Bab 10- Pengakuan

Thriller Completed 11

Yanto menunduk lebih dalam, kedua tangannya masih gemetar. Ia menelan ludah beberapa kali sebelum berani menatap Mbah Surya. Suasana di ruang tengah begitu hening; hanya suara hujan di luar yang terdengar.

Yanto (dengan suara lirih, gemetar):

> "Mbah... waktu aku ngrungokake suwara iku, rasaku campur aduk... Aku wedi, nanging uga penasaran. Rasane lembut, kaya ana sing nuntun aku, nanging uga kaya ngelingake yen aku salah."
(Terjemahan: "Mbah... ketika aku mendengar suara itu, rasaku campur aduk... Aku takut, tapi juga penasaran. Rasanya lembut, seakan ada yang menuntunku, tapi juga seperti mengingatkan kalau aku salah.")

Adi menatap Yanto dengan mata membesar, sementara Indah menunduk, menahan napas. Sukma hanya diam, hatinya berdebar-debar mengikuti alur pengakuan itu.

Mbah Surya mengangguk pelan, menatap Yanto penuh arti. Suaranya tetap tenang tapi tegas.

Mbah Surya (Jawa, pelan):

> "Yanto... kuwi tegese kowe wis ngrusak keseimbangan. Ora sengaja utawa sengaja, efeké padha. Saiki kowe kudu tanggung jawab lan mbalekake kabeh sing wis kowe gawe."
(Terjemahan: "Yanto... itu artinya kau telah merusak keseimbangan. Tidak sengaja atau sengaja, efeknya sama. Sekarang kau harus bertanggung jawab dan mengembalikan semua yang telah kau lakukan.")

Yanto menunduk, dada terasa sesak. Ia mengangguk perlahan, sadar bahwa tindakannya kecil tapi memiliki dampak besar bagi desa dan pusaka yang dijaga Mbah Surya.

Di luar, hujan terus mengguyur deras. Suasana yang awalnya pagi cerah kini penuh kesan tegang dan mencekam, seakan alam sendiri menuntut pertanggungjawaban.

Mbah Surya menatap semua anak-anak itu satu per satu. Matanya masih menyimpan pesan yang dalam: ini bukan sekadar pelajaran tentang pusaka, tapi juga tentang rasa tanggung jawab, keberanian, dan kesadaran atas perbuatan sendiri.

Mimpi yang Sama

Hujan mulai reda. Suasana pagi perlahan kembali normal, meski udara masih lembap dan segar. Matahari menembus celah pepohonan, menerangi ruang tengah rumah pusaka yang tadi penuh ketegangan.

Mbah Surya menatap Yanto dengan lembut.

Mbah Surya (Jawa, tenang):

> "Yanto... kowe pengin crita apa-apa marang aku?"
(Terjemahan: "Yanto... apakah kamu ingin menceritakan sesuatu kepadaku?")

Yanto menunduk, mengangguk perlahan. Ia menarik napas dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk menceritakan mimpinya.

Yanto (dengan lirih):

> "Iya, Mbah... aku pengin crita soal mimpi pertama sing aku alami semalam."
(Terjemahan: "Iya, Mbah... aku ingin menceritakan tentang mimpi pertama yang aku alami semalam.")

Yanto mulai bercerita, suaranya masih gemetar.

Yanto:

> "Mimpi pertama... aku ana ing dewan gedhe, megah banget, persis kaya sing aku delok wektu muter-muter kampung semalam. Ing tengah dewan, aku weruh Indah terbaring, dikelilingi para penari Jawa. Gamelan lan alat musik liyane diputer, koyo ana hajatan gedhe. Suwarane alus nanging medeni, nggawe aku ora bisa obah."
(Terjemahan: "Mimpi pertama... aku berada di dewan besar, sangat megah, persis seperti yang aku lihat saat keliling kampung semalam. Di tengah dewan, aku melihat Indah terbaring, dikelilingi para penari Jawa. Gamelan dan alat musik lain dimainkan, seperti ada acara hajatan besar. Suaranya lembut tapi menakutkan, membuatku tidak bisa bergerak.")

Sukma dan Adi menatap Yanto, wajah mereka pucat tapi penasaran. Indah menunduk, bibirnya bergetar, seakan mengingat pengalaman mimpi itu.

Yanto melanjutkan mimpi kedua, kali ini dengan ketegangan yang lebih terasa.

Yanto:

> "Mimpi kedua... luwih aneh. Aku ora dhewe. Adi lan Indah uga ana ing mimpi sing padha. Kita kabeh mlaku bareng ing tengah dewan, penari lan gamelan tetep muni. Nanging saiki rasane luwih nyata, luwih medeni. Ana bayangan sing ndhelik, ngubengi kita... nanging ora bisa katon kanthi jelas."
(Terjemahan: "Mimpi kedua... lebih aneh. Aku tidak sendiri. Adi dan Indah juga ada dalam mimpi yang sama. Kita semua berjalan bersama di tengah dewan, penari dan gamelan tetap dimainkan. Namun kini rasanya lebih nyata, lebih menakutkan. Ada bayangan yang tersembunyi mengelilingi kita... tapi tidak bisa terlihat dengan jelas.")

Adi menelan ludah, wajahnya pucat.
Adi: "Bener, Mbah... aku lan Indah uga nduwe mimpi sing padha. Kayak ana sing nuntun kita, nanging kita ora bisa ndeleng kanthi jelas."
(Terjemahan: "Benar, Mbah... aku dan Indah juga memiliki mimpi yang sama. Seolah ada yang menuntun kita, tapi kita tidak bisa melihatnya dengan jelas.")

Indah mengangguk pelan, masih menahan rasa takutnya. Sukma menatap mereka berdua, hatinya berdebar.

Mbah Surya (Jawa, tenang tapi tegas):

> "Iki tandha, anak-anakku. Ora mung awakmu siji sing krungu utawa ngrasa. Sampeyan kabeh kena pengaruh saka pusaka iki. Kudu luwih eling lan ati-ati."
(Terjemahan: "Ini pertanda, anak-anakku. Bukan hanya dirimu seorang yang mendengar atau merasakan. Kalian semua terpengaruh oleh pusaka ini. Kalian harus lebih sadar dan berhati-hati.")

Ruang tengah kembali hening. Semua saling pandang, menyadari bahwa mimpi tadi bukan kebetulan-melainkan pertanda dari pusaka dan dewan yang mereka lihat dalam mimpi.

Bayangan di Dewan Megah

Suasana rumah pusaka terasa hening setelah hujan reda. Sinar matahari menembus celah-celah pepohonan, menerangi halaman dan ruang tengah yang masih basah oleh rintik hujan semalam.

Jam menunjukkan 12.53 siang.

Sukma berdiri dari kursinya, wajahnya serius namun penuh tanggung jawab.

Sukma: “Aku minta izin, Mbah… aku pengin nyiapake panganan tengah hari kanggo kabeh.”
(Terjemahan: “Aku minta izin, Mbah… aku ingin menyiapkan makanan tengah hari untuk semuanya.”)

Mas Bayu: “Sok, aku bantu kowe. Ora usah kuwatir.”
(Terjemahan: “Silakan, aku bantu kamu. Tidak perlu khawatir.”)

Di dapur, mereka mulai menyiapkan nasi, sayur, dan lauk sederhana. Aroma masakan mulai mengisi ruangan. Sementara itu, Indah, Adi, dan Yanto tetap duduk di ruang tengah bersama Mbah Surya, mendengarkan cerita sejarah hitam yang tersimpan di rumah pusaka.

Mbah Surya (Jawa, lirih tapi tegas):

> “Ruang musik iki… wis suwe dadi papan sing ora mung kanggo hiburan. Wektu jaman biyen, akeh kedadean sing medeni. Ana sing ilang, ana sing… ora bisa diterangake nganggo logika. Kowe kudu ngerti, pusaka lan roh-roh sing manggon kene ora bisa dianggab enteng.”
(Terjemahan: “Ruang musik ini… sudah lama menjadi tempat yang bukan sekadar hiburan. Dulu, banyak kejadian yang menakutkan. Ada yang hilang, ada yang… tidak bisa dijelaskan dengan logika. Kalian harus tahu, pusaka dan roh-roh yang berada di sini tidak bisa dianggap remeh.”)

Tiba-tiba terdengar jeritan dari luar rumah. Suara warga terdengar panik dan keras.

Warga: “Dewan megah!! Dheweke bali!!”
(Terjemahan: “Dewan megah!! Dia kembali!!”)

Mbah Surya segera berdiri. Warga yang lain di rumah pusaka juga terkejut. Semua yang ada di rumah, kecuali Sukma yang masih di dapur, keluar untuk melihat apa yang terjadi.

Di halaman, beberapa warga mendekat dengan wajah pucat, masih terdengar rintihan takut dari mereka. Seorang bapak maju dan mulai bercerita:

Bapak warga (Jawa, panik):

> “Nalika udan wis mandheg, aku arep menyang warung. Kudu liwat dewan megah kuwi… Nanging aku weruh bayangan ireng, koyo nari-nari ana ing tengah dewan!”
(Terjemahan: “Saat hujan sudah berhenti, saya ingin ke warung. Harus melewati dewan megah itu… Tapi saya melihat bayangan hitam, seperti menari di tengah dewan!”)

Mbah Surya dan Mas Bayu saling berpandangan singkat, seperti saling mengerti apa yang harus dilakukan malam itu.

Mbah Surya (Jawa, tegas menenangkan):

> “Ojo kuwatir, kabeh bakal aman. Nanging kowe kabeh kudu gantung godhong sing ana durine ing halaman omah. Iki kanggo nglindungi omah saka pengaruh sing ala.”
(Terjemahan: “Jangan khawatir, semuanya akan aman. Tapi kalian semua harus menggantung daun berduri di halaman rumah. Ini untuk melindungi rumah dari pengaruh jahat.”)

Warga desa mengangguk meski masih terlihat resah dan ketakutan.

Mbah Surya kemudian menatap serius ke arah Mas Bayu.

Mbah Surya (Jawa, lirih):

> “Wengi iki, aku bakal nindakake upacara ritual sing wis suwe ora dilakoni. Kabeh kudu waspada lan hormat marang proses iki.”
(Terjemahan: “Malam ini, aku akan melakukan upacara ritual yang sudah lama tidak dilakukan. Semua harus waspada dan menghormati proses ini.”)

Warga desa mulai merasa gelisah. Raut takut menghiasi wajah mereka. Mereka sadar bahwa malam ini bukan sekadar malam biasa—tapi malam di mana pusaka dan sejarah gelap rumah pusaka itu akan muncul kembali.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience