Bab 6 – Siapakah Kau, Jefri?

Drama Series 5

Langit sore di atas pabrik mulai berubah jingga ketika jam pulang mendekat. Para buruh bergegas melepas sarung tangan, merapikan area kerja, dan bersiap keluar dari lorong-lorong panas itu. Tapi Raka justru merasa waktunya bekerja baru dimulai.

Ia menatap pos keamanan di ujung gerbang, tempat Jefri berdiri sambil mengamati arus pekerja.

“Udah siap?” tanya Sari, berdiri di sampingnya.

Raka mengangguk, meski detak jantungnya tak stabil. “Kita langsung bicara sekarang?”

“Sekarang atau tidak sama sekali.”
Sari menepuk bahu Raka. “Tenang. Aku di belakangmu.”

Mendengar itu, Raka menarik napas dan melangkah menuju pos. Setiap langkah terasa seperti masuk ke jalur yang lebih berbahaya dari mesin manapun di pabrik.

Ketika mereka mendekat, Jefri menoleh pelan. Tatapannya dingin, tapi bukan tatapan orang yang ingin menyerang—lebih seperti seseorang yang sudah terlalu lama menyimpan sesuatu.

“Ada apa?” tanya Jefri tanpa basa-basi.

Raka menelan ludah. “Kami mau bicara sebentar, Pak.”

Jefri menyipitkan mata. “Bicara soal apa?”

Sari maju setengah langkah. “Soal kemarin malam. Dan soal… apa yang sebenarnya Bapak tahu.”

Ada jeda sebentar. Angin sore membawa aroma asap kendaraan dan besi panas yang mulai mendingin.

Akhirnya Jefri berkata, “Ikut saya.”

---

Mereka dibawa ke area samping pos, tempat yang hanya diterangi satu lampu redup. Tempat itu cukup jauh dari kerumunan buruh dan cukup dekat dengan gudang sehingga kelompok kecil mereka tidak mencuri perhatian.

Begitu sampai, Jefri bersandar pada dinding dan menatap Raka dan Sari bergantian.

“Ngomong,” katanya. “Kalian mau apa?”

Raka memberanikan diri. “Kami cuma mau tahu… Bapak itu sebenarnya ada di pihak siapa.”

Jefri mengerutkan dahi, tapi tidak tampak tersinggung. “Pihak siapa maksudmu?”

Sari bicara pelan, “Bapak memperingatkan kami kemarin, tapi juga membantu Andri. Kami tidak tahu apakah Bapak mata HRD… atau justru sebaliknya.”

Jefri tertawa kecil—tawa pendek yang lebih terdengar seperti orang kelelahan daripada lucu.

“Kalian ini terlalu jujur,” katanya sambil menggeleng. “Kalau aku benar mata-mata HRD, kalian sudah dipanggil tadi pagi.”

Raka menelan ludah.
Sari tetap diam, tapi matanya fokus.

“Dengar,” lanjut Jefri. “Aku keamanan. Tugas resmiku jaga pabrik. Tapi aku bukan boneka HRD.”

Ia menatap ke arah pabrik yang perlahan gelap.

“Kalian tahu Andri? Dia itu keponakanku.”

Raka dan Sari spontan terperanjat.

Jefri melanjutkan, “Aku diam waktu dia dipaksa lembur. Aku pikir cuma kerjaan biasa. Ternyata aku salah. Sejak dia jatuh pingsan itu… aku nggak bisa diam lagi.”

Sari menunduk pelan. “Jadi… Bapak bukan musuh?”

“Tergantung kalian siapa,” jawab Jefri datar. “Di pabrik ini, siapa pun bisa berubah jadi musuh kalau ngomongnya salah tempat.”

Raka mengangguk pelan. Ada kelegaan yang muncul, tapi juga rasa hormat baru pada pria itu.

“Aku tahu,” kata Jefri, “kalian sedang kumpul. Aku dengar dari beberapa orang. Dan aku tahu ada yang mau bikin serikat.”

Raka menegang.
Sari langsung memegang lengan Raka, mencegahnya bereaksi.

“Tenang,” kata Jefri. “Kalau aku mau lapor, aku lapor dari kemarin.”

“Terus… kenapa Bapak peringatkan kami?” tanya Raka.

Karena Andri.
Karena keponakan.
Karena keluarga.
Karena dia juga tersiksa melihat ketidakadilan.

Tapi Jefri memberi jawaban berbeda.

“Karena kalian bergerak terlalu mencolok,” katanya tegas. “HRD mulai curiga. Kamera-kamera baru itu bukan buat nyari pencuri. Itu buat nyari kalian.”

Sari menggigit bibir. “Kami sudah hati-hati.”

“Belum cukup,” potong Jefri. “Kalian butuh jaringan. Kalian butuh rencana. Dan yang paling penting… kalian butuh waktu.”

Raka akhirnya bertanya, “Kalau begitu… Bapak mau bantu kami?”

Lama sekali Jefri tidak menjawab. Ia menatap Raka lama—tatapan seorang pria yang sudah melihat banyak kegagalan dalam hidup.

Kemudian ia berkata perlahan,
“Aku tidak bisa bantu kalian langsung. Tapi aku bisa bantu satu hal.”

“Apa?” tanya Sari.

“Aku bisa kasih tahu kapan HRD mulai bergerak. Dan siapa yang bocorin informasi ke mereka.”

Raka langsung waspada. “Maksudnya… ada orang dalam?”

Jefri menatap mereka dengan mata yang tajam namun lelah.

“Di antara buruh… ada satu orang yang melapor ke HRD.
Seseorang yang kalian kenal.”

Darah Raka seolah berhenti mengalir.

Sari memicingkan mata. “Siapa?”

Jefri menarik napas panjang.

“Aku belum yakin. Tapi aku sudah curiga. Dan kalau kecurigaanku benar… kalian dalam bahaya.”

Raka balas bertanya, “Bapak tahu siapa yang kami curigai?”

Jefri menatap Raka lurus-lurus.

“Justru masalahnya, Rak… yang kulihat bukan orang yang kalian curigai.”
Ia menatap ke arah pabrik, seolah melihat orang itu berdiri di balik pintu besi.
“Ini orang yang kalian percaya.”

Raka merasakan tengkuknya dingin.

Sari langsung merapat. “Orang yang kami percaya? Siapa? Kardi? Bowo? Nisa?”

Jefri menggeleng perlahan.

“Belum. Biarkan aku pastikan dulu,” katanya. “Kalau aku salah, bisa kacau. Tapi kalau aku benar… seseorang sedang menusuk kalian dari belakang.”

Raka mundur selangkah tanpa sadar.
Untuk pertama kalinya, rasa takutnya bukan pada HRD, bukan pada mandor, bukan pada kamera pengawas.

Tapi pada seseorang yang mungkin tersenyum padanya setiap hari.

Sebagai penutup, Jefri berkata dengan suara rendah:

“Mulai sekarang… jangan percaya siapapun.”

Dan itu membuat pabrik yang selalu bising itu terasa lebih sunyi dari sebelumnya.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience