Bab 5 – Mata-Mata yang Tidak Terlihat

Drama Series 5

Keesokan harinya, pabrik terasa lebih… sunyi. Bukan karena mesin berhenti—mesin tetap bising seperti biasa—tapi karena para buruh lebih banyak diam daripada biasanya. Obrolan santai di pagi hari berkurang, tawa kecil nyaris tidak terdengar.

Raka merasakan hawa berbeda itu sejak ia melangkah masuk.

Di dekat gerbang, ia melihat dua petugas keamanan tambahan berdiri. Biasanya hanya satu. Mereka memeriksa tas beberapa pekerja—sesuatu yang jarang dilakukan.

“Kenapa diperiksa?” tanya Raka pada buruh senior bernama Bagus.

“Katanya ada barang hilang,” jawab Bagus datar. “Tapi aku curiga sih… bukan itu alasan sebenarnya.”

Raka tidak menjawab. Ia sudah cukup paham tanda-tanda ini.

---

Di area produksi, Mandor berjalan mondar-mandir lebih sering dari biasanya. Matanya menyisir tiap pekerja seperti sedang mencari sesuatu… atau seseorang.

Sari mendekat dari belakang. “Hati-hati hari ini. Sepertinya HRD mulai gerak.”

“Memangnya ada apa?” bisik Raka.

“Ada rumor kalau mereka dapat laporan soal ‘pertemuan’ belakang gudang.”

Raka langsung teringat tatapan Jefri semalam.
Apakah itu benar-benar peringatan… atau ancaman?

---

Sekitar jam 10 pagi, terdengar suara langkah cepat di lorong. Lalu Pak Surya, kepala HRD, muncul dengan clipboard tebal di tangan. Pria berkemeja rapi itu selalu punya wajah yang seolah dibuat untuk berkata “Tidak”.

Ia berhenti tepat di depan posisi Raka.

“Ini siapa?” tanya Pak Surya, meski jelas-jelas melihat name tag.

“Raka, Pak,” jawab Raka pelan.

“Baru berapa lama kerja?”

“Sekitar… seminggu, Pak.”

Pak Surya menatapnya lama, seolah sedang menilai apakah Raka termasuk orang yang harus dicurigai.

“Kerja yang benar. Jangan suka nongkrong di tempat yang tidak perlu,” katanya datar.

Raka hanya mengangguk. Ia tidak berani banyak bicara.

Pak Surya kemudian berjalan ke arah Sari. Berhenti. Menatap. Senyumnya tipis dan… tidak enak dilihat.

“Sari… saya dengar kamu sering ngobrol di area belakang akhir-akhir ini.”

Sari tetap tenang. “Saya cuma ketemu Raka, Pak. Ada barang ketinggalan.”

“Mmm…” Pak Surya tidak tampak yakin. “Jaga sikap. Jangan bikin masalah.”

Lalu ia pergi, meninggalkan udara berat di belakangnya.

Raka mendekat ke Sari. “Dia mencurigai kita?”

“Jelas,” jawab Sari pelan. “Dan itu nggak baik.”

---

Siang hari, kabar mengejutkan muncul: Andri kembali ke pabrik.

Namun bukan untuk bekerja—dia datang dengan tangan diperban dan wajah pucat. Ia ditemani oleh ibunya yang tampak gelisah.

Para buruh langsung berkumpul.

“Andri! Kamu udah mendingan?”
“Bro, gimana kondisimu?”

Andri tersenyum kecil. “Masih pusing, tapi dokter bilang istirahat total seminggu.”

Ibunya menatap ke arah kantor HRD dengan raut marah namun tertahan. “Anak saya kecelakaan kerja. Tapi perusahaan bilang itu ‘kelalaian pribadi’? Masa seperti itu?”

Suara di sekitar langsung naik.

“Lho! Dia kan dipaksa lembur!”
“Tanggung jawab dong, masa begitu aja!”
“Keterlaluan!”

Beberapa buruh bahkan tampak siap memprotes langsung, tapi seorang keamanan datang menenangkan.

Raka menepuk bahu Andri. “Kalau butuh bantuan, bilang ya.”

Andri mengangguk. “Makasih… tapi hati-hati, Rak. Mereka lagi nyari siapa pun yang nanya-nanya soal lembur kemarin.”

Raka langsung tersentak.
“Dari mana kamu tahu?”

Andri menoleh ke arah pos keamanan. “Jefri bilang ke aku.”

Raka menatap ke arah Jefri yang sedang berjaga jauh di depan.
Pria itu hanya menatap balik… singkat… kemudian mengalihkan pandangan.

Ada sesuatu yang aneh.

Ia jelas tahu sesuatu.
Ia jelas memperhatikan.
Tapi… dia melindungi? Atau justru memantau?

---

Menjelang akhir shift, Sari mengajak Raka ke tempat yang agak sepi, dekat tumpukan palet.

“Sebelum kita lanjut kumpul lagi… aku harus pastikan satu hal.”

“Apa?”

“Kita harus tahu tujuan Jefri.”

Raka mengerutkan dahi. “Maksudnya?”

Sari menatapnya dengan serius. “Aku takut dia bukan cuma petugas keamanan biasa.”

“Kalau dia mata-mata HRD, dia bisa bahaya buat kita, kan?”

“Benar.”
Sari menghela napas. “Tapi kalau dia justru simpatisan buruh, seperti beberapa orang bilang… dia bisa jadi bantuan besar.”

Raka memikirkan kata-kata itu.
Peringatan Jefri semalam…
Informasi yang ia beri pada Andri…
Tatapannya yang sulit dibaca…

“Jadi kita harus apa?” tanya Raka.

“Bicara langsung dengannya,” jawab Sari.

Raka langsung menegang. “Sekarang?”

Sari mengangguk. “Sebelum semuanya makin ribet. Kita harus tahu dia ada di pihak siapa.”

Raka menatap kembali ke arah pos keamanan.
Jefri berdiri tegap, diam, dengan mata yang selalu memperhatikan banyak hal… termasuk mereka.

Untuk pertama kalinya sejak bekerja di pabrik itu, Raka merasa ia tidak hanya berurusan dengan mesin, jam lembur, atau mandor—tapi dengan permainan diam-diam yang jauh lebih sulit ditebak.

Dan kini, ia harus masuk ke dalamnya.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience