Mas Danang semakin mendekat, sepersekian detik bingkai kami saling bertaut, aku terhanyut dalam derasnya arus cinta mas Danang.
Kubiarkan dia membawaku berlayar jauh, melintasi samudra dan rasanya tak ingin lagi untuk menepi.
Suara adzan yang berasal dari alarm gawaiku menjemputku saat sedang berlayar mengarungi samudera cinta dengan mas Danang.
Aku merentangkan tangan dan mengusap mataku.
"Ternyata mimpi," gumamku.
Mungkin karena pembicaraan dengan papa mas Danang tadi, sampai-sampai terbawa mimpi olehku, atau mungkin aku yang terlalu berharap?
Lama aku tertegun, mimpi itu seperti nyata, dekapan dan sentuhan mas Danang masih nyata kurasakan, juga hembusan napasnya yang memburu. Seandainya semua itu benar-benar nyata ....
[Selamat pagi, Hanum.] Aku tersenyum miring saat membaca pesan dari mas Danang.
Aku sudah menduga mas Danang akan mengirimkan ucapan itu pada Hanum.
Tak lupa dia bubuhkan emotikon hati dan setangkai bunga di akhir kalimat.
Sebelum membalas pesannya, sengaja aku keluar lagi dari kamarku dan duduk di ruang tengah agar aku bisa melihat ekspresi mas Danang saat mendapat balasan pesan dari wanita pujaannya.
[Pagi juga, Mas. Udah sarapan belum?] balasku.
Pesanku terkirim, disaat yang bersamaan mas Danang meraih gawainya yang dia letakkan di atas meja.
Seketika senyumannya mengembang. Dia meletakkan sendok di piring, kemudian fokus membalas pesan.
[Ini lagi sarapan.] Dia melampirkan foto soto yang tinggal separoh dalam mangkuknya.
Aku tersenyum geli melihatnya.
[Itu masakan istrimu? Sepertinya enak.]
[Kamu udah sarapan belum?] Ternyata dia tidak menjawab pertanyaanku dan mengalihkan pembicaraan.
[Belum.]
[Nanti jadi ketemuan, kan?]
[Emang kamu nggak bosan ketemuan terus sama aku?]
[Enggak, lah, justru aku ingin setiap saat bertemu denganmu.]
"Dasar buaya kamu, mas," gerutuku.
[Okay, nanti kita ketemuan ditempat biasa saat jam makan siang.]
[Ok. Tak sabar rasanya.] Disertai emotikan wajah penuh love.
Aku tak bisa untuk tidak tersenyum, entah itu senyum bahagia atau senyuman penuh luka, yang jelas semua rasa berbaur di dalam dadaku.
Namun, tak bisa kupungkiri aku juga terbawa perasaan saat bisa sedekat itu dengan mas Danang, meski sebagai Hanum, tak mengapalah jika dengan cara itu aku bisa menikmati apa yang seharusnya kudapatkan.
Mas Danang kembali berdehem, saking asiknya dengan gawai di tanganku, aku sampai tak sadar kalau ternyata mas Danang sudah berada beberapa langkah di depanku, sepertinya dia sudah selesai sarapan.
Dengan ujung mata aku meliriknya, sepertinya dia memperhatikan gawai yang sedang berada di tanganku.
Bergegas aku menutup halaman pesanku dan beralih pada aplikasi biru, meski yakin mas Danang tidak akan memperhatikan, tapi setidaknya aku harus tetap waspada dan berhati-hati, jangan sampai dia curiga.
Dia melenggang melintas di sampingku, dengan gawai masih berada di genggamannya.
Tanpa pamit dia langsung menuju pintu keluar. Sesaat kemudian deru mobilnya sudah terdengar.
"Hati-hati, mas," lirihku. Memahamkan dalam khayalan kalau saat ini aku sedang mengantarnya ke depan pintu.
Menghirup napas dalam, mengesampingkan khayalanku, aku menuju ke ruang makan.
Menyantap sarapan dalam kesendirian dan keheningan. Sepi kembali terasa.
Seandainya....
Setelah selesai bersantap, segera kubersihakan meja makan, mengemasi mangkuk dan gelas yang kotor dan langsung mencucinya.
Setelah itu membereskan rumah. Aku harus segera karena harus bersiap untuk bertemu dengan mas Danang ketika makan siang nanti sebagai Hanum.
Setelah semuanya beres, aku bersiap untuk berangkat.
Tak lupa kubawa pakaian ganti dan kalung yang diberikan mas Danang kemaren.
Di sinilah aku sekarang, di dalam sebuah ruangan mewah, menunggu suamiku tapi dalam wujud wanita lain.
Hanum--wanita seksi yang sedang berusaha menaklukkan hati seorang laki-laki yang sudah beristri.
Kupoles wajahku dengan make up dan memastikan kacamata sudah kusimpan agar tidak kecolongan lagi.
Sedangkan rambut sepunggungku kukuncir di puncak kepalaku, menampakkan leher jenjangku yang dihiasi anak-anak rambut.
Sebuah kemeja berwarna peach pas body yang kukombinasikan dengan celana jeans hitam untuk bawahannya menjadi pilihanku untuk bertemu dengan mas Danang hari ini.
Kutatap pantulan wajahku dicermin dan tersenyum puas.
Sungguh penampilan yang berbanding seratus delapan puluh derajat dengan Yulia.
Sembari menunggu kedatangan mas Danang, kusibukkan diriku untuk berselancar di dunia maya, sambil melihat-lihat model pakaian yang lagi tren saat ini, guna untuk menunjang penampilanku sebagai Hanum.
Pintu diketuk dari luar, setelah memastikan dari layar di balik pintu kalau yang datang itu adalah mas Danang, segera kubukakan pintu.
Senyuman manis kusuguhkan untuk menyambutnya. Mas Danang mengulurkan sebuah paper bag padaku.
"Ini apa, Mas?" tanyaku.
"Itu makan siang untuk kita, kamu belum makan, kan?"
Aku menggeleng.
"Perhatian sekali kamu, Mas," batinku menggerutu.
Kugandeng tangan mas Danang dan mengajaknya masuk.
Mas Danang menjatuhkan bobotnya di sofa, dan melonggarkan dasinya. tidak seperti biasa saat bertemu dengan Hanum, kali ini wajahnya terlihat murung.
"Kamu kenapa, Mas? Kok murung begitu wajahnya?"
"Aku lagi pusing," sahutnya.
"Pusing? Kenapa?" Aku mendekat dan mengusap lengannya, menunjukkan sisi kepedulianku.
"Papaku mintaku untuk segera memberinya cucu," sahutnya malas.
Owh... ternyata itu yang menjadi beban pikirannya.
"Ya tinggal kasih, Mas. Kamu kan sudah punya istri," ujarku berlagak bodoh.
"Bagaimana mungkin aku memberi papaku cucu dari wanita itu, sedangkan aku sama sekali tidak mencintainya, bahkan aku tak ingin anakku terlahir dari rahimnya."
Nyeri... hatiku terasa disayat sembilu mendengar ucapannya.
"Memangnya tak ada sedikitpun rasamu terhadap istrimu itu, Mas?" tanyaku menahan sesak di dada.
Mas Danang menggeleng.
"Tidak!" sahutnya mantap dan tegas.
"Kenapa? Apa kekurangan istrimu? Sehingga kamu tak bisa memberinya sedikit kesempatan?"
"Dia ... yang jelas aku tak bisa menerimanya. Sampai kapanpun!"
"Lantas, kenapa kamu tidak menceraikannya saja? Daripada tersiksa begini? Terikat dalam pernikahan tapi hati saling menjauh," pancingku.
Mataku terasa panas, sekuat tenaga menahan agar jangan sampai ada genangan di pelupukku.
"Urusannya tidak semudah itu," sahutnya ambigu.
Tapi aku sudah tau betul alasannya, apalagi kalau bukan karena takut kehilangan harta dan tahta yang selama ini sudah dia miliki.
"Ya sudah, jangan terlalu dipikirkan, lebih baik sekarang kita makan siang dulu." Aku mengeluarkan kotak makanan dari dalam paper bag yang dibawakan mas Danang. Dia bisa begitu perhatian pada Hanum.
Aku tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi kalau dia tahu bahwa Hanum adalah Yulia? Apakah dia akan membenciku atau malah menyesali perbuatannya selama ini?
"Nasi Padang beserta jus semangka, sepertinya cocok untuk cuaca yang sedang terik begini," ujarku.
"Tapi kok cuma satu, Mas?" tanyaku karena hanya ada satu kotak nasi di dalam paper bag itu.
"Biar lebih romantis." Mas Dangan mengerling padaku.
Aku membuka kotak makanan itu dan memutar dudukku menghadap pada mas Danang, lalu mengansurkan sesendok nasi beserta rendang ke mulutnya.
"Enak," ujarnya dengan mulut berisi nasi.
Bergantian aku menyuapkan nasi ke mulutku, hingga kotak itu kosong.
"Aku bahagia jika setiap hari bisa seperti ini," ucap mas Danang, dia menatap dalam padaku, seperti ada sebuah pengharapan dari tatapannya.
"Kalau ada waktu aku akan menemanimu," sahutku.
Kuambil jus semangka dan menyeruputnya.
"Kita sudah sama-sama dewasa, aku tak ingin hubungan kita hanya sebatas ini saja." Mas Danang menggenggam tanganku.
"Ma-maksudnya?"
"Aku nyaman denganmu. Aku merasakan apa yang tidak kurasakan pada istriku darimu," tuturnya.
Keningku berkerut karena tak mengerti kemana arah pembicaraannya.
"Bagaimana kalau kita resmikan hubungan kita?"
"Resmikan?"
"Iya, kita bisa diam-diam menikah tanpa sepengetahuan keluargaku agar kita bisa menghabiskan waktu setiap saat."
Ingin rasanya aku menampar mulutnya.
Jus dalam genggamanku terjatuh dan berserakan di lantai, bagaikan petir di siang bolong.
Aku tak menyangka kalau mas Danang punya pikiran sejauh itu. Bagaiman mungkin dia mengajakku menikah?
"Oh, maaf." Bergegas aku beranjak untuk mengambil lap tangan dari toilet untuk menutupi jus yang sudah berserakan di lantai.
Kuusap dadaku yang terasa sesak. Sedangkan mendengar mas Danang mengatakan hal itu pada Hanum yang tak lain adalah aku saja sudah membuat hatiku begitu sakit, apalagi kalau dia mengatakannya pada wanita lain?
Setetes air mataku jatuh dari pelupuk. Aku tak bisa lagi menahannya.
Namun, saat kesadaran mulai menghampiri bergegas aku mengusapnya gusar.
"Jangan menangis!" Pikiranku menekankan kalimat itu.
"Tidak! Aku tidak boleh menangis!" Seolah hati menyahuti.
"Hanum?" Panggil mas Danang disusul dengan suara ketukan pintu.
Segera kusambar lap berwarna putih yang tergantung di samping westafel.
Sebelum membuka pintu kupastikan tak ada lagi sisa air mata yang membekas di wajahku.
Pintu kamar mandi terbuka, tepat di depan pintu mas Danang berdiri. Laki-laki yang tak menyadari siapa wanita yang dia ajak untuk menikah itu memindai wajahku dengan seksama.
"Maaf jika aku..."
Tak menghiraukan ucapannya, kulanjutkan langkahku menuju sofa dan menutup tumpahan jus dengan lap.
Lap yang semula berwarna putih berubah merah seperti tumpahan darah, mewakili luka di hatiku akibat ucapan mas Danang.
Menikah dengannya? Gila! Ini benar-benar gila! Ternyata Hanum yang seksi bisa membuat seorang Danang Wicaksono bertekuk lutut hanya dengan beberapa kali bertemu.
"Hanum?" lirih suaranya memanggilku.
Aku memutar tubuhku menghadap padanya yang berdiri di belakangku. Tatapan kami bertemu, ada sesuatu yang kutangkap dari caranya memandangku, sebuah harapan yang besar terpancar dari iris matanya hitam legam.
Dia meraih tanganku dan menggenggamnya.
"Maaf," ujarnya kemudian.
"Kamu sudah punya istri, Mas. Aku tak ingin..."
"Tapi aku tidak mencintainya sedikit pun, bahkan setelah dua tahun menikah aku belum pernah menyentuhnya." Mas Danang seolah tidak memberiku kesempatan untuk bicara.
Benar-benar keterlaluan kamu, Mas. Kamu tak bisa mencintai istrimu yang benar-benar sudah mengabdikan hidupnya padamu selama dua tahun meski kau tak pernah menganggapnya ada.
Namun, dengan mudahnya kau mengajak wanita yang baru kau kenal beberapa hari untuk menikah, bahkan kau baru beberapa kali bertemu dengannya.
Kau juga belum mengetahui asal-usulnya dan seperti apa kehidupannya yang sebenarnya!
Benar-benar naif!
Dadaku bergemuruh. Tuhan... peluk aku sebentar saja agar diri ini tidak terjerembab dalam kubangan luka yang buat oleh laki-laki yang bergelar suamiku.
Aku menggeleng pelan.
"Aku tidak bisa, Mas," sahutku lirih.
"Kenapa? Apa ada orang lain?" tanyanya dengan tatapan penuh selidik.
"Tidak! Karena aku adalah Yulia. Aku adalah istri yang selalu kau hina. Istri yang tak pernah kau anggap ada!" Jeritan itu hanya tertahan di tenggorokan.
Aku menarik tanganku dari genggaman mas Danang. Kemudian menghempaskan tubuh di sofa sebelum aku luruh dengan sendirinya ke lantai.
Mas Danang mendekat dan ikut duduk di sampingku.
"Maaf jika ini terlalu buru-buru, tapi begitulah perasaanku padamu. Aku tidak ingin selamanya seperti ini. Karena jujur ...." mas Danang menjeda ucapannya.
"Aku butuh tempat untuk menuntaskan dahagaku, aku butuh tempat untukku berbagi lelah."
"Aku menatapnya miris. Apa kau pikir Yulia tidak butuh hal itu?! Kamu egois, Mas!" Batinku menceracau.
"Bagaimana dengan istrimu?" tanyaku ingin tahu rencananya.
"Itu biar aku yang pikirkan."
"Bagaimana jika keluargamu tahu?"
"Selama kita tak buka suara, aku yakin mereka tidak akan tahu."
Hatiku rasa terbakar. Wajahku terasa dijalari hawa panas, aku yakin sekarang pasti sudah memerah.
Dadaku kembang kempis akibat napas yang memburu karena emosi. Kedua tanganku mengepal di sisi tubuhku.
Sekuat tenaga aku berusaha mengusir emosi yang menghampiri. Mas Danang tidak boleh menangkap kejanggalan pada diriku.
"Aku akan pikirkan, Mas," ujarku dengan gemuruh di dada.
Seulas senyuman terbit dibibirnya, aku yakin dia tengah bahagia sekarang karena mendapat secuil harapan.
"Terima kasih," ujarnya.
Dia meraih tubuhku dan mendekapku dengan erat seperti begitu takut kehilangan. Beberapa kecupan juga mendarat di puncak kepalaku.
"Dasar laki-laki tak punya hati!" umpatku dalam hati.
Mas Danang melepaskan pelukannya kemudian menatap jam yang melingkar di tangan kirinya.
"Aku harus segera kembali ke kantor. Kalau kamu pulang, sekalian saja kuantar, hitung-hitung tau di mana kamu tinggal," ujarnya.
"Tidak, aku masih ada urusan setelah ini," tolakku.
"Ya sudah, nanti jangan lupa kabari aku."
Aku mengantar mas Danang hingga ke depan pintu, memaksakan bibir tersenyum saat dia pamit, padahal hatiku penuh dengan umpatan dan makian.
Laki-laki macam apa yang meminang wanita lain sedangkan dia sudah menikah.
Hanya karena alasan istrinya seorang cleaning service di perusahaannya dia tidak mau membuka hati dan matanya lebar-lebar.
Karena terlalu abai sampai-sampai dia tidak bisa mengenali wajah dan suara wanita yang sudah dua tahun mendampinginya.
Benar-benar keterlaluan.
Bergegas kututup pintu setelah tubuh tinggi itu keluar, sebelum ada orang lain yang melintas dan melihat tubuhku dengan penampilan yang kurasa tak pantas ini.
Kuhempaskan tubuhku di ranjang besar dengan seprai berwarna putih.
Kasur ini pernah menjadi saksi saat aku bisa mendekap tubuh mas Danang dan menghirup aromanya sepuasku.
Miris ... aku baru bisa mendapatkannya dalam sosok berbeda.
Bukan sebagai Yulia--seorang istri sah. Melainkan sebagai Hanum--wanita pelakor.
"Aku benci kamu, mas!" pekikku.
Akhirnya air mata yang sedari tadi susah payah kutahan tumpah juga.
Kuusap kembali air mataa yang sudah membanjir bak luapan anak sungai di wajahku.
Kukeluarkan gamis yang kupakai tadi dari dalam lemari dan memakainya.
Melampiskannya dengan baju yang kupakai sebagai Hanum, aku ingin cepat-cepat keluar dari tempat ini. Ucapan mas Danang selalu terdengar menggema dalam ruangan ini, membuatku merasa gerah, meskipun pendingin udaranya sudah dinyalakan.
Taksi pesananku sudah menunggu di halaman hotel ketika aku keluar, bergegas aku masuk ke dalamnya.
"Jalan, Pak!" ujarku.
Aku tersenyum lirih saat puzel-puzel kenangan satu persatu menyerang pikiran.
Tentang Yulia yang selalu kesepian dengan stutusnya sebagai istri tak tersentuh, juga tentang Hanum--wanita yang ternyata begitu dicintai Danang, sampai-sampai diajak menikah.
Tanpa bisa kucegah, bulir itu kembali berjatuhan dari telagaku. Kali ini aku tak berniat menahannya lagi.
Kukeluarkan air mata itu sepuasnya. Mungkin dengan begitu bisa membuat sesak di dada sedikit berkurang, meski aku tahu sebanyak apapun air mata yang kukeluarkan takkan bisa mengubah kenyataan bahwa yang dicintai mas Danang--suamiku adalah Hanum, bukan aku--Yulia.
"Mbak?" suara supir taksi menyentakkanku. Dia menyodorkan sekotak tisu padaku.
"Semua masalah pasti ada jalan keluarnya."
Seakan paham dengan suasana hatiku laki-laki dengan kumis tipis itu berucap.
"Terima kasih, Pak," ucapku. Kuterima uluran tisu yang dia berikan dan menghapus air mataku.
Aku melayangkan pandangan ke luar jendela, berusaha menepikan sakit yang seakan-akan meremas hati dengan melihat kendaraan yang berlalu lalang seakan berlomba dan berebutan untuk saling mendahului.
Mobil berhenti tepat di depan sebuah rumah mmewa yang dua tahun ini kutempati dengan kehampaan.
"Terima kasih, Pak. Sisanya ambil saja." Kuserahkan selembar uang seratus ribuan kepada supir taksi, yang disambutnya dengan suka cita.
"Terima kasih banyak, Mbak," ujarnya.
Aku tersenyum dan menganggukkan kepala sebelum keluar dari mobil.
Dengan langkah lunglai aku masuk ke dalam rumah.
"Tak seharusnya aku berada di sini, seharusnya pernikahan ini tak pernah terjadi," sesalku.
Kulepaskan penutup kepala dan gamisku, menyisakan pakaian khas Hanum yang melekat di tubuhku, kemudian berbaring di kasur.
Bayangan tatapan mas Danang yang penuh cinta dan perlakuannya pada Hanum menari di pelupukku, membuat kepalaku menjadi semakin sakit.
"Astaghfirullah ...." Bergegas aku bangkit kembali, mengingat tadi aku belum shalat Zuhur.
Segera aku ke kamar mandi untuk berwudhu dan melaksanakan kewajibanku sebagai muslim.
Selesai sholat, kembali aku berbaring, ingin tertidur barang sejenak untuk melupakan segala kepenatan jiwa.
Baru saja mata hendak terpejam, suara rentetan bel yang memekakkan telinga membuatku terganggu.
Dengan kesadaran yang belum sutuhnya aku melangkah menuju pintu. Ada saja yang menggangguku.
Kutarik gagang pintu, seseorang berdiri tepat di hadapanku, dia menatapku dengan tatapan kaget.
Matanya membulat dengan mulut ternganga.
"Ka-kamu?" tanyanya seperti tak percaya dengan apa yang dia lihat sambil menunjuk ke arahku.
Matanya turun naik memperhatikanku dari ujung kaki ke ujung kepala.
Merasa heran, aku ikut menatap diriku. Ya Tuhan... aku lupa memakai gamis dan jilbabku. Kenapa aku bisa seceroboh ini?
Astagah.. penyamaranku...?
To Be Continue
Share this novel