Bab 15 – Dari Bisik Menjadi Gerakan

Drama Series 5

Tiga hari setelah malam di warnet itu, suasana pabrik tampak biasa-biasa saja — tapi bagi Raka dan Nisa, setiap detik kini punya arti baru.
Mereka tidak lagi sekadar bekerja.
Mereka mengamati, mencatat, dan menyebarkan benih kesadaran.

Pagi itu, di kantin buruh, Raka pura-pura ngobrol santai dengan beberapa rekan sambil menyeruput kopi sachet murahan.

“Eh, lo sadar nggak sih,” katanya ringan, “kenapa slip gaji kita beda terus padahal jam lembur sama?”

Saman ikut menimpali, “Gue juga heran tuh. Katanya sistem komputer, padahal kok tiap bulan beda alasan.”

Salah satu buruh perempuan, Rini, menyipitkan mata. “Serius lo, Rak? Jangan asal ngomong, nanti bisa kena masalah.”

Raka tertawa kecil. “Ngomong fakta aja, Rin. Gue ada datanya kok.”

Ia mengeluarkan selembar kertas dari saku — print kecil dari file yang ia temukan di flashdisk.
Di atasnya tertera perbandingan upah asli dan versi yang sudah “disesuaikan”.

Rini menatapnya lama, lalu berbisik, “Lo dapet ini dari mana?”

Raka hanya menjawab singkat, “Dari tempat yang seharusnya nggak bohong.”

---

Setelah hari itu, obrolan kecil mulai menyebar di antara para buruh.
Awalnya cuma bisikan di ruang istirahat, lalu di pojok produksi, hingga akhirnya jadi topik hangat di jam makan siang.
Nama Jefri mulai disebut-sebut — pelan, penuh curiga.

Nisa memperhatikan semuanya dari jauh. Ia tahu, api ini harus dikendalikan dengan hati-hati.
Terlalu cepat, bisa padam. Terlalu lambat, bisa keburu dipadamkan oleh pihak manajemen.

Malamnya, ia menemui Raka di tempat biasa — bengkel belakang.
Lampu kecil mereka kini redup, tapi semangatnya tidak.

“Perlahan, mereka mulai paham,” kata Raka sambil menatap tumpukan selebaran yang ia buat sendiri.

Nisa menatap kertas itu. Di atasnya tertulis besar:

> “Serikat bukan ancaman. Serikat adalah perlindungan.”

“Bagus,” ujarnya pelan. “Tapi hati-hati. HRD sekarang pasang orang buat ngawasin obrolan buruh. Termasuk Saman.”

Raka menatapnya terkejut. “Saman?”

Nisa mengangguk. “Aku nggak nuduh. Tapi sejak dua hari lalu, tiap kali kita bicara, dia muncul di sekitar situ.”

Raka termenung.
Ia tidak mau percaya. Saman teman lamanya, orang pertama yang membelanya saat dimarahi mandor.
Tapi… semua bisa berubah kalau sudah ada tekanan dari atas.

---

Beberapa hari kemudian, Raka mendapat surat panggilan ke ruang HRD.
Tanpa alasan jelas.
Ia tahu, ini bukan panggilan biasa.

Di dalam ruangan, Jefri sudah menunggunya — duduk dengan tenang, senyum tipis di wajahnya.

“Silakan duduk, Rak.”

Raka duduk perlahan, mencoba tetap tenang.
Di meja Jefri ada berkas tebal, dan di atasnya sebuah amplop cokelat.

“Kita dapat laporan,” kata Jefri santai, “kalau kamu menyebarkan data internal perusahaan. Betul?”

Raka tertawa kecil. “Saya cuma buruh, Pak. Akses data aja nggak punya.”

Jefri menatapnya lama. “Jangan bodoh. Kamu pikir kami nggak tahu kamu sering ke warnet tengah malam?”

Raka menahan napas. Ia tidak menjawab.
Jefri mencondongkan tubuh sedikit ke depan, suaranya turun menjadi nyaris berbisik.

> “Kamu itu cerdas, Rak. Sayang kalau masa depanmu hancur cuma karena ikut-ikutan main serikat.”

Ia membuka amplop di depannya dan mendorongnya ke arah Raka.
Di dalamnya — uang tunai tebal.

“Terima aja. Anggap kompensasi. Setelah itu, berhenti. Aku bisa pastikan kamu aman.”

Raka menatap uang itu, lama sekali.
Kemudian ia tersenyum tipis.

“Lucu, Pak. Katanya saya cuma pion, tapi kok Bapak sampai segini repotnya buat ‘mengamankan pion’?”

Wajah Jefri berubah. Senyumnya hilang.
Udara ruangan mendadak berat.

“Jadi kamu milih jalan keras, ya?”
“Bukan keras, Pak,” jawab Raka. “Cuma jujur.”

---

Keluar dari ruangan itu, Raka langsung menelpon Nisa.
“Nis, waktunya mulai gelombang pertama.”

“Lo yakin?”
“Yakin. Mereka udah mulai takut. Artinya kita udah di jalur yang benar.”

Malamnya, Raka dan Nisa mencetak lusinan selebaran dan membagikannya secara sembunyi ke loker para buruh.
Ada satu kalimat di tengahnya yang sederhana tapi menggugah:

> “Kalau kita terus diam, maka kebohongan akan jadi aturan.”

---

Keesokan harinya, suasana pabrik berubah.
Buruh-buruh yang biasanya menunduk kini saling pandang dan berbisik lebih berani.
Beberapa mulai menolak lembur tanpa alasan yang jelas.
Ada yang sengaja melambatkan kerja, ada yang menulis pesan solidaritas di dinding toilet.

Di satu dinding dekat ruang produksi, seseorang menulis dengan spidol hitam:

> “Serikat bukan musuh. Jefri bukan kawan.”

---

Sore itu, Raka duduk di belakang gudang, menatap tulisan itu dari jauh.
Ia tahu, pertempuran baru saja dimulai.
Dan untuk pertama kalinya, ia merasa tidak sendirian lagi.

Sementara di lantai dua, dari balik kaca ruang HRD, Pak Jefri menatap ke arah yang sama — wajahnya tenang, tapi matanya menyimpan amarah.
Ia menyalakan rokok, menghela napas panjang, dan berkata pelan:

> “Baik, Raka. Kalau itu pilihanmu… mari kita lihat siapa yang terbakar lebih dulu.”

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience