Bab 14 – Gerakan di Balik Mesin

Drama Series 5

Hari-hari berikutnya berjalan seperti mimpi buruk yang tak berakhir.
Setiap langkah terasa diawasi, setiap bisikan terasa bergaung di dinding pabrik yang dingin.
Raka bekerja seperti biasa — memindahkan kardus, memeriksa mesin, tertawa kecil dengan Saman — tapi di dalam pikirannya, badai sedang berputar.

Ia tahu satu hal: Jefri bukan sekadar pengawas.
Ia dalang dari semua kekacauan.
Dan jika Raka terus diam, semuanya akan hilang — termasuk Nisa, dan mimpi mereka tentang kebebasan.

---

Siang itu, Raka berpura-pura ke toilet belakang — tempat sinyal ponsel masih bisa menangkap jaringan.
Ia kirim pesan singkat ke Nisa.

> “Ketemu nanti malam di tempat biasa. Bawa flashdisk-nya. Kita mulai.”

Balasan datang cepat.

> “Siap. Tapi hati-hati, Rak. Sekarang banyak mata.”

---

Malamnya, mereka bertemu di bengkel kosong belakang pabrik — tempat para buruh biasa memperbaiki sepeda motor rusak.
Lampu neon berkelap-kelip, udara penuh bau bensin dan karat.

Nisa sudah ada di sana, mengenakan jaket hitam dan topi.
Begitu melihat Raka, ia langsung bicara tanpa basa-basi.

“Lo yakin mau terusin ini? Kita udah diincar.”

Raka mengangguk. “Justru karena itu. Kalau kita diem, mereka makin berani.”

Ia membuka tas kecil, mengeluarkan beberapa lembar kertas hasil print dari file flashdisk tadi.
Tulisan “Confidential” masih jelas di sudutnya.

“Ini bukti pertama,” kata Raka. “Kita bakal bocorkan ini ke media buruh independen. Tapi pelan-pelan, lewat jalur aman.”

Nisa menatap kertas itu, lalu Raka. “Kalau ketahuan, kita bisa dipecat. Atau lebih parah.”

Raka tersenyum miring. “Aku lebih takut kalau semua ini sia-sia.”

---

Suara motor terdengar dari kejauhan.
Mereka cepat-cepat mematikan lampu dan bersembunyi di balik meja besi.
Dua orang satpam melintas sambil ngobrol.

> “Kata Pak Jefri, besok akan ada inspeksi besar. Disuruh pantau semua area belakang.”
“Serius? Emang ada masalah?”
“Katanya ada yang coba akses file internal. Tapi udah ketahuan.”

Raka dan Nisa saling berpandangan.
Degup jantung mereka serasa berpacu dengan langkah satpam di luar.
Begitu suara motor menjauh, Nisa berbisik, “Mereka tahu tentang flashdisk itu.”

Raka mengangguk. “Kita harus pindahkan datanya malam ini juga.”

---

Beberapa jam kemudian, mereka menyelinap ke warnet lain di luar area pabrik, di daerah pinggiran yang gelap.
Raka duduk di depan komputer, menyalin data ke drive online anonim.
Nisa berjaga di pintu, memastikan tak ada yang mengikuti.

“Berapa lagi, Rak?” tanya Nisa pelan.

“Dikit lagi… lima persen.”

Tiba-tiba, notifikasi pop up muncul di layar.

> Akses ganda terdeteksi. Lokasi lain mencoba membuka file yang sama.

Raka menatap layar dengan mata melebar. “Seseorang lagi coba buka file ini juga…”

“Siapa?” tanya Nisa cepat.

“Entah. Tapi IP-nya… masih di area pabrik.”

Mereka saling pandang.
Hanya ada satu kemungkinan: Jefri.

Raka mengetik cepat, mencoba memutus koneksi, tapi layar tiba-tiba berubah — muncul pesan teks di tengah monitor:

> “Kalian pikir kalian bisa menang? Kalian cuma pion.”

Nisa menatap layar, wajahnya tegang. “Dia tahu, Rak.”

Raka menutup semua jendela dan cabut flashdisk itu. “Biarin. Pion pun bisa menumbangkan raja kalau tahu cara mainnya.”

---

Malam semakin larut.
Di perjalanan pulang, mereka melewati gang kecil yang sepi.
Hujan rintik turun.
Dari kejauhan, lampu mobil menyala pelan dan berhenti tak jauh dari mereka.

Raka menarik tangan Nisa, menyembunyikan diri di balik dinding toko.

Mobil itu diam beberapa detik, lalu kaca jendelanya turun.
Raka sempat melihat sekilas — Pak Jefri duduk di dalam, menatap lurus ke arah gang, rokok menyala di jarinya.

Ia tidak turun.
Tidak bicara.
Hanya duduk, seolah tahu mereka di sana.

Kemudian mobil itu perlahan pergi.
Tanpa suara, tanpa ancaman.
Tapi bagi Raka, tatapan itu sudah cukup membuat darahnya membeku.

---

Sesampai di kamar, Raka membuka catatan kecilnya — rencana yang sudah ia tulis jauh sebelum semua ini dimulai.
Di halaman terakhir, ia menambahkan satu kalimat baru:

> “Langkah pertama: buka mata mereka.”

Ia menatap layar ponselnya. Di dalamnya, file-file rahasia itu kini tersimpan aman di server luar negeri.

Dan malam itu, ia kirim pesan terakhir ke Nisa sebelum tidur:

> “Kita mulai besok. Dari buruh ke buruh. Bukan lagi sembunyi — tapi membangun kesadaran.”
“Kalau Jefri mau perang, kita siap.”

---

Di luar, suara mesin pabrik terus berdengung.
Seperti nadi yang tak pernah berhenti berdetak.
Namun di balik dentuman itu, ada sesuatu yang mulai tumbuh — pelan, tapi pasti:
api kecil dari hati para buruh yang mulai sadar bahwa mereka tidak sendirian.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience