Series
5
Pagi itu pabrik terasa lebih sunyi dari biasanya.
Tidak ada canda-canda ringan di ruang makan, tidak ada musik dari radio tua di pojokan.
Yang terdengar hanya bunyi mesin dan langkah sepatu para buruh yang berjalan tanpa semangat.
Raka duduk di ruang istirahat, menatap secangkir kopi hitam yang sudah dingin. Matanya lelah, tapi pikirannya justru terlalu aktif untuk istirahat.
Bayangan semalam terus menghantuinya — wajah Nisa yang ketakutan, flashdisk kecil, dan nama yang tak seharusnya disebut: Jefri.
Ia memejamkan mata sebentar.
Tak lama, suara berat memecah pikirannya.
“Rak, lo kayak orang mikir utang lima juta,” ujar Saman, rekannya yang duduk di sebelah.
“Biasanya lo cerewet, sekarang diem aja.”
Raka tersenyum tipis. “Lagi mikirin banyak hal, Man.”
“Kalau soal serikat, mending hati-hati. Orang-orang HRD sekarang sering keliling. Katanya mau pantau siapa aja yang masih ‘aktif’.”
Raka menatap Saman tajam. “Dari mana lo tahu?”
Saman mengangkat bahu. “Dengar-dengar aja. Tapi ada yang bilang, Pak Jefri juga sekarang sering rapat sama HRD tiap pagi.”
Raka pura-pura santai, tapi di dadanya mulai tumbuh rasa curiga yang semakin kuat.
---
Siang harinya, Raka pura-pura lembur di gudang. Padahal ia menunggu satu momen: Jefri selalu pulang paling terakhir, melewati lorong belakang tempat kamera CCTV sudah lama rusak.
Ia berjongkok di balik tumpukan karung plastik, menunggu.
Detik demi detik terasa lama.
Akhirnya, suara langkah berat terdengar.
Sepatu kulit. Pelan tapi pasti.
Pak Jefri lewat sambil menelpon.
> “Iya, semua beres. Data di HRD udah aman. Nggak, nggak ada yang curiga… mereka pikir itu kecelakaan.”
Raka menahan napas.
> “Yang cewek itu juga udah diam. Aku punya caranya. Jangan khawatir, yang penting bonus bulan ini jangan telat.”
Langkahnya makin menjauh, suara telepon memudar.
Raka menggenggam karung di depannya kuat-kuat.
Bonus bulan ini.
Data aman.
Yang cewek itu sudah diam.
Semua kata itu seperti jarum yang menancap di kepalanya.
---
Malamnya, Raka memutuskan untuk mengecek isi flashdisk Nisa.
Ia tak bisa menunggu lagi.
Di warung internet kecil dekat kosannya, ia colokkan flashdisk itu ke komputer tua.
Terdapat beberapa folder.
Satu folder bernama “Payroll Internal 2024”.
Ia buka.
Di dalamnya ada puluhan file dengan nama karyawan.
Raka menggulir cepat—dan matanya berhenti di satu file:
JEFRI_SUPERVISOR_CONFIDENTIAL.
Tangannya sedikit gemetar saat membuka file itu.
Isinya bukan slip gaji.
Bukan data absen.
Tapi… laporan rahasia.
---
Laporan: Koordinasi Internal Pengawasan Buruh (Sektor Produksi)
Penanggung jawab: Jefri S.
Tujuan: Menekan potensi pembentukan serikat buruh liar dengan pendekatan personal dan pengawasan rutin.
Tertulis juga:
> “Subjek potensial: Raka, Nisa, Saman.
Status: pengaruh sedang berkembang.
Langkah berikut: pecah jaringan dengan isu kebakaran dan pemotongan gaji.”
---
Raka menutup mulutnya.
Tangan kirinya gemetar di atas mouse.
Jadi benar… sejak awal, Jefri bukanlah teman.
Ia adalah pengawas bayangan — orang yang dikirim perusahaan untuk membubarkan perlawanan bahkan sebelum dimulai.
Ia ingin menjerit, tapi menahan diri.
Di luar, hujan mulai turun lagi, seolah ikut menertawakan ironi nasib para buruh yang terlalu percaya.
---
Raka segera menyalin semua file itu ke ponselnya.
Tapi saat ia hendak mencabut flashdisk, komputer tiba-tiba hang.
Layar berkedip, muncul pesan aneh di layar:
> “File dikunci sistem. Akses terdeteksi. Hubungi Administrator.”
Raka panik.
Ia segera mencabut flashdisk dan keluar dari warnet tanpa menoleh lagi.
Begitu keluar, angin malam dingin menerpa wajahnya.
Ia menyembunyikan ponsel di saku jaket dan berjalan cepat ke kos.
Namun baru lima langkah, seseorang memanggil dari belakang.
“Rak.”
Raka menoleh.
Di bawah lampu jalan yang redup, berdiri Pak Jefri — wajahnya tenang, senyum kecil di bibirnya.
“Lembur malam-malam, ya?” suaranya lembut tapi dingin.
Raka mencoba tersenyum, meski jantungnya berdegup kencang. “Iya, Pak. Ngejar target gudang.”
Jefri melangkah pelan mendekat. “Hati-hati, Rak. Jangan terlalu sering begadang. Kadang orang yang begadang bisa lihat hal-hal yang seharusnya nggak dilihat.”
Raka tak menjawab.
Hanya mengangguk, lalu berjalan cepat menjauh.
Tapi sebelum ia berbelok di ujung jalan, ia sempat mendengar Jefri bergumam lirih:
> “Kadang api kecil itu berawal dari percikan. Dan aku tahu dari mana percikannya berasal.”
---
Raka tiba di kamarnya, menutup pintu, dan duduk lama tanpa suara.
Ia tahu sekarang — serikat mereka bukan hanya ancaman bagi perusahaan.
Tapi juga bagi seseorang yang sudah lama mengendalikan permainan dari balik bayangan.
Dan ia tahu satu hal lagi:
Mulai malam ini, ia tidak bisa percaya siapa pun.
Share this novel