Bab 11 – Api di Balik Mesin

Drama Series 5

Malam itu, pabrik sudah sepi.
Tapi bagi Raka, suara mesin yang perlahan mati justru terdengar seperti desahan marah dari besi tua yang dipaksa bekerja terlalu lama.

Ia duduk di tangga belakang bersama Sari.
Langit mendung, angin membawa bau oli dan serbuk besi.

“Jadi kamu pikir Kardi berbohong?” tanya Sari tanpa menatap.

Raka menghela napas panjang. “Aku nggak tahu. Tapi… dari caranya tadi, dari tatapan matanya… ada sesuatu yang dia sembunyikan.”

Sari menatap jauh ke arah lampu-lampu gudang.
“Kalau dia memang berkhianat, kenapa dia nggak sekalian saja bilang semuanya? Kenapa dia tetap balik ke kita?”

Pertanyaan itu menggantung di udara.

“Kadang,” jawab Raka pelan, “orang bisa punya alasan aneh buat tetap di tempat yang dia khianati.”

Sari mengangguk pelan. “Atau mungkin… dia dipaksa.”

---

Beberapa jam kemudian, pesan masuk ke ponsel Raka.

Dari nomor tak dikenal.

“Jangan percaya siapa pun. Termasuk yang paling kamu anggap kawan.”

Raka menatap layar cukup lama, jantungnya berdetak lebih cepat.
Ia hendak membalas, tapi nomor itu sudah tidak aktif lagi.

Ia memandang sekeliling. Gelap.
Hanya suara serangga malam dan gemerisik ranting.

---

Keesokan paginya, pabrik mendadak ramai.
Bukan karena lembur, tapi karena kabar yang beredar cepat:

Seseorang membakar sebagian ruang dokumen HRD.

Kertas laporan dan arsip gaji hangus.
Sebagian ruangan berantakan.

Mandor berteriak di tengah kerumunan, “Siapa yang berani bikin ulah begini?!”

Keamanan berseliweran membawa senter dan kabel.
HRD tampak panik, tapi juga… waspada.

Raka datang agak telat dan langsung mendapati suasana kacau.
Sari menghampirinya dengan napas terengah.

“Kamu dengar? Ruang HRD terbakar sebagian. Mereka bilang sabotase!”

Raka menatap bangunan kantor di kejauhan. Sebagian dindingnya hitam terbakar.
“Ada yang lihat pelakunya?”

Sari menggeleng. “Katanya cuma ada satu orang di sekitar lokasi semalam.”

“Siapa?”

Sari menatap Raka lama.

“…Kardi.”

---

Siang itu, Kardi dibawa oleh dua petugas keamanan ke ruang HRD.
Tanpa bicara.
Tanpa sempat menjelaskan apa pun.

Semua buruh menatap, sebagian dengan iba, sebagian lagi dengan takut.
Tidak ada yang berani membela.

Raka hendak maju, tapi Sari menahannya.
“Jangan, Rak. Bisa-bisa kamu juga diseret.”

“Tapi dia belum tentu salah!”

“Dan kamu belum tentu aman.”

Raka menggertakkan gigi, tapi akhirnya mundur.
Ia hanya bisa menatap dari jauh, melihat Kardi digiring masuk ke gedung kantor, wajahnya kosong, seperti sudah menyerah.

---

Beberapa jam kemudian, kabar menyebar lebih cepat dari angin:
Kardi dipecat.

Tanpa pesangon. Tanpa surat pembelaan.
Alasannya: melanggar disiplin berat dan dicurigai terlibat sabotase.

Nisa menangis diam-diam di sudut ruang ganti.
Bowo memukul meja hingga hampir patah.
Sari menggigit bibir sampai berdarah.

Dan Raka?
Ia hanya duduk mematung.

“Dia nggak mungkin ngelakuin itu,” gumamnya.

“Bisa aja,” jawab Bowo dingin. “Siapa lagi yang punya alasan dendam sama HRD?”

“Dia bukan tipe begitu!”
Raka menatap Bowo tajam. “Dia cuma… terlalu nekat, tapi nggak jahat.”

Sari menatap mereka berdua. “Berhenti dulu, kalian. Ini semua belum jelas.”

Nisa menatap Raka dengan mata merah. “Kalau Kardi bener-bener dipecat karena difitnah, kita nggak bisa diem, Rak. Kita harus bantu dia.”

Raka menatap Nisa — lalu Sari.
“Kita nggak punya bukti.”

“Tapi kita punya hati nurani,” jawab Sari lirih.

---

Malam harinya, Raka tidak langsung pulang.
Ia menunggu di dekat pos keamanan yang sepi, berharap bisa bertemu Jefri.

Sekitar pukul delapan, pria tua itu muncul, berjalan pelan sambil menenteng termos kopi.

“Pak,” panggil Raka.

Jefri menatapnya dengan tatapan berat. “Aku sudah tahu soal Kardi.”

“Dia nggak bersalah, kan?” tanya Raka cepat.

Jefri tidak langsung menjawab. Ia menuang kopi ke tutup termosnya, meniup sebentar, lalu berkata:

“Dalam dunia buruh, Nak… yang bersalah bukan selalu yang berbuat. Tapi yang paling gampang dijatuhkan.”

Raka menggigit bibir. “Jadi mereka sengaja menjadikan Kardi kambing hitam?”

“Mungkin iya. Mungkin juga… Kardi memang tahu sesuatu yang seharusnya tidak dia tahu.”

Raka mengerutkan kening. “Maksudnya?”

Jefri menatapnya tajam. “Kamu pikir siapa yang bisa bakar ruang HRD tanpa ketahuan? Orang dalam. Orang yang tahu di mana kamera, kapan penjaga patroli, dan kunci mana yang bisa dipakai.”

Suara jangkrik terdengar nyaring.

“Dan kamu tahu siapa yang pernah dikasih akses ke ruangan itu minggu lalu?”

Raka menggeleng.

Jefri menarik napas panjang, lalu berkata pelan:

“Nisa.”

---

Raka terdiam lama.

Kata itu bergema di kepalanya, berulang-ulang.

Nisa?
Yang paling tenang?
Yang paling rajin mencatat, seolah hanya ingin belajar?

“Tidak mungkin, Pak. Nisa bukan tipe begitu.”

Jefri menatap lurus ke depan. “Dunia ini nggak sesederhana wajah orang, Rak. Kadang yang kelihatan paling lembut, justru yang paling berani membakar semuanya.”

Raka berdiri, bingung antara percaya atau menyangkal.

“Kalau kamu mau tahu kebenaran,” lanjut Jefri, “temui dia malam ini. Jangan tunda. Kadang, kebenaran cuma muncul satu kali sebelum hilang.”

Raka menatapnya lama, lalu berlari meninggalkan area pos.

Dalam hatinya, satu kalimat berputar tanpa henti:

“Jika bukan Kardi, lalu siapa sebenarnya yang melawan… dan siapa yang mengkhianati?”

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience