Series
5
Langit malam di atas pabrik gelap dan basah. Hujan baru saja reda, meninggalkan bau tanah dan oli yang menyatu di udara.
Lampu-lampu jalan memantul di genangan air, seolah menggandakan dunia yang muram itu.
Raka berjalan cepat menuju barak buruh perempuan. Di tangannya, ponsel bergetar — pesan dari Jefri masih terbuka di layar:
> “Kalau ingin tahu kebenaran, temui dia malam ini.”
Langkahnya berhenti di depan sebuah pintu besi. Nomor 17.
Barak Nisa.
Ia mengetuk pelan.
Tidak ada jawaban.
Ia mengetuk lagi, lebih keras.
Akhirnya, suara pelan terdengar dari dalam.
“Raka? Kamu?”
“Iya. Aku mau bicara. Penting.”
Pintu terbuka sedikit. Nisa muncul dengan wajah letih dan mata merah, seperti habis menangis lama. Ia menatap Raka lama, lalu membuka pintu lebih lebar.
“Masuk aja. Tapi pelan, biar nggak kedengeran penghuni lain.”
---
Di dalam, barak itu sederhana — dua kasur tipis, gantungan baju, dan meja kecil penuh kertas catatan.
Raka langsung mengenali buku catatan yang sering dibawa Nisa saat rapat-rapat kecil mereka dulu.
“Maaf datang malam-malam,” kata Raka pelan.
Nisa duduk di ujung kasur, memeluk lutut. “Aku udah duga kamu bakal datang.”
Raka menatapnya serius. “Jefri bilang kamu punya akses ke ruangan HRD minggu lalu.”
Nisa menunduk, menggigit bibir.
“Jawab, Nis. Benar atau nggak?”
Perempuan itu menarik napas dalam. “Benar.”
Raka nyaris terlonjak. “Jadi kamu… yang bakar ruangan itu?”
Nisa cepat-cepat menggeleng. “Bukan! Aku nggak bakar apa-apa! Tapi aku memang masuk ke sana. Aku… aku nyari data.”
“Data apa?”
Ia menatap Raka dengan mata merah, bergetar tapi penuh tekad.
“Data pemotongan gaji. Aku tahu mereka nipu. Banyak slip upah yang disunting, termasuk punyamu. Tapi dokumen-dokumen itu disembunyikan di lemari besi HRD.”
Raka terdiam.
“Aku pikir kalau aku bisa ambil bukti itu, kita bisa bantu serikat nanti. Tapi aku nggak sempat salin datanya. Pas aku balik dua hari kemudian… ruangannya udah terbakar.”
Raka menarik napas panjang. “Kamu sadar nggak, sekarang semua orang nyangka Kardi yang melakukannya?”
Nisa mengangguk pelan. “Makanya aku nggak bisa tidur. Aku harusnya ngomong dari awal.”
Ia menatap lantai. “Tapi aku takut, Rak. Takut semuanya berantakan sebelum waktunya.”
Raka duduk di kursi kecil dekat dinding. “Jadi… kamu percaya kebakaran itu bukan kecelakaan?”
Nisa menatapnya lurus. “Bukan. Itu pembersihan. HRD mau hapus bukti.”
Kata-kata itu menggema lama di antara mereka.
Hening.
Hanya terdengar suara tetesan air dari atap bocor.
---
Beberapa detik berlalu sebelum Raka bertanya lagi, suaranya lebih lembut:
“Dan Kardi?”
Nisa terdiam lama.
“Aku kira dia pengkhianat,” katanya akhirnya. “Tapi pas HRD interogasi aku, aku dengar sesuatu… mereka udah tahu pertemuan kita bahkan sebelum Kardi ikut.”
Raka menatapnya heran. “Maksudmu?”
Nisa menatap lurus ke mata Raka, suaranya gemetar tapi jujur.
“Artinya bocoran itu… datang dari orang lain. Mungkin dari awal, dari luar lingkaran kita.”
“Siapa?”
“Aku belum tahu. Tapi satu hal yang aku dengar dari HRD sebelum aku keluar ruangan.”
Ia menelan ludah, lalu berkata pelan:
> “Mereka sebut nama seseorang yang aku pikir udah nggak kerja di sini…”
Raka mencondongkan tubuh. “Siapa?”
Nisa menatapnya lekat-lekat.
“Pak Jefri.”
---
Raka membeku.
“Jefri?” suaranya hampir tak terdengar.
Nisa mengangguk pelan. “Aku nggak ngerti kenapa. Tapi HRD bilang ‘kontak internal yang membantu menjaga kestabilan pabrik’. Dan mereka sebut nama depan dia.”
Raka tertawa kecil, pahit. “Nggak mungkin. Dia yang bantu kita dari awal.”
“Ya, tapi kamu nggak heran, Rak? Kenapa setiap kali kita hampir bergerak, selalu ada orang HRD yang tahu? Kenapa setiap langkah kita seolah sudah ditebak?”
Kata-kata Nisa menampar logika Raka.
Benar.
Beberapa kali gerakan mereka bocor sebelum sempat dilakukan.
Raka berdiri, melangkah ke jendela kecil yang menghadap halaman belakang pabrik. Hujan mulai turun lagi, membasahi tanah hitam.
“Kalau itu benar…” katanya pelan, “berarti kita semua sudah dimainin.”
Nisa menatapnya, suara pelan seperti berbisik.
“Dan yang paling ironis, orang yang kita kira pelindung, justru yang paling berbahaya.”
---
Raka berbalik menatapnya.
“Kamu yakin dengan ini?”
“Aku nggak punya bukti tertulis,” kata Nisa, “tapi aku punya satu hal.”
Ia meraih sesuatu dari bawah kasur — sebuah flashdisk kecil berwarna hitam.
“Aku sempat salin sebagian data HRD sebelum kebakaran. Cuma beberapa file. Tapi di salah satunya… ada tanda tangan elektronik dengan nama ‘Jefri S.’”
Raka memandang benda itu lama, seolah memegang kunci yang bisa membuka sekaligus menghancurkan segalanya.
Nisa melanjutkan lirih, “Kalau benar itu dia… berarti kebakaran itu bukan sabotase. Itu penghapusan jejak.”
---
Di luar, petir menyambar.
Lampu barak berkelip sebentar.
Raka menatap Nisa dengan wajah tegang.
“Kalau ini benar, Nis, kamu harus sembunyikan flashdisk itu baik-baik.”
Nisa mengangguk. “Aku udah siapin tempatnya. Tapi janji satu hal, Rak.”
“Apa?”
“Kalau aku tiba-tiba hilang… kamu teruskan perjuangan ini. Jangan biarkan serikat mati sebelum lahir.”
Raka menatapnya lama, lalu mengangguk. “Aku janji.”
---
Malam itu, Raka pulang dengan langkah cepat, membawa seribu pikiran di kepalanya.
Petir menyambar, dan untuk sesaat, ia melihat bayangan seseorang di balik pagar pabrik — tinggi, tegap, dan berdiri diam menatap arahnya.
Raka berhenti, menatap balik.
Tapi saat kilat berikutnya menyala, bayangan itu sudah hilang.
Dan entah kenapa, di antara bunyi hujan, ia mendengar sesuatu yang membuat bulu kuduknya berdiri.
Suara serak, samar, tapi familiar:
> “Hati-hati, Rak… kebenaran kadang lebih berbahaya dari kebohongan.”
Share this novel