kalian tergoda hanya karena terlihat indah.)
Indah semakin menangis. Sukma yang duduk di sampingnya segera meraih bahu Indah, mencoba menenangkan dengan belaian lembut.
Share this novel