Series
5
Pagi itu, Raka datang seperti biasa.
Langit tampak cerah, tapi di dalam pabrik terasa aneh — terlalu hening.
Tak ada obrolan ringan, tak ada tawa kecil. Semua orang seperti tahu sesuatu akan terjadi.
Begitu Raka masuk ruang produksi, mandor menunduk tanpa berani menatap.
“Rak, HRD manggil lo,” katanya pelan.
Raka mengangguk, meski dadanya terasa berat.
Di ruangan HRD, Jefri sudah menunggu. Kali ini tanpa senyum.
Di mejanya ada secarik kertas, rapi, dengan stempel merah di pojok kanan bawah.
“Silakan duduk,” katanya datar.
Raka duduk.
Jefri menggeser kertas itu ke arahnya. “Mulai hari ini, perusahaan memutuskan hubungan kerja dengan kamu, efektif per tanggal ini.”
Raka menatap kertas itu lama.
“Alasannya?”
“Pelanggaran kedisiplinan dan penyebaran informasi provokatif,” jawab Jefri cepat, seperti membaca teks hafalan.
“Artinya karena saya ngomong soal keadilan,” gumam Raka pelan.
Jefri menatapnya tajam. “Artinya kamu lupa tempatmu di mana.”
Raka berdiri perlahan. “Saya nggak lupa, Pak. Justru karena saya tahu di mana posisi saya — di bawah — makanya saya bersuara. Kalau saya di atas, mungkin saya juga bakal diam seperti Bapak.”
Hening.
Kata-kata itu menggantung di udara seperti petir yang tak terdengar.
Jefri mengetuk-ngetuk meja, menahan emosi.
“Ambil barangmu, Raka. Jangan bikin ribut.”
Raka mengangguk. “Tenang aja, Pak. Saya nggak akan bikin ribut...”
Ia berhenti sejenak, lalu menatap Jefri dengan tatapan tenang tapi menusuk.
“...yang bikin ribut nanti bukan saya. Tapi mereka.”
---
Saat Raka keluar dari kantor HRD, semua mata menatap.
Beberapa buruh langsung tahu apa yang terjadi hanya dengan melihat wajahnya.
Nisa mendekat cepat. “Rak, lo dipecat?”
Raka cuma tersenyum tipis dan mengangguk.
“Mulai hari ini gue bukan karyawan lagi.”
Suasana langsung berubah tegang.
Beberapa buruh berhenti bekerja. Ada yang marah, ada yang menunduk.
Nisa mengepalkan tangan. “Mereka keterlaluan.”
Raka menepuk bahunya. “Tenang. Kita udah tahu resikonya.”
Tapi malam itu, semua berubah.
---
Sekitar pukul delapan malam, ketika pabrik sudah sepi, sekelompok buruh berkumpul di lapangan kosong di belakang gudang.
Ada Nisa, Saman, Wandi, dan puluhan lainnya.
Raka datang terakhir, membawa tumpukan kertas di tangannya.
“Ini,” katanya sambil mengangkat berkas itu. “Daftar nama buruh yang udah tanda tangan. Lebih dari setengah karyawan.”
Semua bersorak kecil.
Nisa tersenyum lebar. “Itu artinya kita bisa daftarin serikat buruh resmi.”
Saman menatap Raka. “Tapi lo udah bukan karyawan. Lo nggak bisa jadi ketuanya lagi.”
Raka tertawa kecil. “Siapa bilang? Gue tetep bagian dari kalian. Cuma sekarang gue bisa bergerak di luar pagar.”
Ia menatap satu per satu wajah teman-temannya.
“Kalian udah tahu, besok mereka bakal nyari alasan buat ngebubarin kalian. Tapi kalau kita diam, nggak akan ada perubahan. Jadi besok… kita tunjukin kalau kita nggak takut.”
---
Keesokan harinya, matahari belum tinggi tapi halaman depan pabrik sudah penuh.
Ratusan buruh berdiri membawa spanduk dan karton bertuliskan:
> “Kami bukan mesin.”
“Kembalikan Raka.”
“Buruh juga manusia.”
Jefri menatap pemandangan itu dari jendela lantai dua.
Suara teriakan bergema, riuh tapi teratur.
Ia memijat pelipisnya, wajahnya pucat.
“Ini sudah keterlaluan…” gumamnya.
Di luar, Raka berdiri di depan pagar bersama Nisa dan Saman.
Ia tidak lagi memakai seragam pabrik — hanya kaus abu-abu dan topi hitam.
Suara dari kerumunan menggema:
> “Hidup buruh! Hidup buruh!”
Polisi datang, mencoba menenangkan massa.
Beberapa petugas keamanan perusahaan berdiri dengan wajah tegang.
Tapi Raka melangkah ke depan dan berbicara lewat megafon pinjaman:
> “Kami nggak mau rusuh. Kami cuma mau didengar. Kami mau hak kami dihormati. Kami mau kerja tanpa rasa takut!”
Suara itu menggema ke seluruh kawasan industri.
Beberapa karyawan dari pabrik sebelah bahkan keluar melihat.
Ada yang mulai merekam dengan ponsel.
---
Jefri turun akhirnya, didampingi beberapa staf manajemen.
Wajahnya dingin, tapi langkahnya goyah.
Ia berdiri di balik pagar, menatap Raka.
“Sudah cukup, Raka. Kalau kamu teruskan, semua orang di sini bakal kehilangan kerja!”
Raka menatapnya dari seberang pagar.
“Kalau kerja harus dengan ketakutan, itu bukan hidup, Pak. Itu penjara.”
Kerumunan bersorak lagi, kali ini lebih keras.
Jefri tak bisa berkata apa-apa.
Ia tahu, kendali sudah hilang.
Raka bukan lagi sekadar buruh — ia sudah jadi suara.
---
Menjelang sore, hujan turun deras.
Para buruh mulai bubar perlahan, tapi semangat mereka tidak padam.
Nisa berjalan di samping Raka, rambutnya basah, matanya berbinar.
“Kita berhasil bikin mereka denger,” katanya pelan.
Raka mengangguk, menatap langit yang kelabu.
“Ini baru permulaan, Nis. Perubahan nggak datang sehari. Tapi hari ini, kita udah buktikan satu hal.”
“Apa?”
“Kalau buruh bersatu, mereka nggak bisa dipecat semua.”
Nisa tersenyum, menatap Raka lama.
Di bawah hujan, di depan pagar pabrik, mereka tertawa kecil — lelah, basah, tapi bebas.
---
Sementara itu, di dalam kantornya yang sepi, Jefri duduk sendiri menatap layar komputer.
Video aksi buruh hari ini sudah viral di media sosial.
Komentar bermunculan — tentang keadilan, hak buruh, dan nama “Raka” yang kini disebut banyak orang.
Jefri menutup laptopnya dan menghela napas panjang.
Ia tahu, perang ini belum selesai.
Tapi ia juga tahu, kali ini — ia bukan lagi di pihak yang benar-benar menang.
Share this novel