Bab 19 – Suara dari Pagar Besi

Drama Series 5

Sudah tiga hari sejak aksi besar di depan pabrik itu.
Video tentang ratusan buruh yang berdiri di bawah hujan dengan spanduk “Kami Bukan Mesin” tersebar ke mana-mana.
Ada yang menontonnya sambil kagum, ada juga yang mencibir, tapi satu hal pasti: nama pabrik itu jadi buah bibir seluruh kota.

Di warung dekat gerbang pabrik, televisi kecil menayangkan berita lokal.

> “...aksi buruh PT Bina Logam Raya berujung damai setelah perwakilan mereka menuntut transparansi gaji dan pembentukan serikat buruh independen. Hingga kini, manajemen belum memberi tanggapan resmi.”

Nisa duduk bersama Saman dan beberapa teman lain, menatap layar sambil mengaduk kopi.
“Liat tuh,” kata Saman, tersenyum bangga. “Kita masuk TV!”

Nisa menatap layar itu lama. “Gue masih nggak nyangka, Sam. Dulu kita takut ngomong aja susah. Sekarang semua orang tahu kita.”

Saman terkekeh. “Iya, tapi jangan seneng dulu. Biasanya kalau udah viral, perusahaan mulai nyari cara ngebungkus biar kelihatan baik-baik aja.”

---

Sore itu, Raka datang ke warung itu.
Wajahnya lelah, tapi matanya penuh nyala semangat.
Begitu masuk, semua langsung menyapanya.

“Raka!”
“Pahlawan buruh!”
“Hidup Raka!”

Raka tertawa kecil sambil mengangkat tangan. “Udah, udah... jangan panggil gue gitu. Gue cuma kebetulan ngomong duluan. Yang bikin semua ini jalan kan kalian.”

Nisa menyodorkan secangkir kopi. “Nih, buat ketua kita di luar pagar.”
Raka menerima dengan senyum. “Makasih. Gimana kabar di dalam?”

Saman menjawab, “Masih panas. HRD pura-pura baik, tapi mereka pasang CCTV baru di ruang istirahat. Takut ada rapat diam-diam lagi.”

Raka mengangguk pelan. “Wajar. Tapi mereka nggak bisa tahan lama. Kita udah kirim berkas ke Dinas Tenaga Kerja kan?”

Nisa mengangguk cepat. “Udah. Tiga puluh lima persen karyawan tanda tangan. Tinggal nunggu proses verifikasi.”

“Bagus,” kata Raka pelan. “Kalau surat pengesahan keluar, mereka nggak bisa sentuh kita seenaknya lagi.”

---

Malamnya, Raka duduk sendiri di kontrakannya.
Hujan turun pelan di luar, menetes di atap seng.
Ia menatap ponselnya yang penuh pesan — dari media, aktivis buruh, bahkan dosen hukum yang tertarik menulis tentang gerakan mereka.

Tapi di sela-sela itu ada satu pesan pendek dari nomor tak dikenal:

> “Hati-hati. Mereka mulai bergerak. Jangan sendirian.”

Raka terdiam. Ia tahu siapa “mereka” yang dimaksud.
Orang-orang yang berdiri di belakang Jefri. Yang punya kepentingan lebih besar dari sekadar lembur atau gaji rendah.

Ia menatap jendela yang berembun, lalu berkata pelan pada dirinya sendiri:
“Kalau mereka bergerak, kita juga nggak akan diam.”

---

Keesokan harinya, situasi di pabrik mendadak berubah.
Pihak manajemen mengumumkan pertemuan besar di aula.
Semua karyawan diwajibkan hadir.

Raka yang kini tidak lagi bekerja di situ berdiri di luar pagar, memperhatikan dari jauh bersama beberapa wartawan lokal.
Dari pengeras suara di dalam terdengar suara Jefri.

> “Perusahaan menghargai setiap aspirasi karyawan. Namun, kami menolak segala bentuk kegiatan ilegal yang dapat mengganggu stabilitas produksi. Kita akan membentuk forum komunikasi karyawan yang lebih terarah, tanpa perlu serikat buruh eksternal.”

Nisa menatap dari barisan belakang dan berbisik ke Saman, “Forum komunikasi? Itu cuma cara halus buat ngontrol kita lagi.”
Saman mendecak. “Iya, kayak nambah rantai tapi dibungkus pita.”

Raka tersenyum miris dari luar pagar.
Dia tahu taktik itu: melemahkan gerakan dengan cara yang tampak sopan.

Namun yang tak disadari Jefri, justru saat itu semangat buruh makin kuat.
Karena setiap kali mereka mencoba ditekan, mereka belajar untuk berdiri lebih tegak.

---

Malamnya, Nisa dan Saman datang ke kontrakan Raka membawa kabar baik.

“Surat dari Disnaker udah keluar!” kata Nisa sambil menepuk map di tangannya. “Serikat kita resmi diakui!”

Raka menatap map itu lama, lalu tersenyum.
“Berarti sekarang mereka harus dengerin kita.”

Saman tertawa lega. “Bukan cuma dengerin, Rak. Sekarang mereka nggak bisa buang orang semaunya.”

Raka berdiri, menatap lampu kota yang berkelip di kejauhan.
“Satu langkah kecil buat kita, tapi besar buat semua buruh yang belum berani bersuara.”

Nisa menatapnya pelan. “Lo sadar nggak, Rak... kita baru mulai sesuatu yang bisa berubahin hidup banyak orang?”

Raka menatapnya dan tersenyum kecil.
“Gue sadar. Dan gue siap. Karena kadang, satu surat bisa lebih kuat dari seribu teriakan.”

---

Sementara itu, di ruang kantornya yang gelap, Jefri membaca salinan surat yang sama.
Tangannya gemetar.
Ia tahu, mulai besok, buruh-buruh itu tak lagi bisa diperintah sesuka hati.
Dan nama “Serikat Buruh Bina Raya” akan menjadi batu sandungan pertama dalam kariernya.

Ia menatap cermin, dan untuk pertama kalinya, wajahnya tampak benar-benar tua.
“Raka…” gumamnya pelan. “Kamu menang hari ini. Tapi perang ini belum selesai.”

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience