Bab 7 – Suara-Suara yang Tak Ingin Didengar

Drama Series 5

Malam itu, Raka hampir tidak bisa tidur. Setiap kali memejamkan mata, kata-kata Jefri terus terulang:

“Seseorang yang kalian percaya.”
“Jangan percaya siapa pun.”

Pikiran itu berputar seperti mesin pabrik, tak berhenti walau sudah larut. Raka mencoba mengingat wajah-wajah di rapat kecil: Kardi yang selalu tenang, Nisa yang penuh semangat, Bowo yang pendiam tapi loyal. Siapa di antara mereka yang mungkin… berkhianat?

Atau lebih menakutkan lagi—siapa di antara mereka yang berpura-pura peduli?

Raka tidak bisa membayangkan salah satu dari mereka jadi mata-mata HRD. Tapi Jefri bukan tipe orang yang bicara sembarangan.

Dan itu yang membuat semuanya semakin menegangkan.

---

Pagi berikutnya, suasana pabrik tampak biasa… pada permukaan. Tapi bagi Raka, setiap gerakan terasa mencurigakan. Setiap tatapan seperti tanda bahaya.

Sari menyapa seperti biasa. “Pagi, Rak.”

“Pagi…” jawab Raka sambil tersenyum kecil, tapi pikirannya masih kabur.

Sari langsung menatapnya dengan curiga. “Kamu kenapa? Nggak tidur ya?”

“Sedikit.”

“Kamu mikirin kata-kata Jefri ya?”

Raka menghela napas. “Iya. Siapa orang itu sebenarnya, Sar? Aku nggak enak sama orang-orang. Kita kerja bareng, makan bareng, bahkan ketawa bareng…”

Sari menepuk bahunya pelan. “Kita cari tahu pelan-pelan. Jangan panik dulu.”

Namun kata-kata “jangan panik” sulit sekali dilakukan ketika tepat saat itu Mandor tiba-tiba mendekat.

“Raka. Ke ruangan atas,” katanya singkat.

Jantung Raka langsung melonjak.

Ruangan atas? Itu kantor HRD dan ruang laporan insiden. Tidak pernah ada hal baik datang dari sana.

Sari ikut menahan napas. “Ada apa, Pak?”

“HRD mau nanya soal laporan mesin semalam.”
Tanpa menunggu, Mandor berjalan pergi.

Raka menoleh ke Sari. “Mesin? Aku nggak ada laporan mesin rusak.”

Sari mengerutkan dahi. “Jangan-jangan… ini cuma alasan.”

Raka langsung merasakan keringat dingin mengalir.

---

Ruangan HRD selalu punya aura dingin. AC terlalu kuat, dinding terlalu putih, dan bau kertas baru bercampur parfum mahal. Kontras sekali dengan panas dan debu ruang produksi.

Pak Surya duduk di balik meja dengan senyum tipisnya—senyum yang seperti dibuat khusus untuk mengintimidasi orang.

“Silakan duduk, Raka.”

Raka duduk pelan.

“Kamu kerja baru berapa lama?” tanya Pak Surya tanpa basa-basi.

“Sekitar seminggu, Pak.”

“Kamu cepat bergaul ya. Baru masuk, sudah akrab sama banyak orang.”

Nada suaranya halus, tapi ada sesuatu yang menyengat di baliknya.

Raka menelan ludah. “Ya… saya cuma ngobrol biasa.”

Pak Surya membuka berkas. “Dengar-dengar… kamu sering ke belakang gudang? Cari apa di sana?”

Raka menahan napas sejenak. “Barang ketinggalan, Pak. Dua kali saya ke sana.”

“Mmm…” Pak Surya mengangguk pelan sambil mengetuk-ngetuk meja. “Saya ingatkan ya, area itu bukan untuk pekerja produksi. Kalau ada yang sering ke sana… pasti ada tujuan.”

Ia mencondongkan tubuh ke depan.

“Kamu paham maksud saya?”

Suasana ruangan terasa lebih sempit. Suara AC seperti semakin keras.

“Iya, Pak. Saya paham.”

Pak Surya menutup berkas dan bersandar. “Kamu anak baru. Masa depanmu masih panjang. Jangan ikut-ikut hal yang bukan urusanmu.”

Suara ketuk jarinya berhenti.

“Kamu boleh pergi.”

Raka berdiri dengan kaki yang sedikit gemetar. Saat ia hendak keluar, Pak Surya menambahkan:

“Dan Raka… lebih hati-hati memilih teman.”

Raka berhenti sejenak.
Itu jelas bukan nasihat. Itu peringatan.

---

Begitu kembali ke lantai produksi, Sari langsung menghampirinya.

“Apa yang mereka tanya?”

Raka menghela napas. “Hal-hal umum. Tapi… mereka curiga.”

“Ke kamu?” tanya Sari, khawatir.

“Iya. Mereka bahkan tahu kita sering ngobrol.”

Sari menegang sekejap. “Berarti benar. Ada yang bocorin.”

Keduanya saling pandang tanpa kata.

---

Siang itu, mereka berkumpul kembali di titik aman di samping gudang—kali ini tanpa rencana. Hanya untuk memastikan keadaan.

Kardi datang duluan. “Ada apa? Kalian wajahnya tegang banget.”

Nisa menyusul. “Aku dengar HRD manggil Raka?”

“Iya,” jawab Sari cepat. “Dan mereka tahu soal pertemuan kita.”

Bowo mengerutkan kening. “Lho… siapa yang lapor?”

Tidak ada yang menjawab.

Tatapan saling curiga mulai muncul antar mereka secara halus—bukan karena ingin menuduh, tapi karena kata-kata Jefri terlanjur memecah ketenangan kecil yang mereka pegang.

Raka akhirnya berkata, pelan tapi jelas:
“Teman-teman… sepertinya di antara kita ada yang ngasih info ke HRD.”

Keheningan langsung turun seperti selimut tebal.

Kardi terbelalak.
Nisa menutup mulut.
Bowo mengepalkan tangan.
Sari menatap tanah.

Semua tak ingin percaya.
Semua tak ingin tuduh.
Tapi semua tahu Jefri bukan orang yang asal bicara.

“Tapi siapa?” tanya Nisa, suaranya bergetar.

Tidak ada yang menjawab.
Tak ada yang berani.

Beberapa detik kemudian, dari kejauhan terdengar suara sepatu menginjak kerikil.

Semua menoleh.

Seseorang berjalan mendekati mereka dengan langkah perlahan… seseorang yang tidak mereka sangka akan muncul di sana.

Jefri.

Namun ekspresinya berbeda. Wajahnya jauh lebih tegang daripada biasanya.

“Ada apa, Pak?” tanya Sari.

Jefri berhenti di depan mereka, menatap satu per satu… lalu berkata dengan suara rendah:

“Aku sudah tahu siapa pengkhianatnya.”

Semua diam.
Bahkan angin pun terasa seperti berhenti.

“Dan kalian harus dengar baik-baik…”
Jefri menatap Raka paling lama.

“Karena orang itu… ada di lingkaran kalian yang paling dekat.”

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience