Bab 5 - Malam yang Berbeda

Thriller Completed 11

Malam semakin larut. Angin berdesir dari sela-sela jendela rumah pusaka, menimbulkan bunyi lirih seperti bisikan yang samar. Lampu utama di ruang tengah dipadamkan, hanya tersisa cahaya lampu minyak di sudut ruangan yang redup berkelip diterpa angin. Dari luar, suara jangkrik bersahutan, kadang diselingi lolongan anjing yang jauh di ujung desa.

Keempat sahabat itu berkumpul di ruang tengah, masing-masing sudah bersiap untuk tidur. Gelak tawa Yanto kembali mencairkan suasana yang tadi agak tegang setelah kunjungan Mbah Surya.

"Eh, kalian tahu nggak? Kalau aku ngorok, jangan salah kira ada genderuwo ya. Itu cuma aku latihan suara bass." Yanto menyeringai.

Indah langsung melempar bantal kecil ke arahnya. "Dasar kamu, Yan! Bikin takut orang aja."

Adi ikut menimpali sambil nyengir, "Kalau beneran ada genderuwo, pasti kabur deh dengar suara kamu. Saking nggak enaknya."

Sukma hanya menggeleng kecil, tertawa pelan sambil membereskan gelas-gelas teh yang masih tersisa di meja. Dalam hatinya, ia mencoba menenangkan diri. Malam pertama di rumah pusaka ini terasa aneh, berbeda, meski ia tak ingin memperlihatkan rasa itu di depan teman-temannya.

Akhirnya mereka semua masuk ke kamar masing-masing. Lampu minyak ditiup pelan, ruangan tenggelam dalam kegelapan yang hanya diterangi sinar bulan dari celah jendela. Detak jam dinding terdengar jelas-tik... tok... tik... tok-seperti menegaskan betapa lambat waktu berjalan di rumah tua itu.

Satu per satu, mereka tertidur.

Namun, tidak dengan Yanto.

Ia terbangun di tengah malam karena ingin ke kamar mandi. Selesai, ketika hendak kembali ke kamar, matanya sekilas menangkap bayangan samar di ruang musik. Ia bergumam pelan, "Indah?"

Dengan langkah hati-hati, Yanto mendekat. Bayangan itu memang mirip Indah. Ia menepuk pundaknya, membuat sosok itu terlonjak kecil. Benar, itu Indah, wajahnya sedikit pucat.

"Hampir aja aku teriak!" bisik Indah dengan nada kesal.

"Ngapain kamu di sini tengah malam gini?" tanya Yanto pelan.

Indah menunduk. "Aku... dengar suara bonang. Jadi penasaran. Makanya aku cek ke sini."

Yanto menghela napas lega. "Ayo, balik ke kamar. Jangan macam-macam deh." Ia menarik lengan Indah dengan hati-hati, lalu keduanya kembali ke tempat tidur.

Jam terus berdetak, hingga hampir pukul tiga dini hari. Yanto terlelap kembali, namun tidurnya gelisah. Nafasnya tersengal, keningnya berpeluh. Dalam tidurnya, ia melihat sesuatu-sebuah mimpi aneh, begitu nyata hingga membuat dadanya berdegup keras.

Tapi ketika ia terbangun dengan terlonjak kecil, mulutnya terkatup rapat. Ia memilih diam.

Malam itu, hanya Yanto yang tahu betapa tidur di rumah pusaka ini terasa berbeda.

---

Fajar merayap, membawa sinar lembut ke balik pepohonan. Sukma, seperti biasa, bangun lebih awal. Dengan langkah ringan ia menuju kamar mandi, tapi langkahnya terhenti saat melihat seseorang sudah duduk di kursi bambu ruang tengah.

"Yanto?"

Pemuda itu menoleh, senyum tipis terbit di wajahnya. Namun sorot matanya tampak lelah.

"Kok udah bangun?" tanya Sukma, heran.

"Kamu baik-baik aja kan? Ngga bisa tidurkah?" Tanya sukma lagi dengan nada sedikit khawatir.

Yanto menarik napas. "Iya... Aku baik-baik aja... cuma..."
Kalimatnya menggantung, tak diteruskan.

Sukma menunggu, tapi ia hanya tersenyum hambar. "Nggak apa-apa. Mungkin capek, kurang tidur. Biasalah... di tempat baru aku nggak bisa tidur tanpa bantal kesayanganku."

Sukma menahan tawa. "Bantal kesayangan? Jangan-jangan bantalnya ada foto mantan ya?"

Yanto terkekeh, lalu mengalihkan pandangan ke luar jendela. Ia tidak ingin melanjutkan cerita. Untuk sekarang, mimpi itu akan tetap menjadi rahasia.

Sukma menepuk bahunya pelan. "Ya udah, aku ke dapur dulu. Kamu tunggu sini aja."

Dan pagi itu dimulai dengan bisu yang berat. Hanya Yanto yang membawa mimpi aneh itu dalam diam, sementara rumah pusaka kembali menyambut hari baru dengan sunyi yang menyimpan tanda tanya.

Pagi yang Sunyi

Setelah menyiapkan air panas untuk teh, Sukma melangkah ke kamar-kamar temannya. Ia menepuk perlahan pintu kayu yang sudah mulai lapuk.

"Di... Yan... Ndah... ayo bangun. Udah pagi," panggilnya pelan.

Suara berisik terdengar dari balik pintu. Adi menguap lebar sambil menggaruk kepalanya yang berantakan. "Hhh... Sukmaaa... kamu tuh alarm apa gimana sih? Baru juga enak-enak tidur."

Indah menggeliat dengan mata masih terpejam. "Aku mimpi lho... mimpi lagi makan es krim. Eh, dibangunin, ilang udah..." keluhnya.

Yanto menghampiri pintu kamar. Wajahnya masih terlihat letih, tapi ia berusaha tersenyum. "Pagi-pagi udah ribut aja kayak pasar."

"Kalau nggak aku bangunin, kalian bisa tidur sampe siang. Nanti proyek kita nggak jalan-jalan," balas Sukma sambil nyengir.

Mereka semua berkumpul di meja kayu panjang yang berada di ruang tengah. Sarapan sederhana sudah siap: nasi goreng buatan Sukma dengan telur dadar, serta teh hangat mengepul di cangkir-cangkir enamel. Bau bawang putih goreng mengisi ruangan, sedikit menutupi aroma kayu tua rumah pusaka itu.

Adi menyendok nasi dengan lahap. "Wah, enak banget, Mak Sukma. Kalau tiap hari sarapannya kayak gini, betah deh aku di sini."

Indah ikut menimpali, "Betah sih betah, asal jangan ada yang nakut-nakutin aja. Rumah ini auranya beda, tau!"

Sukma menatap Indah, mencoba tersenyum menenangkan. "Udah, jangan mikir aneh-aneh. Fokus aja sama kerjaan kita."

Yanto hanya diam, sesekali menatap Sukma seakan ingin bicara, tapi urung. Mimpi aneh semalam masih jelas di kepalanya, tapi ia memilih menyimpannya sendiri. Belum saatnya ia bercerita.

Suasana sarapan berjalan dengan canda tawa kecil, walau sesekali ada jeda sunyi yang membuat mereka saling berpandangan tanpa alasan jelas. Sunyi itu hadir begitu saja, seolah rumah pusaka itu ikut mengawasi mereka.

Selesai sarapan, mereka belum langsung beranjak dari meja. Hangatnya teh yang masih mengepul seolah ingin menahan mereka lebih lama duduk bersama. Sesekali terdengar suara ayam jantan dari luar, bercampur dengan desir angin yang melewati celah-celah jendela kayu.

Adi menghela napas panjang sambil melirik sekeliling. "Gila sih... rumah ini tua banget, tapi kok masih berdiri tegak. Kayak saksi bisu gitu."

"Ya iyalah, namanya juga rumah pusaka," balas Yanto sambil memainkan sendok. "Kalau roboh, kita nggak jadi proyek dong, Di."

Indah menoleh ke Yanto, menekankan suaranya. "Bisa nggak sih omongan kamu tuh jangan asal? Dari kemarin ngomongnya sembarangan mulu."

"Lho, aku cuma bercanda kok. Nggak usah baper gitu, Ndah," Yanto menyeringai, membuat Indah makin gemas.

Sukma yang sejak tadi hanya mendengarkan, menggeleng sambil tersenyum tipis. "Udah, udah, kalau pagi-pagi udah berantem, nanti seharian bawaannya tegang. Mending kita tentuin aja, siapa ngerjain apa."

Adi mengangguk mantap. "Setuju. Aku sama Sukma keluar, catat tentang lingkungan sekitar rumah. Mungkin ada sejarahnya juga. Yan, Ndah, kalian di ruang musik. Catat detail alat musiknya satu-satu, ukur, foto, pokoknya dokumentasi."

Indah spontan mengangkat tangan, wajahnya jelas tak setuju. "Lho, kenapa aku harus sama Yanto lagi? Nggak bisa tukeran aja?"

Adi menepuk meja kecil. "Nggak bisa. Kamu sama Yanto. Udah keputusan final."

Indah manyun. "Huh, dasar diktator kecil."

Yanto menepuk pundaknya sambil tertawa. "Santai aja, Ndah. Aku nggak bakal gigit kok."

"Justru itu yang bikin aku takut," sahut Indah cepat, membuat Sukma terkekeh kecil.

Setelah suasana agak mencair, mereka mulai beranjak. Adi mengambil buku catatan tebal dan kamera sederhana yang mereka bawa. Sukma membawa tas kain berisi botol minum dan beberapa peralatan kecil. Sementara Yanto dengan malas-malasan mengangkat kamera lain, dan Indah membawa buku tulis serta pena.

Sebelum keluar dari ruang tengah, Sukma sempat berhenti sebentar, menatap pintu besar di ujung rumah yang mengarah ke ruang musik. Entah mengapa, pintu itu seolah memanggilnya. Seperti ada sesuatu yang menunggu di baliknya. Tapi ia tak berkata apa-apa, hanya menarik napas dalam lalu berjalan mengikuti Adi.

---

Di luar rumah pusaka

udara pagi terasa segar, meski masih ada hawa dingin yang menusuk tulang. Embun menempel di rumput liar, dan suara serangga hutan terdengar samar.

Adi mengeluarkan catatannya. "Lihat ukiran di tiang ini, Ma. Kayaknya ada makna filosofinya."

Sukma mendekat, memperhatikan ukiran berbentuk bunga teratai yang melingkar. "Iya, ini bukan ukiran biasa. Biasanya teratai itu simbol kesucian dan ketenangan batin."

"Pantes aja rumah ini kerasa beda, ya," gumam Adi sambil mencatat.

Sementara itu, di dalam rumah pusaka, Yanto dan Indah membuka pintu menuju ruang musik. Udara di dalam terasa lebih pengap. Deretan gamelan, gong, bonang, saron, dan kendang berjejer rapi, meski beberapa sudah berdebu.

"Wih, serem juga ya tempatnya," Yanto bersiul kecil. "Kayak ruang penyimpanan harta karun."

Indah langsung memelototinya. "Jangan ngomong ngawur. Kalau ini ruang sakral gimana?"

"Tapi bener kan? Liat aja, alat-alat ini kayak masih dipakai. Padahal rumahnya udah lama kosong."

Indah menelan ludah. Perkataannya memang masuk akal. Ia menunduk, lalu buru-buru membuka buku untuk mencatat, mencoba mengalihkan rasa takutnya.

Sementara Yanto sibuk memainkan kamera, diam-diam ia mendekati satu set bonang. Tangannya terhenti di atas salah satu wilahan kayu yang tergeletak. Ada dorongan aneh untuk mengetuknya. Tapi sebelum sempat ia lakukan, Indah menoleh cepat.

"Yan! Jangan main-main sama alat itu! Kalau kenapa-kenapa gimana?"

Yanto tersenyum kecut. "Iya, iya. Aku cuma liat doang kok."

Namun tatapannya masih terikat pada bonang itu. Entah kenapa, hatinya berdegup lebih cepat.

---

Sementara itu, di luar, Sukma tiba-tiba merinding. Angin bertiup lebih kencang dari arah hutan. Ada bisikan samar yang nyaris tak terdengar, membuat bulu kuduknya berdiri. Ia menghentikan langkah, menoleh ke arah pepohonan.

"Kenapa, Ma?" tanya Adi heran.

Sukma menggeleng pelan. "Nggak... cuma kayak ada yang manggil."

Adi terdiam sejenak, lalu menepuk bahunya. "Kalau capek bilang. Jangan dipaksain."

Sukma hanya tersenyum tipis, mencoba menepis kegelisahannya. Tapi jauh di dalam hatinya, ia tahu... ini baru permulaan.

Sore itu, cahaya matahari yang temaram menembus sela-sela jendela rumah pusaka. Debu-debu tipis berterbangan, seolah menari di udara, tersorot cahaya keemasan senja. Di meja ruang tengah, catatan-catatan sudah berserakan—hasil kerja mereka seharian.

Adi menutup bukunya dengan puas. “Akhirnya, beres juga untuk hari ini. Besok tinggal kita rapiin data-data sama foto.”

Indah meregangkan tubuh sambil menghela napas. “Duh, capek banget. Ternyata ngurusin rumah tua gini bisa bikin pegal seluruh badan.”

“Ya iyalah, Ndah. Kamu aja yang kebanyakan ngeluh,” Yanto menyahut sambil terkekeh.

“Yan, serius deh, aku tuh beneran capek,” Indah menatapnya sinis. “Kalau ngomong jangan seenaknya.”

Sukma yang duduk di kursi bambu, hanya tersenyum tipis melihat perdebatan kecil itu. Matanya memandang keluar jendela. Senja tampak lebih muram dari biasanya. Langit berwarna oranye keabu-abuan, seolah matahari enggan tenggelam di balik hutan yang membentang.

“Eh, kalian sadar nggak? Suasana sore di sini tuh aneh,” bisik Sukma lirih.

Adi ikut menoleh. “Maksudmu?”

“Senyap banget. Padahal biasanya suara jangkrik atau burung masih ada, tapi ini kayak tiba-tiba hilang.”

Mereka semua terdiam. Benar, rumah pusaka itu mendadak sunyi, hanya suara angin yang sesekali melintasi atap kayu tua.

Untuk memecah ketegangan, Yanto berdiri lalu merentangkan tangan. “Udah, jangan tegang gitu dong. Ayo kita keluar sebentar, nikmatin udara sore. Kalau diem di dalam terus, kita makin parno.”

Tanpa menunggu jawaban, Yanto sudah melangkah ke beranda. Indah ragu-ragu, tapi akhirnya ikut juga. Sukma dan Adi menyusul di belakang.

Di beranda rumah pusaka
suasana terasa lebih ganjil. Angin berhembus pelan, membawa aroma tanah basah yang anehnya begitu pekat. Pohon-pohon di sekitar terlihat lebih gelap, bayangannya menjulur panjang seiring matahari meredup.

Indah memeluk dirinya sendiri. “Kenapa hawanya jadi kayak gini ya… kayak nggak wajar.”

“Biasa aja, Ndah,” Yanto mencoba menenangkan, meski dalam hati ia sendiri merasakan hal yang sama.

Tiba-tiba, dari arah hutan, terdengar suara samar—seperti gamelan dipukul perlahan. Dum… dung… ting… Suara itu begitu lembut, hampir tertelan angin, tapi cukup jelas untuk membuat bulu kuduk mereka berdiri.

Mereka saling pandang.

“Yan… kamu denger juga?” bisik Adi.

Yanto mengangguk, wajahnya serius. “Iya. Dari tadi aku pikir cuma halusinasi, tapi ternyata beneran ada.”

Sukma menggenggam tangan Indah yang mulai gemetar. “Kita masuk aja. Nggak enak kalau lama-lama di luar.”

Mereka segera kembali ke dalam rumah pusaka. Begitu pintu ditutup, suara gamelan itu menghilang seketika, menyisakan keheningan yang menekan dada

Malam mulai turun. Lampu minyak kecil mereka nyalakan, menerangi ruangan dengan cahaya kekuningan yang redup. Masing-masing mencoba beraktivitas kecil untuk mengalihkan pikiran—Indah sibuk menulis ulang catatan, Adi mengecek kamera, Yanto berbaring santai sambil menggoda semua orang, dan Sukma duduk termenung menatap lantai.

Namun, di dalam hatinya, Sukma merasa ada sesuatu yang mulai bangkit di rumah itu. Bukan sekadar bisikan angin, tapi seperti ada mata tak terlihat yang mengikuti setiap gerak mereka.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience