Bab 8 – Nama yang Tak Boleh Disebut

Drama Series 5

Angin sore berhembus lemah di balik gudang ketika Jefri mengatakan kalimat itu:

“Orang itu… ada di lingkaran kalian yang paling dekat.”

Kata-kata itu seperti menjatuhkan batu besar ke tengah kelompok kecil mereka.
Sunyi.
Tidak ada yang bergerak.
Bahkan suara mesin dari dalam pabrik terasa jauh.

Kardi menelan ludah. “Maksud Bapak… salah satu dari kami?”

Jefri tidak langsung menjawab. Tatapannya tajam namun tidak menghakimi—lebih seperti seseorang yang tidak ingin menyakiti, tapi harus memberi kabar buruk.

“Aku nggak akan sebut sebelum yakin seratus persen,” katanya pelan. “Tapi ada tanda-tanda.”

Nisa menggenggam buku kecilnya lebih erat. “Tanda-tanda apa, Pak?”

Jefri memandang mereka satu per satu, lalu berkata:

“Ada orang yang sering nongkrong di dekat HRD… terlalu sering. Dia pura-pura nggak sengaja lewat, tapi sebenarnya dengar-dengar informasi.”

Raka punya firasat buruk. “Siapa?”

Jefri menggeleng lagi. “Belum bisa kukatakan. Tapi kalian harus berhenti kumpul beberapa hari. Jangan buat gerakan apa-apa dulu.”

Sari menahan napas. “Pak… kalau kita berhenti, HRD makin pede. Mereka bisa terus tekan buruh lain.”

“Aku tahu,” ujar Jefri lembut. “Tapi kalau kalian ketahuan sekarang, semuanya tamat sebelum dimulai.”

Ada jeda panjang.
Angin kembali bergerak, membawa bau kayu lembap dari gudang.

Akhirnya Kardi menghela napas panjang. “Oke. Tapi… kita minimal perlu tahu kapan kamu mau kasih nama itu.”

Jefri menatapnya dalam-dalam. “Beri aku dua atau tiga hari. Aku mau pastikan.”

Sari mengangguk. “Baik. Tapi kami tetap saling awasi.”

Jefri menatap Raka lama, lalu berkata, “Kamu yang harus paling hati-hati. Orang itu… sering memperhatikan kamu.”

Raka seketika merinding.

---

Setelah pertemuan itu bubar, Raka berjalan pulang dengan langkah pelan. Lampu-lampu jalan menyala satu per satu, menerangi jalur pulang yang biasanya terasa biasa saja… tapi hari itu terasa seperti lorong rahasia yang menyimpan banyak mata.

Sari mendampingi Raka sambil memeluk lengannya. “Kamu nggak apa-apa?”

“Agak pusing,” jawab Raka jujur.

“Maksud Jefri tadi… orang itu memperhatikan kamu. Siapa kira-kira?”

Raka mencoba mengingat beberapa hari terakhir:

Kardi memang sering bertanya detail mesin dan lembur.

Nisa suka mencatat banyak hal, terlalu banyak untuk orang yang hanya “ingin perubahan”.

Bowo sering muncul tiba-tiba dari arah berbeda.

Mandor belakangan memperhatikan Raka lebih intens.

Pikiran itu membuat dadanya sesak.

“Sari,” kata Raka pelan, “kalau yang dia maksud itu salah satu dari kita berempat… aku nggak tahu bagaimana harus bersikap.”

Sari menepuk bahunya. “Jangan ambil kesimpulan dulu. Kita lihat dua-tiga hari ke depan.”

---

Esok pagi, suasana pabrik kacau.

Di depan gerbang, beberapa buruh berkumpul sambil melihat selembar pengumuman baru yang ditempel HRD:

PENGAWASAN KARYAWAN DITINGKATKAN
DILARANG BERKUMPUL LEBIH DARI 3 ORANG
DILARANG MENDISKUSIKAN GAJI ATAU KONDISI KERJA
PELANGGAR AKAN DIBERI SANKSI

Raka langsung paham:
HRD mulai panik.
Dan kalau mereka panik, berarti mereka tahu ada gerakan.

“Astaga, makin parah aja,” keluh Bagus.

Sari menghela napas panjang. “Ini gara-gara seseorang ngasih tahu mereka.”

Kardi muncul dari belakang. “Ada apa? Kok rame?”

Nisa datang sedikit terlambat dan langsung menatap Raka. “Ini… serius. Mereka takut kita ngumpul.”

Raka memperhatikan wajah mereka.
Satu per satu.

Kardi terlihat cemas.
Nisa tampak ketakutan tapi marah.
Bowo hanya diam sambil menatap pengumuman itu lama sekali.
Sari mencoba tenang, tapi matanya gelisah.

Salah satu dari mereka—mungkin—pengkhianat.

---

Saat bekerja, Raka merasa seolah diawasi sepanjang waktu.
Mandor lebih sering lewat.
Buruh-buruh lain tampak gelisah dan tidak mau bicara.
Bahkan suara mesin terasa lebih bising, menekan telinganya seperti ingin menutup kemungkinan bicara diam-diam.

Saat jam istirahat, mereka biasanya duduk bersama.
Hari itu? Mereka sengaja duduk terpisah.

Tidak ada yang mau terlihat dekat.
Tidak ada yang mau jadi target HRD.

Namun meski berpencar, mata mereka saling bertemu—sekilas, cemas, waspada.

Sari memberi isyarat halus dari jauh:
Tenang. Tunggu.

Raka mengangguk.

---

Sore hari, Jefri mengirim pesan melalui buruh lain:

“Jangan pulang dulu. Aku punya kabar penting.”

Bulu kuduk Raka naik.
Ini dia—mungkin momen mengungkap nama.

Setelah shift selesai, mereka bergegas ke belakang bangunan kantor. Tempat yang cukup gelap dan jarang dipakai.

Jefri sudah menunggu dengan raut serius.

“Aku pikir aku sudah tahu,” katanya tanpa basa-basi.

“Siapa?” tanya Sari cepat.

Jefri menatap Raka… lalu berkata:

“Orang itu… salah satu dari tiga orang rapat kalian.”

Raka terkejut. “Maksud Bapak… Kardi, Nisa, atau Bowo?”

Jefri mengangguk pelan.

“Dan semakin aku lihat… semakin aku curiga pada satu nama.”

Semua menahan napas.

“Nama itu…”
Jefri menatap mereka satu per satu, lalu berhenti pada satu titik.

“…orang yang paling banyak bertanya pada kalian.”

Raka terbelalak.

Yang paling banyak bertanya?

Dan tanpa sadar…
satu nama muncul di kepalanya.

Nama yang paling tidak ia duga.

Kardi.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience