Series
5
Hari kedua Raka dimulai dengan otot lengan yang protes dan punggung yang rasanya seperti ditekuk semalaman. Ia mengucek mata sambil berjalan ke pabrik, memilih sarapan dengan roti seadanya dari warung depan gerbang.
“Pekerjaan baru, tapi sakitnya serasa kerja lima tahun,” gumamnya sambil mengunyah.
Begitu masuk area produksi, suasana sudah hidup. Mesin berdentam, buruh-buruh senior sudah mulai bercanda, bahkan Mandor sudah tampak sibuk dengan clipboard kecilnya.
“Pagi, Rak!” Sari menyapa sambil menyodorkan minuman. “Kopi sachet. Bantu bangunin otak.”
“Wah, makasih, Mbak,” Raka menerima dengan senyum.
“Sari aja, jangan Mbak. Nanti aku makin tua,” katanya sambil menepuk bahu Raka.
Baru beberapa menit bekerja, terdengar suara seseorang memanggil—cukup keras untuk menembus bising mesin.
“Andri! Kerjaanmu lambat lagi! Bisa cepat nggak?”
Itu suara Mandor. Suara yang membuat beberapa buruh otomatis menunduk.
Raka menoleh. Seorang pemuda berpostur kurus berdiri tak jauh dari tempatnya. Wajahnya pucat, keringat mengalir meski baru jam tujuh lewat sedikit.
Sari mendekat dan berbisik, “Itu Andri. Dia dulu masuk bareng aku. Orangnya rajin, cuma akhir-akhir ini sering sakit.”
Andri mencoba mempercepat gerakannya, tapi tangannya terlihat gemetar. Raka baru ingin menawarkan bantuan ketika—
TRANG!
Terdengar suara metal jatuh. Andri terhuyung dan terduduk. Beberapa buruh menoleh panik.
Sari spontan berlari, sementara Raka ikut menyusul. “Andri! Kamu nggak apa-apa?”
Andri mencoba mengangkat kepala tetapi matanya berkunang. “Pusing… Mbak. Kayaknya… kebanyakan lembur.”
Mandor mendekat dengan langkah besar. “Kenapa lagi ini? Baru juga mulai kerja!”
Sari berdiri menghadangnya dengan nada tegas tapi tetap sopan. “Pak, Andri dari kemarin demam. Dia nggak kuat lembur dua hari berturut-turut.”
Mandor menghela napas berat. “Kalau sakit ya bilang, jangan bikin onar.”
“Dia sudah bilang, Pak,” sahut Sari cepat.
Mandor melirik tajam namun tidak menjawab. Ia memanggil bagian keamanan untuk membawa Andri ke pos kesehatan kecil di pojok gudang.
Setelah Andri dibawa, suasana kembali seperti biasa—atau setidaknya berpura-pura biasa. Namun Raka tidak. Ada sesuatu yang mengganjal.
Ia menatap tempat Andri bekerja sebelumnya. Ritme mesin cepat, posisi berdiri lama, suhu ruangan panas. “Dia sakit tapi tetap disuruh lembur?”
Sari mendengar itu dan menghela napas. “Rak, kalau di sini kamu banyak nanya kayak gitu, nanti kamu cepat stres.”
“Kenapa?”
“Karena sebagian dari hal di sini memang… nggak adil.”
Raka menatap wajah Sari, mencoba membaca lebih dalam.
Sari melanjutkan dengan suara lebih pelan, “Andri sudah minta libur kemarin. Tapi HRD bilang staf kurang. Jadi dia dipaksa masuk. Buruh nggak punya banyak pilihan di pabrik ini.”
Raka tidak tahu harus bilang apa. Ia hanya memandang lantai, merasa ada sesuatu yang salah.
Ketika istirahat tiba, buruh-buruh berkumpul di kantin kecil. Meja-meja dipenuhi nasi bungkus, tawa kecil, dan gosip ringan. Tapi topik hari itu jelas: Andri.
“Kasihan, bro. Baru awal bulan udah tumbang.”
“Perusahaan makin parah. Semua dipaksa lembur.”
“Awas kalau ngomong di depan HRD, bisa disemprot.”
Raka mendengarkan percakapan itu tanpa ikut campur. Namun satu kalimat dari salah satu buruh membuatnya menoleh.
“Kalau kita punya serikat, hal-hal begini bisa diperjuangin.”
Serikat.
Kata itu melayang di kepala Raka.
Sari, yang duduk di sebelahnya, hanya tersenyum tipis. “Nanti kamu bakal paham maksud mereka.”
Raka menelan ludah pelan. “Apa semua orang di sini pengen ada serikat?”
“Bukan pengen,” jawab Sari. “Butuh.”
Hari itu berakhir tanpa kejadian dramatis lagi, tapi pikiran Raka tidak tenang. Ketika ia berjalan pulang, bayangan Andri yang jatuh, wajah pucatnya, dan kata ‘serikat’ saling tumpang tindih di kepalanya.
Raka tidak tahu banyak tentang dunia perburuhan, tapi ia tahu satu hal:
Tidak boleh ada orang jatuh di depan mesin, lalu dianggap bukan apa-apa.
Dan untuk pertama kalinya, ia bertanya pada dirinya sendiri—
“Kalau aku diam… siapa yang bakal ngomong?”
Share this novel