Bab 6- (Sambungan)

Thriller Completed 11

“Assalamualaikum,” ucap Mbah Surya pelan namun tegas.
“Waalaikumussalam, Mbah…” jawab Adi dan Indah hampir bersamaan, suara mereka bergetar.

Pandangan Mbah Surya menyapu seluruh ruangan. Matanya meneliti ukiran-ukiran kayu jati di dinding, bayangan dari cahaya lampu minyak yang menari di sela-selanya, hingga sudut-sudut gelap yang seakan menyembunyikan sesuatu.

Baru kemudian pandangannya berhenti pada Sukma. Gadis itu masih terbaring di atas tikar, wajahnya pucat pasi, bibirnya kadang bergerak tanpa suara, seperti masih berbisik pada sesuatu yang tidak terlihat.

Indah menunduk, hampir menangis lagi. “Mbah… Sukma tiba-tiba jatuh pingsan. Tadi sempat ngomong aneh-aneh, kayak bukan suaranya. Saya takut, Mbah…”

Adi menambahkan, “Kami semua nggak tahu harus gimana. Makanya Yanto cepat-cepat manggil Mbah.”

Mbah Surya tidak langsung menjawab. Ia mendekat ke arah Sukma, lututnya sedikit bergetar karena usia, namun tatapannya tajam, penuh kewibawaan. Ia berjongkok, lalu meletakkan telapak tangannya di dekat kepala Sukma tanpa menyentuh. Bibirnya berkomat-kamit, melantunkan doa pelan.

Ruangan terasa hening. Hanya suara angin yang menyusup dari celah jendela, membawa serta bunyi lolongan anjing yang masih bersahutan dari kejauhan.

“Ndok iki ora pingsan biasa…” gumam Mbah Surya, hampir tidak terdengar.
(Anak ini tidak pingsan biasa…)

Yanto yang sejak tadi berdiri canggung langsung merinding. “Mbah… maksudnya gimana? Apa Sukma ketempelan sesuatu?”

Mbah Surya menoleh sekilas, sorot matanya membuat Yanto menelan ludah dan langsung diam.

Dengan suara pelan tapi mantap, Mbah Surya berkata,
“Ana sing ngancani dheweke. Nanging aja wedi disek. Sing penting kowe kabeh kudu eling lan ojo sembrono.”
(Ada yang menemani dia. Tapi jangan takut dulu. Yang penting kalian semua harus ingat dan jangan sembarangan.)

Adi menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Indah hanya bisa menggenggam tangannya erat-erat, mencari keberanian.

Mbah Surya kembali menatap Sukma, lalu menepuk pelan lantai kayu di sampingnya, seakan memberi tanda kepada sesuatu yang tidak kasatmata.
“Aku ngerti kowe ana ing kene. Nanging ojo ganggu bocah iki. Dheweke durung ngerti opo-opo.”
(Aku tahu kamu ada di sini. Tapi jangan ganggu anak ini. Dia belum tahu apa-apa.)

Seketika, udara di ruangan itu seperti bergetar. Lampu minyak bergoyang tanpa sebab, membuat bayangan di dinding berloncatan aneh. Indah spontan menutup wajahnya dengan kedua tangan.

Setelah wajah Sukma mulai tenang, Mbah Surya menghela napas panjang. Matanya masih terpejam sejenak, seolah berbicara bukan dengan mereka yang terlihat, melainkan dengan sesuatu yang jauh lebih tua dan berwibawa.

Pelan-pelan, Mbah Surya menundukkan kepala, lalu berkata lirih:
“Nyai Mawar… kawula nyuwun pangapunten. Bocah iki durung ngerti opo-opo. Nanging kawula janji bakal njaga dheweke lan kancane nganti tekan wekasan.”
(Nyai Mawar… saya mohon maaf. Anak ini belum mengerti apa-apa. Tapi saya berjanji akan menjaga dia dan teman-temannya sampai akhir.)

Suara Mbah Surya terdengar penuh rasa hormat. Tangannya yang berurat menggenggam tongkatnya erat, lalu ia mengetuk pelan lantai kayu, seperti memberi salam kepada penghuni tak kasat mata yang menjaga rumah pusaka itu.

Adi, Indah, dan Yanto hanya bisa saling pandang, bingung dengan siapa sebenarnya Mbah Surya berbicara. Tapi mereka terlalu takut untuk bertanya.

Tak lama kemudian, Mbah Surya berdiri tegak, menoleh ke arah mereka. Tatapan matanya yang tajam membuat ketiganya serentak menunduk.

“Wis, kowe kabeh ojo dipikir abot. Iki kabeh dudu salahmu,” ucap Mbah Surya pelan namun tegas.
(Sudah, kalian jangan pikir terlalu berat. Semua ini bukan salah kalian.)

Yanto memberanikan diri angkat suara, meski nadanya gemetar. “Terus, Mbah… kita harus gimana? Saya sumpah nggak ngerti apa-apa, tiba-tiba Sukma jatuh kayak gitu…”

Mbah Surya mengangkat tangannya, memberi tanda agar Yanto diam.
“Saiki, sing penting kowe kabeh kudu ngaso disek. Turu, ben awakmu seger maneh. Aja mikir sing macem-macem.”
(Sekarang, yang penting kalian semua istirahat dulu. Tidur, biar badan kalian segar kembali. Jangan pikir yang aneh-aneh.)

Indah masih ragu. “Tapi Mbah… kalau nanti kejadian lagi gimana?”

Mbah Surya menghela napas dalam, lalu menatapnya penuh wibawa. “Wengi iki aku sing bakal jagani omah iki. Ora ana sing wani ngganggu yen aku isih ana kene.”
(Malam ini aku yang akan menjaga rumah ini. Tidak ada yang berani mengganggu selama aku masih ada di sini.)

Ketiga sahabat itu akhirnya menurut. Perlahan mereka masuk ke kamar masing-masing, meski rasa takut masih jelas di wajah mereka. Yanto bahkan sempat berbisik pelan ke Adi sebelum menutup pintu kamar,
“Eh Di… aku rasa lebih aman tidur di kamar Mbah Surya aja. Tapi takut nanti malah disuruh jadi jagain rumah juga…”

Adi melirik tajam, membuat Yanto buru-buru menutup mulut dan kabur ke kamarnya.

Sementara itu, Mbah Surya tetap duduk di ruang tengah. Ia menarik kursi bambu tua, lalu duduk dengan tenang, tongkat kayu tetap di sampingnya. Suara angin malam berhembus masuk lewat celah jendela, membawa aroma tanah basah dan dingin yang menusuk tulang.

Matanya menatap lurus ke arah ruangan musik, tempat gamelan kuno tersusun rapi. Bayangan lampu minyak membuat bonang dan gong memantulkan cahaya samar, seakan berkilau hidup.

Mbah Surya tidak bergerak, hanya bibirnya yang sesekali berkomat-kamit melantunkan doa. Di udara, entah mengapa, terasa ada sesuatu yang ikut diam, seolah menghormati keberadaannya.

Jam dinding tua berdetak pelan. Malam semakin larut. Namun selama Mbah Surya duduk di sana, rumah pusaka itu seakan terjaga oleh aura yang berbeda—tenang, namun penuh kewaspadaan.

Dan di kamar masing-masing, meski masih diliputi rasa takut, akhirnya anak-anak itu mulai terlelap. Hanya Yanto yang sesekali gelisah, tubuhnya berbalik ke kiri dan kanan, seolah mimpinya tak pernah benar-benar tenang.

Malam itu, rumah pusaka tidak lagi sunyi… tapi juga tidak berani bising.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience