Bab 9 – Tanda-Tanda yang Membingungkan

Drama Series 5

Nama itu masih menggantung di udara seperti asap yang tidak mau hilang.

Kardi.

Raka menatap tanah, mencoba menata napas. Sari tampak terkejut tapi berusaha tetap rasional. Nisa langsung menutup mulutnya, seolah tak percaya. Bowo hanya mengernyit dalam-dalam.

Jefri melanjutkan, suaranya pelan tapi tegas.
“Aku belum bisa tuduh langsung. Tapi dia sering banget masuk ke area kantor. Alasannya selalu sama: mau tanya soal lembur, mau tanya soal gaji, mau tanya soal mesin.”

Ia menatap Raka.

“Dan kamu, Raka… kamu yang paling sering diajak bicara. Paling sering dia pancing.”

Raka menelan ludah. Iya… Kardi memang sering bertanya. Tapi apakah itu cukup untuk menuduhnya?

Sari mengangkat tangan sedikit, memberi tanda berhenti.
“Kita harus hati-hati. Jangan ambil kesimpulan terlalu cepat. Kardi mungkin cuma ingin bantu.”

Jefri menatapnya lama. “Di pabrik ini… kepedulian kadang cuma topeng.”

Tidak ada yang menjawab.
Suasana dingin merayap.

Akhirnya Jefri berkata, “Kita bubar dulu. Jangan ada pertemuan sampai aku beri kabar.”

---

Malam itu, Raka berjalan pulang sambil menunduk. Lampu jalan tampak redup. Suara kendaraan lewat tapi terasa jauh.

Dalam kepalanya, suara-suara bercampur:

“Dia sering bertanya.”
“Berhati-hati memilih teman.”
“Orang itu ada di lingkaran kalian.”

Raka menutup mata sebentar.
Ia tidak mau percaya Kardi berkhianat.
Tapi ia juga tidak bisa mengabaikan tanda-tanda itu.

---

Esok paginya, pabrik terasa aneh—lebih tegang dari biasanya.
Buruh-buruh masuk dengan wajah waspada, seakan setiap sudut punya telinga.

Saat Raka baru mengganti seragam, tiba-tiba Kardi muncul dari belakang.

“Pagi, Rak!” katanya riang, terlalu riang. “Kamu kok kelihatan pucat?”

Raka tersentak sedikit.
Wajah Kardi seperti biasa—ramah, sopan, penuh perhatian. Tidak ada tanda bahwa dia orang yang membocorkan gerakan.

“O-oh… nggak, cuma kurang tidur,” jawab Raka.

Kardi tertawa kecil. “Kamu ini… masih baru tapi stresnya udah kayak mandor tua. Santai saja.”

Lalu Kardi mendekat sedikit—terlalu dekat.
“Eh, kamu dengar? HRD tambah kamera lagi di lorong mesin 3.”

“Serius?”

“Iya. Aku dengar dari anak maintenance tadi. Ada yang dicari mereka, katanya.”

Detak jantung Raka naik setengah ketukan.

Kardi melanjutkan, “Kamu hati-hati ya, Rak. Jangan suka jalan ke tempat-tempat sepi.”

Cara dia berkata itu…
apakah itu perhatian?
atau ancaman terselubung?

Sulit dibedakan.

---

Saat jam istirahat, Sari menarik Raka ke toilet wanita kosong—tempat satu-satunya yang aman karena tidak ada kamera.

“Gimana tadi?” bisik Sari.

Raka menghela napas. “Dia tanya macam-macam seperti biasa.”

“Menanyakan kamera baru?”

“Kamu juga dengar?” tanya Raka.

Sari mengangguk. “Tapi cara dia bicara ke kamu… beda?”

Raka mengangguk pelan.

Sari menggigit bibir. “Kita tidak bisa tuduh dia sekarang. Yang kita tahu baru ciri-ciri. Bisa saja Jefri salah.”

“Tapi bisa juga benar,” jawab Raka, menatap lantai.

Sari menepuk lengan Raka. “Dengar, Rak. Apapun yang terjadi, kamu jangan sendirian. Aku ada di belakangmu.”

Raka mengangguk, tapi hatinya tetap gelisah.

---

Sore itu, terjadi sesuatu yang mengacaukan semuanya.

Di tengah shift, HRD dan dua keamanan masuk tiba-tiba ke area produksi. Buruh-buruh langsung diam. Mandor mengikuti di belakang mereka.

“Semua berhenti bekerja,” perintah HRD. “Kami mau cek daftar nama.”

Raka menegang.
Sari menoleh cepat, matanya melebar.

Kardi, Nisa, dan Bowo juga tampak bingung.

HRD mulai membaca daftar nama, satu per satu dipanggil maju.
Lebih dari 20 orang dipilih acak.

Lalu…

“Raka!”

Jantungnya serasa jatuh.

Ia maju pelan.
Tatapan puluhan buruh menempel di punggungnya.

Kemudian terdengar nama berikutnya:

“Sari!”

Lalu…

“Kardi.”

Raka menegang.
Apakah ini bukti? Atau kebetulan?

Tapi sebelum sempat menebak, HRD memberi pengumuman:

“Mulai hari ini, kami akan investigasi semua karyawan yang dianggap sering membuat ‘pertemuan tidak perlu’.”

Suara pabrik terhenti. Semua menatap.
Raka bisa merasakan kakinya gemetar.

Kardi tampak pucat.
Nisa menatap lantai.
Bowo mengepalkan tangan begitu keras sampai buku jarinya memutih.
Sari menghela napas berat, wajahnya tegang.
Dan Jefri, di belakang HRD, hanya diam dengan rahang mengeras.

“Yang kami panggil… wajib ke ruang rapat HRD satu per satu.”

---

Saat mereka berbaris, Kardi berbisik ke Raka:

“Rak… kalau ada apa-apa nanti… kamu jangan bilang kita pernah kumpul. Aku mohon.”

Raka menoleh.
Dari dekat, tampaknya Kardi benar-benar ketakutan.

Atau…

Apakah itu akting?

Sari menatap mereka dari belakang, waspada.

Beberapa detik kemudian, Kardi menambahkan, suara sangat pelan:

“Rak… aku harus bilang sesuatu.”

Raka menatapnya tegang.
Napas Kardi naik turun, keringat dingin di pelipisnya.

“Kalau nanti giliran kamu masuk kantor HRD…”
Ia menelan ludah.

“…jangan percaya apa pun yang mereka bilang tentang aku.”

---

Perkataan itu membuat Raka semakin bingung.

Jika Kardi pengkhianat—kenapa dia bilang begitu?
Jika bukan pengkhianat—kenapa sikapnya semakin mencurigakan?

Satu hal pasti:

Bab ini berakhir dengan semua orang digiring ke HRD,
dan kebenaran kini berada di ambang pintu—
tapi bukan berarti akan mudah ditemukan.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience