Keliling Desa Lagi
Mereka berjalan menyusuri jalan setapak. Sawah terbentang luas di kiri kanan, dengan padi yang mulai menguning. Anak-anak desa berlarian sambil tertawa, beberapa ibu menjemur pakaian, ada pula bapak-bapak yang pulang dari ladang dengan cangkul di bahu.
Teriakan dari Arah Sawah
Tiba-tiba, suasana desa yang tenang pecah oleh sebuah jeritan keras.
“Aaaaa! Tolonggg! Sapi saya mati! Tolongggg!”
Semua orang sontak menoleh ke arah sawah. Seorang warga desa berlari tergopoh-gopoh, wajahnya pucat, suaranya panik. Warga lain segera berdatangan, sebagian ikut berteriak, sebagian lagi berlarian ke arah kandang.
Mas Bayu langsung bergegas. “Cepat, ayo ikut saya!”
Mereka semua berlari mengikuti Mas Bayu. Setibanya di kandang, pemandangan yang mengejutkan menanti. Seekor sapi milik warga tergeletak mati, matanya melotot, lidah terjulur, tanpa ada tanda-tanda sakit sebelumnya.
Warga panik, ada yang menangis, ada yang saling berbisik-bisik.
“Ini sudah yang kedua kalinya dalam seminggu…” kata seorang ibu dengan wajah cemas.
“Pasti ada yang nggak beres… ini bukan hal biasa,” sambung yang lain.
Sukma berdiri kaku, dadanya terasa sesak. Dari arah bangunan megah tadi, ia seperti mendengar samar-samar bunyi gamelan—pelan, lirih, seakan hanya ia yang bisa mendengarnya.
Adi melirik Sukma. “Kamu kenapa? Wajahmu pucat.”
Sukma menggeleng pelan. “Aku… aku cuma merasa ada sesuatu yang nggak beres.”
Mas Bayu menghela napas panjang. “Ayo, kita balik dulu. Nanti biar Mbah Surya yang bicara dengan warga. Kalau dibiarkan, suasana bisa makin keruh.”
Mereka pun berjalan kembali dengan langkah berat. Siang itu, tawa dan canda yang sempat mengisi waktu makan siang lenyap, berganti dengan ketegangan yang menggantung di udara.
Share this novel