Series
5
Shift pagi berjalan seperti biasa: suara mesin yang bergema, bau oli yang mengambang di udara, dan para buruh yang sibuk menjaga ritme kerja masing-masing. Tapi Raka merasa hari itu berbeda.
Bukan karena pabriknya, tapi karena dirinya.
Sejak Sari mengajaknya bergabung dalam pertemuan kecil, pikirannya tak berhenti memutar kemungkinan-kemungkinan. Ia mencoba bekerja seperti biasa, tapi setiap tatapan mandor atau langkah keamanan membuat jantungnya berdebar sedikit lebih cepat.
Di antara kebisingan itu, Sari mendekat dan berbisik, “Nanti pulang jangan langsung keluar. Tunggu aku di belakang gudang kayu.”
Raka mengangguk singkat, berpura-pura fokus pada alur produksi.
Mandor sempat melihat ke arah mereka, namun Sari dengan cepat berpindah tempat. Sepertinya Mandor juga sudah mulai curiga sejak kejadian Andri dan pembicaraan tentang serikat kembali berembus.
---
Saat jam istirahat, suasana kantin seperti biasa: ramai, penuh canda, tapi ada lapisan ketegangan tipis yang sulit dijelaskan. Banyak buruh yang berbicara lebih pelan dari biasanya. Ada pula yang memasang wajah datar, seolah tak mau terlibat dalam pembicaraan apa pun.
Raka mendengar dua buruh di belakangnya berbisik:
“HRD mulai pasang kamera baru di lorong barat.”
“Serius? Buat ngawasin siapa?”
“Katanya ada gerakan aneh.”
“Gerakan apa?”
“Ya itu… serikat.”
Raka pura-pura tidak mendengar. Tapi hatinya mencatat semuanya.
---
Sore hari, pabrik mulai tenang. Suara mesin perlahan berhenti satu per satu, seperti napas makhluk besar yang akhirnya beristirahat.
Raka tidak pulang dulu. Ia berjalan memutari gudang, pura-pura mencari barang yang tertinggal, lalu menuju belakang gudang kayu seperti janji Sari. Lokasi itu memang jarang dilewati pekerja atau kamera.
Sari sudah ada di sana bersama tiga orang lain.
Yang pertama, seorang laki-laki berkacamata bernama Kardi, buruh senior yang kelihatannya kalem tapi tajam cara bicaranya.
Yang kedua, perempuan berkerudung bernama Nisa, tubuh mungil tapi matanya penuh semangat.
Yang ketiga, pria berbadan besar bernama Bowo, pekerja pengepakan yang dikenal pendiam tapi setia kawan.
Sari menepuk bahu Raka. “Ini dia orang yang aku ceritakan kemarin.”
Mereka semua menyambut dengan anggukan kecil.
“Tenang aja, Rak,” kata Nisa. “Kita nggak ada niat yang macam-macam. Cuma mau ngobrol.”
Raka duduk di atas peti kayu. “Aku ngerti. Tapi jujur, agak deg-degan.”
Bowo terkekeh pelan. “Wajar. Pertama kali semua orang begitu.”
Kardi membuka pembicaraan. “Jadi begini, sebelum Raka gabung, kami sebenarnya cuma ngobrol-ngobrol soal bagaimana buruh bisa punya ruang bicara. Bukan mau bikin gerakan besar dulu.”
“Betul,” sambung Sari. “Kita belum ingin langsung deklarasi apa pun. Kita cuma mau pastikan nggak ada buruh yang diperlakukan semena-mena tanpa pembelaan.”
Raka mengangguk. “Aku setuju soal itu.”
“Makanya,” Nisa melanjutkan, “kita coba kumpulkan keluhan teman-teman. Bukan untuk nyerang perusahaan, tapi untuk dibawa baik-baik. Semua resmi, semua damai.”
Kardi menambahkan, “Dan kalau semua gagal… barulah kita pikirkan langkah berikut.”
Ada keheningan singkat.
Kata “langkah berikut” menggantung seperti awan gelap. Tidak ada yang menyebut kata “serikat”, tapi semua tahu itulah tujuan akhirnya.
Raka akhirnya bicara. “Kalau nanti HRD tahu ada kita kumpul begini… gimana?”
Bowo menjawab pertama. “Risikonya ya jelas: dipanggil, ditanya-tanya, dimutasi, atau… dihabisi pelan-pelan.”
Raka menarik napas panjang. “Tapi kalau nggak ada yang mulai, semuanya tetap begini terus.”
Sari tersenyum kecil mendengar itu. “Itu kenapa aku ajak kamu ke sini.”
Kardi menepuk lututnya. “Kita mulai dari hal kecil dulu. Minggu ini kita mau kumpulkan data soal jam lembur berlebihan. Banyak orang yang dipaksa kerja lebih dari aturan.”
Nisa mengeluarkan catatan kecil. “Dan keluhan soal APD kurang, gaji telat, dan paksaan atas SP.”
“Raka,” kata Sari pelan, “kamu bantu kami tanya-tanya soal bagianmu. Seperlunya saja. Jangan kelihatan mengumpulkan data.”
Raka mengangguk tanpa ragu. “Siap.”
Pertemuan berlangsung tidak lebih dari sepuluh menit. Mereka tidak berlama-lama karena terlalu berisiko.
Saat semuanya berpisah, Sari berjalan berdampingan dengan Raka.
“Takut?” tanya Sari tiba-tiba.
“Ya… sedikit,” jawab Raka jujur. “Tapi lebih takut kalau lihat teman-teman diperlakukan seenaknya.”
Sari menatapnya dengan bangga. “Kamu tahu, Rak… banyak orang yang ngomel, tapi sedikit yang berani bergerak.”
Raka hanya tersenyum tipis.
Namun sebelum mereka sempat keluar area belakang gudang, suara langkah berat terdengar dari depan.
Raka dan Sari langsung berhenti.
Dari balik sudut, muncul seorang petugas keamanan—Jefri, pria berkumis tebal yang terkenal galak. Ia berdiri menatap mereka, tak berkata apa-apa, hanya memandang dengan tatapan tajam yang sulit diterjemahkan.
Sari berbisik, “Hati-hati jawabnya.”
Jefri mendekat… langkah demi langkah…
Lalu ia akhirnya berkata dengan suara rendah,
“Kalian ngapain di belakang gudang jam segini?”
Raka menelan ludah.
Apakah mereka ketahuan? Apakah seseorang mengawasi tadi?
Sari mencoba tersenyum santai. “Cuma ambil barang yang tadi ketinggalan, Pak.”
Tatapan Jefri tak berubah.
Lalu, pelan-pelan, ia mendekat lebih dekat dan berkata dengan nada aneh:
“Hati-hati. Banyak mata di pabrik ini. Nggak semua kelihatan.”
Kemudian ia pergi begitu saja.
Raka membeku.
Sari menatap Raka dan berbisik,
“Dia tahu sesuatu.”
Untuk pertama kalinya, jantung Raka berdebar bukan karena mesin—tapi karena ancaman yang tidak terlihat.
Share this novel