Series
5
Pagi itu, suasana di pabrik berbeda.
Tidak lagi tegang seperti dulu, tapi juga belum benar-benar tenang.
Di depan gerbang, bendera kecil bertuliskan “Serikat Buruh Bina Raya” berkibar sederhana, menandai babak baru dalam sejarah mereka.
Buruh-buruh yang dulu takut bicara kini mulai tersenyum saat lewat.
Beberapa menepuk pundak Nisa dan Saman.
“Selamat ya, akhirnya resmi juga,” kata salah satu dari mereka.
Nisa tersenyum. “Iya, tapi perjuangannya belum selesai.”
Raka berdiri di luar pagar, menatap bendera itu dengan bangga.
Ia memang sudah bukan karyawan, tapi semua tahu siapa yang menyalakan api pertama.
Dan kini, api itu telah menjelma jadi cahaya yang menyinari banyak orang.
---
Di ruang makan pabrik yang kini disulap jadi tempat rapat, Nisa memimpin pertemuan pertama serikat.
Sekitar dua puluh orang hadir, sebagian masih tampak gugup.
Di papan tulis sederhana tertulis besar-besar:
> AGENDA: Struktur Serikat, Tuntutan Awal, dan Negosiasi.
Nisa berdiri di depan dengan nada tenang tapi tegas.
“Teman-teman, ini bukan klub. Ini tanggung jawab. Serikat bukan tempat buat marah-marah, tapi buat ngomong benar dengan cara yang bener.”
Saman mengangkat tangan. “Jadi langkah pertama kita apa, Nis?”
Nisa menatap semua yang hadir. “Langkah pertama: data. Kita kumpulin bukti lembur, slip gaji, jam kerja, dan kontrak yang nggak sesuai. Semua harus rapi. Kalau mau bicara di atas meja, kita harus bawa bukti, bukan cuma emosi.”
Beberapa orang mengangguk serius.
Raka tersenyum dari jauh, menyaksikan dari luar lewat jendela yang terbuka.
Ia tahu, mereka sudah lebih dari siap.
---
Beberapa hari kemudian, kabar tentang serikat baru itu menyebar ke luar kawasan industri.
Media menulis tentang “kebangkitan buruh muda” yang dipimpin oleh perempuan.
Wawancara dengan Nisa muncul di koran lokal:
> “Kami tidak melawan perusahaan. Kami hanya menuntut keadilan yang manusiawi.”
Kutipan itu membuat Raka bangga — dan diam-diam juga membuat Jefri gusar.
---
Di ruangannya, Jefri menatap artikel itu dengan rahang mengeras.
“Sekarang mereka pahlawan,” katanya kesal pada asistennya.
“Kalau terus begini, investor bisa tarik diri.”
Asisten mencoba menenangkan. “Kita bisa negosiasi, Pak. Tawarkan bonus tahunan atau perbaikan fasilitas. Biar serikat nggak terlalu keras.”
Jefri berpikir sejenak. “Baik. Tapi pastikan satu hal.”
“Asal jangan ribut, Pak.”
“Bukan,” kata Jefri sambil menatap foto Raka di laporan internal.
“Pastikan orang itu nggak balik lagi ke pabrik ini.”
---
Sementara itu, malam hari di warung kopi, Nisa, Raka, dan Saman kembali berkumpul.
Mereka bicara santai, tapi mata mereka tetap awas.
“Gue denger mereka mau bikin versi tandingan serikat kita,” kata Saman sambil menyeruput kopi.
Raka mengangguk. “Itu taktik klasik. Bikin serikat bayangan biar buruh bingung milih siapa yang benar.”
Nisa menatap ke arah jalan yang gelap. “Kalau begitu, kita harus lebih transparan. Semua keputusan serikat diumumin terbuka. Biar nggak ada ruang buat fitnah.”
“Dan kalau mereka nyerang lewat orang dalam?” tanya Saman.
Raka tersenyum tipis. “Berarti waktunya kita belajar politik pabrik.”
Semua tertawa kecil, tapi tawa itu bukan tawa lega — lebih seperti tawa orang yang tahu perjuangan baru saja naik level.
---
Beberapa minggu kemudian, serikat resmi mengajukan daftar tuntutan pertama:
1. Transparansi lembur dan jam kerja.
2. Kenaikan upah minimum internal.
3. Penghentian sistem kontrak berkepanjangan.
4. Pembentukan pos kesehatan dan ruang istirahat layak.
Surat itu dikirim langsung ke meja direktur, ditembuskan ke Dinas Tenaga Kerja dan media.
Langkah yang berani — dan berisiko.
Keesokan paginya, surat balasan datang cepat.
> “Pihak perusahaan akan mempertimbangkan tuntutan tersebut melalui dialog internal. Mohon tidak melibatkan pihak luar.”
Nisa membaca surat itu dan tertawa kecil. “Lihat? Mereka mulai sopan sekarang.”
Saman mengangguk. “Dulu ngomong aja udah dimarahin, sekarang dibales pake kop surat resmi.”
Raka menatap mereka dengan bangga. “Setiap kata di kertas itu dibayar sama keringat kalian. Jangan sia-siain.”
---
Namun malam itu, seseorang meninggalkan amplop di depan kontrakan Raka.
Di dalamnya hanya ada secarik kertas bertuliskan:
> “Mereka akan datang. Jangan muncul di pabrik besok.”
Raka menatap tulisan itu lama.
Ia tahu, kemenangan kecil seringkali mengundang serangan besar.
Tapi kali ini, ia tidak sendiri.
Ia menatap ke arah pabrik yang berkilau di kejauhan dan berkata pelan,
“Kalau mereka datang, biar tahu siapa yang mereka hadapi. Bukan lagi Raka sendirian, tapi serikat yang lahir dari keringat semua orang.”
---
Keesokan harinya, pagi masih gelap ketika puluhan buruh mulai berkumpul lagi di gerbang.
Tapi kali ini, mereka bukan untuk protes.
Mereka datang untuk bertahan.
Dengan bendera kecil serikat di tangan, dengan senyum lelah tapi yakin, mereka siap menghadapi apapun yang datang.
> Karena mereka sudah belajar satu hal penting:
Kekuasaan bisa menakuti, tapi solidaritas bisa mengalahkan ketakutan itu.
Share this novel