Suasana siang yang cerah kini terasa penuh ketegangan, seolah setiap sudut rumah pusaka menyimpan rahasia yang menunggu untuk dibuka malam nanti.
Rumah pusaka kembali hening setelah hujan reda. Rintik terakhir jatuh di tanah basah, menyisakan aroma tanah segar yang menusuk hidung. Jam dinding di ruang tengah menunjukkan 12.53 tengah hari.
Sukma berdiri, lalu mendekat ke arah Mbah Surya.
Sukma: “Mbah… aku izin nyiapke panganan tengah hari kanggo dipangan bareng-bareng.”
(Terjemahan: “Mbah… saya izin menyiapkan makanan siang untuk disantap bersama-sama.”)
Mbah Surya mengangguk lembut. Mas Bayu pun segera berdiri.
Mas Bayu (Jawa): “Ben, aku tulung kowe, Sukma. Ayo padha menyang pawon.”
(Terjemahan: “Baik, aku bantu kamu, Sukma. Mari kita ke dapur.”)
Mereka berdua masuk ke dapur, sementara Indah, Adi, dan Yanto tetap duduk di ruang tengah, larut dalam obrolan bersama Mbah Surya.
Dengan suara rendah namun sarat wibawa, Mbah Surya mulai membuka kisah lama.
Mbah Surya (Jawa):
> “Ruang musik kuwi… dudu sembarang ruang. Jaman biyen, papan kuwi dadi saksi peteng. Ana sing ilang, ana sing mati ora lumrah. Swara gamelan sing kowe krungu bengi-bengi iku dudu sekadar musik, nanging wewarah saka jagad liya.”
(Terjemahan: “Ruang musik itu… bukan sembarang ruang. Dulu, tempat itu menjadi saksi kelam. Ada yang hilang, ada yang mati dengan cara tak wajar. Suara gamelan yang kalian dengar malam-malam itu bukan sekadar musik, melainkan peringatan dari alam lain.”)
Belum sempat Adi bertanya, tiba-tiba terdengar jeritan warga dari luar.
Warga (berteriak): “Dewan megah!! Dheweke bali!!”
(Terjemahan: “Dewan megah!! Dia kembali!!”)
Mbah Surya langsung berdiri. Bersama Indah, Yanto, Adi, dan Mas Bayu, beliau keluar rumah untuk melihat apa yang terjadi.
Di dalam, Sukma yang sedang menanak nasi ikut tersentak. Ia ingin keluar, tapi tiba-tiba suara halus menyentuh telinganya.
Suara halus: “Aja metu, Nak… kowe kudu tetep ana ing omah kanggo mulihake ragamu.”
(Terjemahan: “Jangan keluar, Nak… kamu harus tetap berada di rumah untuk memulihkan ragamu.”)
Sukma terdiam, wajahnya bingung. Namun ia menurut, tetap berada di dalam rumah, meski rasa penasaran terus menghantui.
Di halaman, beberapa warga berkumpul dengan wajah pucat. Seorang bapak maju, suaranya bergetar.
Bapak Warga (Jawa, panik):
> “Nalika udan wis mandheg, aku arep menyang warung. Kudu liwat dewan megah. Nanging aku weruh samar-samar… ana bayangan ireng, kaya wong nari ing tengah dewan.”
(Terjemahan: “Ketika hujan sudah berhenti, saya hendak pergi ke warung. Harus melewati dewan megah. Tapi saya melihat samar-samar… ada bayangan hitam, seperti orang menari di tengah dewan.”)
Mbah Surya dan Mas Bayu saling berpandangan. Pandangan itu seakan sudah cukup untuk membuat mereka mengerti: malam ini harus ada ritual.
Mbah Surya (Jawa, menenangkan):
> “Kabeh ojo wedi. Gantung godhong sing ana durine ing pekarangan omah. Iki kanggo nglindhungi kowe kabeh saka gangguan.”
(Terjemahan: “Semua jangan takut. Gantunglah daun berduri di halaman rumah. Itu untuk melindungi kalian dari gangguan.”)
Warga mulai berbisik resah, namun tetap mengangguk.
Mbah Surya melanjutkan dengan suara berat.
Mbah Surya (Jawa):
> “Wengi iki, aku bakal nganakake ritual sing wis suwe ora ditindakake. Nanging aku butuh pitulunganmu kabeh kanggo mindhahake piranti musik saka omah pusaka menyang dewan megah. Kabeh kudu manut, lan nganti rampung upacara, ora ana sing oleh metu omah.”
(Terjemahan: “Malam ini, aku akan mengadakan ritual yang sudah lama tidak dilakukan. Tapi aku butuh bantuan kalian semua untuk memindahkan alat musik dari rumah pusaka ke dewan megah. Kalian semua harus menurut, dan sampai upacara selesai, tidak ada yang boleh keluar rumah.”)
Raut takut makin jelas di wajah warga. Namun mereka tahu, melawan kata Mbah Surya bukan pilihan.
Pelan-pelan, mereka membubarkan diri, menyiapkan apa yang diperintahkan.
Mbah Surya, Mas Bayu, Adi, Yanto, dan Indah kembali masuk ke rumah pusaka.
Di dalam, Sukma sudah selesai menata makanan di meja makan. Aroma sayur hangat, sambal, dan lauk sederhana memenuhi ruangan.
Sukma (tersenyum tipis): “Monggo, panganane wis tak siapke…”
(Terjemahan: “Silakan, makanannya sudah saya siapkan…”)
Mereka duduk bersama, mencoba menenangkan diri dengan santapan siang. Namun bayangan dewan megah dan ritual malam nanti terus membayangi pikiran mereka.
Mereka duduk mengelilingi meja makan. Suasana hening, hanya terdengar suara sendok dan piring yang beradu pelan. Meski makanan dihidangkan hangat dan harum, rasa tegang masih membayangi.
Adi menunduk, sesekali melirik ke arah Mbah Surya yang makan dengan tenang.
Yanto mencoba mencairkan suasana.
Yanto (senyum kecut): “Heh, paling nggak… kita makan gratis terus nih di rumah pusaka. Besok-besok aku mau tinggal sini aja deh.”
Indah melirik tajam.
Indah: “Kamu masih bisa bercanda, To? Malam tadi aja nyaris jantungku copot.”
Yanto terdiam sebentar, lalu terkekeh kecil.
Yanto: “Ya biar nggak tegang, Ndah… Kalau diem semua malah makin serem rasanya.”
Mbah Surya meletakkan sendoknya pelan. Tatapan beliau menyapu satu persatu wajah mereka.
Mbah Surya (Jawa, tenang):
> “Ora perlu wedi, Le, Ndok. Rasa wedi mung gawe lemah awakmu ringkih. Nanging kudu eling, wengi iki kowe kabeh kudu kuwat. Sing bakal kelakon ora gampang ditonton.”
(Terjemahan: “Tidak perlu takut, Nak. Rasa takut hanya membuat tubuhmu lemah. Tapi ingat, malam ini kalian semua harus kuat. Apa yang akan terjadi nanti tidak mudah untuk disaksikan.”)
Indah menelan ludah, wajahnya pucat.
Adi mengangguk pelan.
Sukma, yang sejak tadi diam, menambahkan dengan suara lirih.
Sukma: “Kalau kita semua di sini… berarti memang sudah ditakdirkan harus melalui ini bersama.”
Semua terdiam lagi. Angin siang menerobos jendela, menggoyangkan tirai, seolah ikut mendengarkan percakapan itu.
Setelah makan usai, Mas Bayu mengumpulkan piring.
Mas Bayu: “Aku bantu Sukma di pawon. Sampeyan kabeh istirahat sek, sore iki kudu siap-siap mindhahke piranti musik menyang dewan megah.”
(Terjemahan: “Aku bantu Sukma di dapur. Kalian semua istirahat dulu, sore nanti kita harus siap-siap memindahkan alat musik ke dewan megah.”)
Mbah Surya menutup pembicaraan dengan suara berat namun penuh keyakinan.
Mbah Surya (Jawa):
> “Iki dudu perkara gampang. Nanging nek kabeh manut, ritual iki bakal ngendhegake apa sing wis suwe ngenteni. Wengi iki, kabeh kudu siap.”
(Terjemahan: “Ini bukan perkara mudah. Tapi kalau semua menurut, ritual ini akan menghentikan apa yang sudah lama menunggu. Malam ini, semua harus siap.”)
Suasana makin menegangkan. Di luar, matahari mulai condong, dan bayangan panjang rumah pusaka merayap ke tanah basah.
Matahari sudah condong ke barat. Udara lembap bekas hujan masih terasa, dedaunan berkilau ditimpa sinar sore. Rumah pusaka tampak lebih suram dari biasanya, seakan menunggu sesuatu yang akan segera datang.
Warga desa mulai berdatangan. Mereka datang dengan wajah cemas, membawa dedaunan berduri seperti yang diperintahkan Mbah Surya. Ada yang menaruh di halaman rumah, ada yang menggantung di pintu masing-masing.
Mas Bayu dan beberapa pemuda desa masuk ke ruang musik. Satu per satu, gamelan tua yang berdebu dipindahkan. Suara denting besi tua beradu terdengar nyaring, seolah setiap alat musik menolak untuk dipindahkan.
Adi ikut mengangkat gong besar. Napasnya tersengal.
Adi: “Berat sekali, rasanya lebih berat dari ukuran aslinya…”
Pemuda desa lain: “Aku juga ngrasakke hal yang sama… kayak ada yang nggak rela dipindah.”
Mbah Surya berdiri di pintu ruang musik, memandang semua dengan tatapan dalam.
Mbah Surya (Jawa, tegas):
> “Aja wedi. Iki mung ujian cilik. Piranti iki kudu bali menyang panggonane ing dewan megah. Yen ora, rohnya ora bakal meneng.”
(Terjemahan: “Jangan takut. Ini hanya ujian kecil. Alat musik ini harus kembali ke tempatnya di dewan megah. Kalau tidak, roh yang menjaganya tidak akan tenang.”)
Indah yang berdiri di samping Sukma menggenggam tangan sahabatnya erat-erat.
Indah (berbisik): “Kenapa rasanya kayak kita malah membangunkan sesuatu, bukan menenangkan?”
Sukma menunduk, bibirnya bergetar lirih melantunkan istighfar.
Menjelang magrib, akhirnya semua alat musik berhasil dipindahkan ke dewan megah. Bangunan besar yang selama ini kosong kini tampak hidup, meski hanya diterangi cahaya senja. Bayangan tiang-tiang kayunya menjulang seperti raksasa bisu.
Suasana desa semakin mencekam. Warga mulai menutup pintu rumah masing-masing sesuai pesan Mbah Surya. Hanya kelompok kecil itu — Mbah Surya, Mas Bayu, Sukma, Indah, Adi, dan Yanto — yang bersiap menghadapi malam panjang di dewan megah.
Share this novel