Bab 3 – Bisik-Bisik di Ruang Istirahat

Drama Series 5

Keesokan harinya pabrik terasa sedikit berbeda bagi Raka. Bukan karena mesinnya lebih keras, atau mandor lebih galak, tapi karena pikirannya sendiri belum benar-benar lepas dari kejadian Andri kemarin.

Begitu masuk, ia langsung melihat tempat kerja Andri kosong. Hanya ada helm kerjanya yang ditaruh di atas meja, seperti menunggu pemiliknya kembali.

“Masih di pos kesehatan?” tanya Raka pelan saat Sari mendekat.

“Kayaknya iya. Tapi kalau HRD anggap dia ‘tak layak kerja’, bisa-bisa malah dipulangkan tanpa gaji hari itu,” jawab Sari sambil membuka sarung tangannya.

“Serius?”
“Di pabrik ini banyak hal serius tapi dianggap biasa.”

Raka terdiam. Ia ingin bertanya lebih jauh, tapi Sari sudah sibuk menjaga alur proses produksi. Jadi ia menekan rasa penasarannya sampai istirahat nanti.

---

Menjelang jam makan siang, seorang petugas keamanan datang dan memberi selebaran kecil ke tiap pekerja. Bukan selebaran resmi—lebih mirip pengumuman darurat.

Raka mengambilnya. Di kertas itu tertulis:

DILARANG BERKUMPUL DI DALAM AREA PABRIK.
DILARANG MENGOBROL MENGENAI GAJI, LEMBUR, DAN KEUANGAN INTERNAL.
PELANGGAR AKAN DIKENAI SANKSI.

Raka mengerutkan dahi. “Ini maksudnya apa?”

Sari memandang sekilas. “Oh… mulai lagi.”

“Mulai apa?”

“Biasanya kalau perusahaan panik, tiba-tiba keluar aturan begini.”

“Panik karena apa?”

Sari mendekat dan berbisik, “Karena mereka dengar ada obrolan tentang serikat kemarin.”

Raka terdiam.

Ia tidak ingat ada yang bicara keras-keras tentang itu. Tapi mungkin HRD punya telinga lain. Atau mata lain. Di pabrik seperti ini, rumor memang menyebar lebih cepat dari suara mesin.

---

Saat istirahat, Sari mengajak Raka ke ruang istirahat kecil di belakang gudang—tempat yang jarang dilewati kamera.

“Duduk dulu,” katanya sambil membuka bekal.

Raka duduk. Ruangan itu sederhana: dua bangku kayu, dispenser yang entah kapan terakhir dicek, dan sebuah kipas angin yang hanya bergerak ketika mau.

“Tadi pagi kamu tanya tentang serikat,” kata Sari sambil menyendok nasi. “Mau tahu, atau mau pura-pura nggak dengar?”

“Aku mau tahu,” jawab Raka tanpa ragu.

Sari tersenyum tipis. “Bagus. Karena sebenarnya… kamu perlu tahu.”

Ia meletakkan sendoknya dan menatap Raka dengan lebih serius.

“Dulu, sebelum kamu masuk, ada beberapa buruh yang mau bikin serikat. Niatnya cuma supaya ada suara yang mewakili. Supaya kalau ada pekerja yang jatuh kayak Andri, perusahaan nggak bisa asal tutup mata.”

Raka mengangguk. “Terus?”

“HRD dapat kabar. Orang-orang itu dipanggil ke kantor satu per satu. Ada yang dimutasi ke bagian terberat, ada yang dikasih SP, ada yang tiba-tiba kontraknya nggak diperpanjang.”

“Astaga…”

“Tapi bukan cuma itu,” lanjut Sari. “Ada juga yang ‘dibisiki’ kalau mereka berani melanjutkan, keluarganya bisa susah.”

Raka menegang. “Kok bisa setega itu?”

Sari menghela napas panjang. “Karena serikat dianggap ancaman. Padahal sebenarnya… itu cuma cara buruh supaya nggak selamanya jadi korban.”

Sari mengambil napas, lalu berkata dengan suara pelan tapi tegas,
“Rak, orang-orang di sini bukan nggak mau serikat. Mereka cuma takut.”

Raka meresapi kata-kata itu. Takut. Kata yang sederhana, tapi bisa mengubah masa depan banyak orang.

Sari melirik sekitar, memastikan tidak ada yang mendengarkan, lalu menambahkan,
“Beberapa teman mulai kumpul kecil-kecilan lagi. Cuma ngobrol, belum ada gerakan. Tapi kalau kamu mau… kamu bisa ikut. Nggak ada paksaan.”

Raka terdiam cukup lama. Ia mendengar suara mesin dari kejauhan, suara yang selalu mengingatkannya pada ritme pekerjaan yang tak pernah berhenti. Tapi kali ini suara itu terasa seperti detak waktu yang memaksanya memilih.

“Aku… ikut,” akhirnya Raka berkata.

Sari mengangguk pelan. “Oke. Tapi mulai dari sekarang kamu harus hati-hati. Bicara seperlunya. Jangan gampang percaya orang. Dan jangan tunjukkan kalau kamu tertarik bahas hal-hal begini.”

Raka menelan ludah. “Kalau ketahuan?”

Sari menatapnya langsung. “Kita siap-siap kehilangan pekerjaan.”

Ucapan itu membuat ruangan kecil itu mendadak terasa lebih sempit.

Namun anehnya, dalam hati Raka muncul sesuatu yang baru. Bukan takut—atau bukan hanya takut. Tapi juga keberanian kecil yang selama ini mungkin tidak ia sadari.

Saat kembali bekerja, ia menatap deretan mesin yang terus bergerak dan bertanya dalam hati:

“Kalau nggak ada yang mulai… kapan berubahnya?”

Bab ini berakhir dengan Raka yang, untuk pertama kalinya, merasa ia bukan hanya pekerja baru. Ia adalah seseorang yang baru saja melangkah masuk ke cerita yang lebih besar dari sekadar kerja harian.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience