Series
5
Udara pagi di kawasan industri selalu punya bau khas: sedikit minyak, sedikit debu, dan sedikit harapan. Raka menarik napas dalam-dalam sambil menatap gerbang besi pabrik yang menjulang seperti pintu dunia baru. Kaos seragam barunya masih kaku, rambutnya belum sempat ditata rapi, dan perutnya… ya, masih mulas karena gugup.
“Pertama kali kerja wajar begitu,” gumamnya mencoba menenangkan diri.
Di depan gerbang, puluhan buruh sudah berdatangan. Ada yang menguap sambil menyeret langkah, ada yang tertawa lebar sambil merokok, ada juga yang sibuk dengan ponsel untuk mengecek absen harian. Suasana seperti pasar kecil sebelum jam kerja dimulai.
Begitu Raka masuk, suara mesin langsung menyergap telinganya—bergetar seperti gendang besar yang tak pernah berhenti. Pabrik itu mirip makhluk hidup: selalu bergerak, selalu berisik, selalu lapar memakan waktu para pekerjanya.
Di dalam, seorang perempuan berambut pendek menyapanya. “Kamu anak baru, ya?” Suaranya tegas tapi ramah.
“Iya, Mbak. Saya Raka.”
“Sari.” Ia menepuk bahunya pelan. “Santai aja, di sini semua orang pernah jadi anak baru. Yang penting kamu jangan bengong pas mesin jalan. Bisa dimarahin mandor.”
Raka mengangguk sambil tersenyum canggung. Mereka berjalan menyusuri lorong produksi. Lampu-lampu kuning menyinari tumpukan barang yang tersusun tinggi, sementara suara logam beradu terdengar dari berbagai arah.
“Kerja di sini capek enggak, Mbak?” tanya Raka akhirnya.
Sari tertawa pendek. “Capek. Tapi ya begitulah. Semua orang di sini kerja buat bertahan. Nangis juga mesin nggak bakal berhenti.”
Mereka berhenti di area kerja. Belasan orang sudah berdiri di tempat masing-masing, menyiapkan alat dan perlengkapan. Ada yang menyapa Raka dengan anggukan kecil, ada juga yang hanya melirik sekilas. Dunia baru, wajah baru, ritme baru.
Belum lima menit di sana, seorang pria bertubuh besar dengan rompi biru mendekat. Mandor. Tatapannya tajam tapi tidak menyeramkan, lebih seperti seseorang yang sudah terlalu lama berjaga malam.
“Ini anak baru?” katanya.
“Iya, Pak. Raka,” jawab Sari.
Mandor mengamati Raka dari atas sampai bawah. “Kerja yang bener. Kalau bingung tanya Sari. Jangan main ponsel, jangan keluar area tanpa izin, jangan sentuh mesin kalau belum diajarin. Paham?”
“Paham, Pak.”
Mandor mengangguk dan pergi begitu saja, bergabung dengan suara mesin yang menggaung.
Raka menghela napas. “Seram juga, Mbak.”
“Biasa itu,” kata Sari sambil tersenyum. “Yang penting jangan bikin dia marah, kamu aman.”
Hari berjalan cukup lambat. Raka belajar dasar-dasar pekerjaannya: mengontrol alur barang, memastikan tidak ada cacat, dan memahami ritme mesin. Meski tubuhnya tegang, ia mencoba mengikuti semuanya satu per satu. Sesekali Sari membantunya, sesekali ia diajak bercanda oleh buruh lain.
Meski pabriknya bising, suasananya tidak seseram bayangannya. Ada canda kecil, keluhan ringan, dan cerita-cerita yang terbang bersama debu di udara.
Menjelang istirahat, Sari menepuk pundaknya.
“Gimana, kuat?”
Raka tersenyum lelah. “Masih kuat. Tapi kalau jam kerja lebih lama dari ini… hmm.”
“Kamu baru mulai. Nanti terbiasa. Tapi ingat satu hal, Rak: kerja di sini itu bukan cuma soal kuat atau nggak kuat. Kadang kita cuma butuh teman yang ngerti.”
“Teman?” Raka mengulang.
Sari mengangguk pelan. “Di pabrik kayak begini, itu penting.”
Raka belum benar-benar paham maksudnya, tapi ia menyimpannya dalam hati.
Hari pertama belum selesai, tapi ia sudah merasa satu hal:
hidup sebagai buruh tidak sesederhana yang ia kira.
Share this novel