Bab 10 – Ruang yang Tak Berpihak

Drama Series 5

Koridor menuju ruang HRD terasa lebih panjang dari biasanya.
Lampunya temaram, dengan suara AC yang mendengung pelan, membuat suasana semakin mencekam.

Raka berjalan paling depan.
Kardi di belakangnya.
Sari mengikuti dengan dagu terangkat, pura-pura tegar.
Nisa menggenggam buku catatannya erat.
Bowo tampak marah — bukan pada siapa-siapa, tapi pada situasi yang tidak adil ini.

Satu per satu mereka dipisah.

Raka dipanggil pertama.

---

“Raka, masuk.”

Ruang HRD dingin, terlalu dingin.
Di ujung ruangan ada dua petugas keamanan yang berdiri tegak tanpa senyum.
Di sisi lain duduk Ibu Mira — kepala HRD yang terkenal tenang tapi menusuk.

“Silakan duduk,” katanya sambil memeriksa dokumen.

Raka duduk dengan hati yang berdebar.

“Raka,” kata Mira, “kamu pekerja baru. Tapi dalam waktu singkat, kamu sudah sering terlihat berkumpul dengan beberapa pegawai tertentu.”

Raka menelan ludah. “Hanya ngobrol biasa, Bu.”

Ibu Mira menatapnya dengan sedikit senyum. “Ngobrol biasa? Di belakang gudang? Di lorong kosong? Di area yang tidak ada kamera?”

Raka terdiam.

Mira melipat tangannya. “Kamu tahu perusahaan ini sedang mencoba menjaga stabilitas. Dan rumor tentang gerakan yang tidak diperlukan… sangat merugikan.”

Raka tidak menjawab.

Mira mencondongkan tubuh. “Jadi saya mau tanya sesuatu…
Kamu kenal dekat dengan—”

Ia menyebut nama itu dengan pelan.

“…Kardi?”

Raka tercekat. “K-kenal sebagai teman kerja.”

“Hanya teman kerja?”

“Iya.”

Mira menatapnya lama sekali. “Kardi bilang kalian hanya ngobrol santai. Tapi beberapa informasi yang kami temukan… tidak sesuai.”

Raka kaget.

Menurut HRD…
Kardi sudah bicara?

Atau HRD hanya memancing?

Mira melanjutkan, “Kami punya laporan bahwa kalian sering berdiskusi tentang aturan lembur, beban kerja, dan rencana ‘membentuk kelompok’. Kamu cukup cerdas untuk tahu apa maksudnya, kan?”

Raka tetap diam.

Mira berdiri dan berjalan perlahan mengitari meja, menuju Raka.

“Kamu masih muda, Raka. Saya yakin kamu tidak mau masa percobaanmu berakhir buruk hanya karena ikut-ikutan. Jadi jawab satu hal…”

Ia menatap langsung ke mata Raka.

“Apakah Kardi pernah mengajakmu untuk merencanakan sesuatu terhadap perusahaan?”

Suasana hening.
Raka menunduk.
Dalam hatinya ia mengingat pesan singkat Kardi:

“Jangan percaya apa pun yang mereka bilang tentang aku.”

Raka menarik napas.

“Tidak,” jawabnya tegas. “Tidak pernah.”

Ibu Mira diam cukup lama, kemudian tersenyum tipis.

“Baiklah. Kamu boleh pergi. Tapi jangan jauh-jauh.”

Raka bangkit pelan dan keluar ruang.

---

Begitu pintu menutup, tiga hal langsung ia lihat:

1. Sari menatapnya dari kursi tunggu, mencoba membaca ekspresi.

2. Nisa menunduk sambil menggenggam buku catatannya seolah takut direbut.

3. Dan Kardi… duduk di ujung lorong, muka pucat, tangan bergetar.

Tatapan Kardi bertemu dengan tatapan Raka.

Ada sesuatu di mata Kardi:
campuran takut, marah, dan… rasa bersalah?

---

Giliran Sari

Sari masuk dengan dagu terangkat, tapi ketika pintu menutup, Raka bisa melihat sedikit getaran di bahunya.
Ia kuat, tapi tidak kebal.

Lima belas menit berlalu.

Dari dalam ruangan terdengar suara Mira yang lebih tegas, seperti sedang menekan seseorang.

Raka menegang.
Nisa menggigit bibir.
Bowo mulai berjalan mondar-mandir.

Lalu pintu terbuka.
Sari keluar.
Wajahnya merah, bukan karena menangis, tapi karena marah.

“Gimana?” bisik Raka.

“HRD pakai nama kamu buat pancing aku. Katanya kamu sudah cerita macam-macam.”

“Aku tidak bilang apa pun!”

“Aku tahu,” kata Sari. “Mereka cuma main kotor.”

Ia duduk dengan nafas pendek, mencoba menenangkan diri.

---

Giliran Nisa

Nisa masuk paling lama.

Hampir 20 menit.

Ketika keluar, dia tampak pucat.

“Kenapa?” tanya Raka.

Nisa tidak menjawab.
Ia hanya memeluk buku catatannya dan berkata pelan:

“Seharusnya aku tidak menulis apa-apa…”

Apa maksudnya?
Raka tidak yakin.
Tapi tatapan Nisa penuh rasa bersalah.

---

Giliran Bowo

Bowo masuk dengan bahu tegang.

Tidak sampai 10 menit, ia keluar sambil mendesis marah:

“HRD tanya macam-macam. Aku jawab semua dengan ‘nggak tahu’. Mereka cari kambing hitam.”

Sari meremas tangannya.

---

Dan akhirnya…

Giliran Kardi

Atmosfer berubah total.

Kardi masuk perlahan, seperti orang yang hendak diadili.

Semua diam.

Sepuluh menit…
lima belas menit…
dua puluh menit…

Raka mulai resah.
Sari mulai berdiri-berdiri.
Nisa menutupi wajah.
Bowo mengumpat pelan.

Baru pada menit ke dua puluh lima, pintu terbuka.

Kardi keluar…
dengan wajah merah dan mata berkaca-kaca.

Tanpa kata apa pun, ia berjalan melewati mereka dan berhenti di depan Raka.

“Rak…” suaranya serak.
“Aku… aku nggak bilang apa-apa. Sumpah.”

Raka menatapnya.

“Kamu yakin?”

Kardi mengangguk kuat-kuat. “Mereka tuduh aku macem-macem. Tapi aku nggak ngomong. Demi apapun, Rak.”

Namun…
tangan Kardi gemetar hebat.

Dan sesuatu yang lebih janggal:

Di saku bajunya terlihat selembar kertas kecil — mirip catatan dari HRD.

“Tadi mereka nyerahin apa?” tanya Sari dengan cepat.

Kardi menepis panik. “B-bukan apa-apa.”

“Tunjukkan,” kata Bowo datar.

Kardi memeluk sakunya. “Aku bilang ini bukan apa-apa!”

Makin aneh.
Makin mencurigakan.

Semua menatapnya.
Dan ketegangan akhirnya pecah ketika Nisa bersuara pelan:

“Maaf… tapi Kardi… aku lihat tadi… waktu kamu keluar… Ibu Mira senyum ke kamu.”

Kardi menegang.

Wajah Kardi berubah kaku.

Raka merasakan napasnya tidak teratur.

Satu hal jelas:

Entah Kardi berbohong… atau ada sesuatu yang lebih gelap sedang terjadi.

Dan bab ini berakhir ketika mereka semua berdiri di lorong sunyi itu, saling menatap, tanpa percaya siapa pun.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience