Bab 17 – Bayangan di Balik Pagar

Drama Series 5

Hari itu, suasana pabrik terasa tidak seperti biasanya.
Pos keamanan dijaga lebih ketat, dua orang berseragam hitam duduk di depan kantor HRD, dan setiap buruh yang masuk harus menunjukkan ID card dua kali.

Nisa berbisik ke Raka saat lewat gerbang.
“Lo liat? Mereka mulai takut.”
Raka cuma mengangguk. “Kalau mereka nggak takut, mereka nggak bakal segitunya jagain pintu.”

Di dalam pabrik, tatapan-tatapan curiga mulai bermunculan.
Beberapa teman yang dulu berani ngobrol santai, sekarang pura-pura sibuk.
Isu beredar cepat: ada daftar nama buruh yang dianggap provokator.

Dan nama Raka ada di urutan paling atas.

---

Siang hari, Raka dipanggil ke ruangan HRD.
Jefri menunggu di sana, duduk santai dengan senyum tipis.
Di mejanya, ada berkas yang ditumpuk rapi, dan sebuah kamera kecil di pojok ruangan — merekam setiap gerak.

“Silakan duduk, Raka,” kata Jefri dengan suara halus.
Raka duduk tanpa bicara.

Jefri membuka map berisi kertas-kertas. “Kamu tahu nggak kenapa saya panggil kamu ke sini?”

Raka menatap lurus. “Saya bisa tebak.”

Jefri tersenyum. “Bagus. Jadi nggak usah muter-muter.” Ia mencondongkan tubuh ke depan. “Saya tahu kamu yang mulai gerakan itu. Selebaran, mogok lembur, semua. Saya cuma pengen kamu berhenti sebelum semuanya makin parah.”

Raka tidak menjawab.

“Denger ya, Rak,” lanjut Jefri, suaranya pelan tapi tajam. “Kamu masih muda. Cerdas. Tapi dunia kerja bukan tempat buat idealis. Kalau kamu terus begini, kamu bisa kehilangan semuanya.”

Raka menarik napas panjang. “Mungkin, Pak. Tapi kalau saya diem, orang lain juga kehilangan semuanya. Bedanya, saya cuma kehilangan pekerjaan. Mereka kehilangan harga diri.”

Suasana hening.
Jefri mengetuk-ngetuk meja dengan jari, matanya tajam seperti pisau.

“Baiklah,” katanya akhirnya. “Kita lihat siapa yang kuat bertahan.”

---

Sore itu, kabar penyelidikan menyebar cepat.
Beberapa buruh dipanggil satu per satu ke kantor HRD.
Ada yang keluar dengan wajah pucat, ada yang tak kembali.

Tapi anehnya, semakin keras tekanan datang, semakin solid mereka.
Mereka mulai bertemu diam-diam setelah jam kerja — di warung, di lapangan kosong, atau di rumah Saman (yang diam-diam sudah pulang tanpa sepengetahuan manajemen).

Saman membawa kabar penting.
“Gue udah ketemu orang dari serikat buruh luar. Mereka mau bantu. Katanya, kalau kita bisa kumpulin data dan tandatangan 30% karyawan, kita bisa ajukan pembentukan serikat resmi.”

Raka menatap teman-temannya satu per satu. Ada Nisa, Wandi, dan sekitar tujuh orang lain yang paling aktif.
“Kalau kita mau jalanin ini, risikonya besar,” katanya pelan. “Mungkin kita dipecat semua.”

Nisa menatapnya tajam. “Ya terus kenapa? Kita udah setengah mati di sini. Sekali-kali hidup buat sesuatu yang berarti.”

Saman menepuk bahu Raka. “Kita udah siap, Rak. Tinggal lo yang mutusin.”

Raka terdiam lama.
Di luar ruangan, suara pabrik terdengar samar-samar seperti gema dari masa depan — tempat di mana buruh tak lagi menunduk.

Akhirnya ia bicara pelan.
“Baik. Kita mulai kumpulin nama malam ini.”

---

Malam itu, mereka bergerak pelan tapi pasti.
Satu per satu buruh diajak bicara, dijelaskan apa itu serikat, kenapa penting, dan kenapa harus sekarang.
Sebagian takut.
Sebagian ragu.
Tapi banyak juga yang akhirnya berkata pelan: “Tulis nama saya.”

Di pojok kertas, tanda tangan-tanda tangan kecil itu seperti percikan api.
Kecil, tapi cukup untuk menyalakan sesuatu yang besar.

---

Beberapa hari kemudian, Jefri menerima laporan dari bawahannya.
Ia membuka map, menatap daftar nama yang semakin panjang.

“Sudah sampai lima puluh orang,” kata asistennya.
“Dan sebagian besar dari divisi produksi.”

Jefri diam lama.
“Kalau begitu,” katanya dingin, “siapkan surat peringatan. Besok pagi, kita potong sumbernya.”

Asistennya menatap bingung. “Maksud Bapak?”
Jefri menatap keluar jendela, melihat buruh-buruh berjalan keluar dari pabrik.

“Maksud saya,” katanya datar, “pecat Raka.”

---

Di luar, Raka dan Nisa baru saja keluar gerbang.
Langit sore berwarna jingga, dan angin membawa aroma logam yang anehnya menenangkan.
Mereka berjalan pelan, tanpa bicara.

Nisa menatap Raka. “Lo ngerasa nggak, kayaknya badai mau datang?”

Raka tersenyum samar. “Mungkin iya.” Ia menatap jauh ke arah pabrik. “Tapi nggak semua badai itu buruk. Kadang, badai juga bersihin langit.”

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience