Bab 16 – Gelombang Pertama

Drama Series 5

Pagi itu udara terasa berat.
Langit mendung, dan hawa di pabrik seperti menahan sesuatu yang tak terlihat — semacam tekanan yang membuat semua orang bicara lebih pelan dari biasanya.
Di ruang produksi, para buruh bekerja tapi tanpa tawa.
Semua tahu ada yang sedang bergerak di bawah permukaan.

Raka memasang wajah datar seperti biasa. Tapi di dadanya, jantung berdegup lebih cepat dari mesin yang berdengung di belakangnya.
Hari ini, mereka akan melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan sebelumnya: mogok lembur.

Bukan mogok besar-besaran.
Cuma diam — tidak ada yang menandatangani lembar lembur sore ini.
Sebuah sinyal kecil bahwa mereka mulai berani berkata tidak.

---

Jam istirahat siang, Nisa menghampiri Raka dengan langkah hati-hati.

“Udah siap semuanya?”
“Udah,” jawab Raka. “Saman yang pegang daftar tanda tangan. Dia janji bakal tahan meskipun HRD nyuruh.”

“Lo masih percaya sama dia?” tanya Nisa pelan.

Raka diam sejenak. “Untuk sekarang, iya. Gue harus.”

---

Sore harinya, tepat pukul lima, mandor datang membawa clipboard dan wajah kaku.
“Yang mau lembur, tanda tangan di sini,” katanya datar.

Biasanya, para buruh langsung berebut pena.
Tapi kali ini, tak ada satu pun yang bergerak.
Sunyi.
Yang terdengar hanya dengungan mesin pendingin di sudut ruangan.

Mandor menatap mereka satu per satu. “Hei, kenapa diem semua?”

Saman menatapnya pelan. “Capek, Pak. Hari ini cukup.”

“Lho, target belum selesai!”

Raka angkat kepala, suaranya tenang tapi tegas.
“Bukan salah kami, Pak. Kalau sistem kerja adil, kami juga nggak keberatan lembur. Tapi gajinya aja belum jelas.”

Mandor memandang Raka dengan tajam. “Ini perintah atasan, Rak!”

Raka tidak mundur. “Atasan juga manusia, Pak. Bisa salah. Kami cuma minta hak kami.”

Hening panjang.
Mandor menatap mereka satu per satu, lalu menggeram pelan dan keluar ruangan.

Begitu pintu tertutup, udara di ruang produksi berubah.
Beberapa buruh menatap Raka dan tersenyum kecil.
Ada rasa lega — rasa bebas — meskipun cuma sebentar.

---

Namun malamnya, kabar buruk datang cepat.

Saman tiba-tiba dipanggil ke kantor dan tidak kembali.
Kabar yang beredar: ia dipindahkan ke bagian luar kota, “demi rotasi kerja.”
Tapi semua tahu, itu cuma alasan halus untuk menyingkirkannya.

Nisa mengetuk pintu kamar Raka tengah malam, wajahnya pucat.
“Mereka mulai main kasar,” katanya. “Besok mungkin giliran kita.”

Raka duduk, mengusap wajah. “Gue udah siap dari awal, Nis. Tapi sekarang mereka bakal lebih keras.”

Ia berdiri, menatap keluar jendela ke arah pabrik yang masih berasap dan bising.
“Selama buruh di sana masih diam, Jefri menang. Tapi kalau satu aja berani ngomong… dia bakal kalah.”

Nisa menatap Raka lama, lalu tersenyum kecil.
“Kalau gitu, ayo kita buat satu orang itu jadi sepuluh.”

---

Keesokan harinya, mereka mulai bergerak lebih berani.
Selebaran baru muncul di banyak tempat — di ruang makan, di pintu toilet, bahkan di papan absen.

Tulisan di kertas itu sederhana tapi mengguncang:

> “Kami bukan mesin. Kami manusia.”

Pihak manajemen panik.
HRD menurunkan pengumuman resmi: siapa pun yang ketahuan menyebarkan “informasi provokatif” akan dipecat.
Jefri memanggil beberapa orang secara acak untuk diinterogasi.
Tapi setiap kali ia bertanya, jawabannya selalu sama:

> “Kami nggak tahu, Pak. Kertasnya udah ada waktu kami datang.”

Gerakan ini tak lagi punya wajah.
Tak lagi bisa diancam.
Karena semua sudah jadi bagian darinya.

---

Malamnya, di sebuah warung kecil dekat perempatan, Raka dan Nisa duduk diam menatap kopi.
Mereka lelah, tapi juga tenang.
Mereka tahu ini baru awal.

“Lo sadar nggak,” kata Nisa pelan, “apa yang kita lakuin sekarang bakal dicatat orang nanti?”

Raka tersenyum samar. “Gue nggak peduli dicatat atau nggak. Yang penting, anak-anak di pabrik nggak takut lagi.”

Ia menatap hujan yang turun di luar warung, lampu-lampu kendaraan berkilat di jalan yang basah.
“Kalau semua berani ngomong, Jefri nggak akan bisa tutup mulut semua orang.”

Nisa menatapnya, matanya lembut tapi tajam.
“Dan kalau lo jatuh, Rak?”

Raka tertawa kecil. “Berarti lo yang lanjut.”

---

Sementara itu, di ruang HRD, Jefri berdiri di depan kaca besar yang menghadap ke area produksi.
Ia menatap ke bawah, melihat puluhan buruh yang masih bekerja tapi dengan suasana berbeda.
Ada sesuatu di mata mereka sekarang — keyakinan.

Jefri menghela napas panjang.
Ia tahu, ini bukan lagi soal data, bukan lagi soal upah.

Ini soal kendali.
Dan ia baru saja kehilangannya.

> “Baiklah, Raka,” gumamnya pelan.
“Kalau ini perang, kita mulai babak berikutnya.”

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience