Gawai itu terus saja bergetar, tanpa ragu ku usap layarnya, tapi nahas, di saat yang bersamaan mas Danang muncul dari balik pintu yang hanya beberapa meter dari tempatku berdiri.
Sejenak pandangan kami bertemu hingga akhirnya aku mengalihkan pandangan ke lain arah.
Bergerak cepat tanganku menekan tombol merah, lalu menempelkan benda itu ke telingaku dan bicara sendiri seperti sedang menerima telpon.
"Iya, Bu, Alhamdulillah aku sehat," ujarku.
Sudah bisa kupastikan melihat aku ada di sana maka mas Danang pasti akan segera pergi, sosok tegap itu kembali hilang di balik pintu. Semoga saja dia tidak curiga.
Aku menghembuskan napas, tak bisa kubayangkan apa yang akan terjadi jika mas Danang tahu kalau aku adalah sosok di balik Hanum.
Untuk beberapa saat aku masih bicara sendiri seolah-olah aku memang sedang menelpon, hanya untuk berjaga-jaga saja.
Kalau-kalau mas Danang memperhatikanku dari dalam sana, walaupun sebenarnya itu adalah mustahil, mana mungkin dia akan memperhatikanku sebegitunya.
Kumatikan gawaiku dan mulai menyibukkan diri dengan tanaman mawarku, membuang daun-daunnya yang sudah menguning agar dia tetap terlihat indah.
Karena terlalu sibuk, tak terasa sudah Zuhur, suara adzan menggema dari mesjid yang terletak tak jauh dari rumahku.
Kutinggalkan bunga-bunga itu dan melangkah masuk. Namun, langkahku terhenti ketika mendengar suara dari arah dapur, saat kuintip ternyata mas Danang yang sedang makan di sana.
Tak berniat menghampirinya, aku melanjutkan langkah ke kamar, bersiap untuk menghadap pada sang pemegang kehidupan untuk memenuhi kewajibanku sebagai muslimah.
Kadang pernah timbul keinginan dalam diriku, shalat diimami oleh mas Danang layaknya pasangan suami istri, tapi segera kuusir keinginan itu.
Karena itu takkan pernah terjadi. Mengharapkan hal itu sama seperti pungguk merindukan bulan. Mustahil.
Kubentangkan sajadaku, menundukkan kepala dan mengangkat takbir, menyerahkan diriku seutuhnya pada sang maha pencipta.
Selesai shalat, tak lupa aku memohon kebaikan untuk keluargaku, memohon agar Allah membukakan pintu hati mas Danang, agar aku bisa membawa keluarga ini menuju JannahNya.
Hari demi hari berlau. Hubunganku dengan mas Danang masih seperti itu-itu saja, tak ada yang berubah, tapi dia semakin gencar mendekati Hanum.
Mengirimkan pesan-pesan perhatiannya setiap saat.
Mas Danang tak pernah lupa mengucapkan selamat pagi pada Hanum sebelum memulai rutinitasnya, mengingatkan makan siang.
Dan mengucapkan selamat malam, meski sering kali sengaja kuabaikan.
Beberapa kali mas Danang juga mengajak Hanum untuk video call, katanya rindu, jelas aku menolaknya, karena tak mungkin aku merubah penampilanku hanya untuk menerima panggilan video dari mas Danang.
[Baiklah, besok malam temui aku di hotel kemarin, di kamar sama, dan jam yang sama.] Akhirnya aku memutuskan untuk kembali menemui mas Danang untuk memenuhi permintaannya yang sudah seperti pengemis.
[Terima kasih banyak, aku tak sabar untuk segera bertemu denganmu.]
Aku bisa bayangkan, sekarang mas Danang pasti sedang tersenyum bahagia karena akan segera bertemu dengan pujaan hatinya.
"Aku malam ini lembur, pastikan semua pintu terkunci, jangan sampai maling masuk ke rumah ini."
"Karena apa yang ada di dalam rumah ini harganya sangat mahal," ucap mas Danang ketika dia selesai sarapan pagi.
Ketika bicara dia sama sekali tidak menatapku padahal aku duduk di hadapannya.
Lembur? Lembur bersama Hanum maksudmu? Dan pesannya yang ke dua cukup menegaskan betapa tidak berartinya aku baginya,
Dia lebih mengkhawatirkan ada maling masuk dan mengambil barang-barang di rumah ini,
Dia sama sekali tidak mengkhawatirkanku jika seandainya aku yang dihabisi oleh maling itu,
Sepertinya harta jauh lebih berharga daripada aku baginya. Menyedihkan sekali.
Setelah memakan sandwich yang kubuatkan Mas Danang meneguk segelas air putih dan berlalu begitu saja.
Langkahnya mantap menuju pintu keluar. Tak lama kemudian terdengar deru mobilnya yang menjauh meninggalkan rumah.
Tidak ada acara cium tangan apalagi kecupan di keningku sebelum dia berangkat kerja. Ah, sepertinya angan-anganku terlalu berlebihan.
Saat hari beranjak petang, aku bersiap untuk berangkat ketempat dimana mas Danang akan menemui Hanum.
Sengaja aku berangkat lebih awal karena sebelum ke tempat tujuan aku harus mampir untuk membeli pakaian.
Taksi yang kunaiki berhenti di sebuah mall yang terletak tak jauh dari hotel tempat dimana mas Danang akan menemuiku sebagi Hanum.
Mataku menatap satu persatu pakaian yang terpajang di sana, dan mengambil beberapa lembar yang sesuai dengan seleraku,
Mencocokkan dengan peran Hanum yang seksi.
Setelah tiba di kamar, seperti halnya yang kulakukan kemaren, kuganti gamis yang melekat di tubuhku dengan sebuah gaun sebatas lutut berwarna navy.
Sebenarnya aku tidak percaya diri dengan tampilan seperti ini, tapi apa boleh buat, daripada mas Danang mencari wanita lain sebagai pelampiasannya dan akan membawanya jatuh dalam kubangan dosa,
Lebih baik begini, dan aku tidak tau dimana dan seperti apa akhir dari permainan yang kumulai ini.
Jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan, selesai shalat bergegas kukemasi segala sesuatunya yang akan memancing kecurigaan mas Danang.
Setelah merasa beres, aku duduk di depan meja hias untuk memulai menghias diriku, tak lupa kulepas kaca mataku dan menggantinya dengan softlens.
Aku tersenyum menatap pantulan diriku di cermin, tak sia-sia aku belajar makeup, ternyata ada manfaatnya juga, setidaknya untuk menyamarkan wajah asliku.
Tepat pukul sembilan malam pintu di ketuk, sudah bisa kupastikan kalau itu adalah mas Danang, ternyata dia sangat tepat waktu.
Sebelum membuka pintu kembali kulihat wajahku di cermin, dan aku merasa kalau penyamaranku sudah sempurna.
"Selamat malam, Mas," ucapku setelah membukakan pintu.
Mas Danang tersenyum sambil memberikan sebuket mawar merah padaku.
"Bunga cantik untuk wanita cantik," ucapnya.
"Terima kasih, Mas," kuambil bunga yang dia ulurkan dan menciumnya.
"Ayo masuk, Mas." Aku berjalan mendahului mas Danang.
"Aku kangen," bisiknya sambil memelukku dari belakang, membuat darahku berdesir dan jantung berdetak tak karuan.
Sesaat aku mematung dalam keadaan itu, menempatkan diri sebagai Yulia isrinya, bukan sebagai Hanum.
Aku melepaskan pelukan mas Danang dan berbalik untuk menghadap padanya, lalu melingkarkan tanganku di pinggangnya.
"Aku juga kangen, Mas," lirihku sambil menyandarkan kepalaku di dadanya, mendengarkan detak jantungnya dari dekat.
Tak terasa mataku mengembun, tapi segera aku menepisnya. Mas Danang kangen pada Hanum, bukan pada Yulia.
Aku mengurai pelukanku dan berjalan ke meja hias untuk meletakkan bunga yang diberikan mas Danang.
"Aku punya sesuatu untukmu," ucap mas Danang sambil berdiri di belakangku.
Kami saling tatap melalui pantulan cermin.
"Apa?" tanyaku.
"Pejamkan matamu," pintanya.
"Harus?"
Mas Danang mengangguk.
"Baiklah," ucapku seraya memejamkan mata.
Aku merasa tangan mas Danang bermain-main di sekitar leherku seperti sedang memasangkan sesuatu.
"Udah, matanya boleh dibuka," ucap mas Danang.
Perlahan aku membuka mata, pandanganku langsung tertuju pada kalung yang menjuntai indah di leherku.
"Kamu suka?" tanyanya, kembali aku dipeluknya.
"Suka, suka sekali," sahutku.
Bibirku tersenyum, tapi hatiku terasa sakit sekali, dua tahun menikah mas Danang belum pernah memberi surprise padaku seperti apa yang dia lakukan pada Hanum.
Dua kejutan di waktu yang sama, padahal ini baru kali kedua mereka bertemu.
Yulia... malang sekali nasibmu....
Mas Danang melepaskan pelukannya, dia melangkah mendekat ke meja hias, tangannya terulur untuk meraih kacamataku yang lupa kusimpan.
Seketika tulangku melemas, jangan sampai dia menyadari kalau itu adalah kacamata Yulia.
"Hanum, ini kacamata milikmu?" tanyanya sambil memperhatikan kacamata yang berada di genggamannya.
To Be Continue
Share this novel