"Jangan menangis! Aku tidak suka wanita yang cengeng." Tangan yang sudah terasa gatal untuk mengusap aliran di pipinya sekuat hati kutahan.
"Bukannya kamu memang tidak menyukaiku sebelum kita nikah dan di ijab qabul, mas?" sanggahnya.
Ya Tuhan... apa benar hatinya sudah membatu? Separah itukah dampak perbuatanku selama ini padanya?
Gerimis turun semakin deras, angin pun bertiup dengan kencang, mengibarkan hordeng penutup jendela.
Dia mengusap-usap lengannya, seperti tengah berusaha mengusir dingin yang menyerang.
"Jendelanya di tutup saja." ucapnya. Seketika dia beranjak.
Aku langsung menutup jendela. Ya canggung sekali... itulah yang kurasakan saat berdua dengannya dalam satu ruangan.
"Pergilah mas aku mau istirahat sebentar." Meski teredam kuatnya suara hujan di luar sana, tapi telingaku masih bisa menangkap suaranya dengan jelas.
"Kamu mengusirku Hanum?" tanyaku tak percaya.
"Tidak.. Inikan rumah orang tuamu. Kalau begitu biar aku saja yang pergi."
Saat dia hendak melangkah, bergegas aku menahan pergelangannya.
Jangan sampai dia pergi lagi, aku tak ingin kehilangannya lagi, maksudku aku tak ingin kepergiannya membuatku kehilangan apa yang sudah kumiliki selama ini.
Apalagi di luar sedang turun hujan deras, bisa-bisa dia sakit, kalau itu terjadi pasti mama dan papa akan semakin menyalahkanku.
Biarlah, untuk kali ini aku terlihat konyol.
"Tetaplah di sini," ujarku.
Dia tak bergeming, matanya menatap pada jemariku yang melingkar di pergelangannya.
"Kenapa kau melakukan ini?" tanyanya.
"Apa maksudmu? Tentu aku akan mencarimu, kau pergi dari rumah tanpa seizinku,."
"Sebagaimana pun kau adalah tanggung jawabku."
Seulas senyuman tipis yang terlihat seperti mengejek melengkung di bibir ranumnya, sembari dia menggelengkan kepala.
"Kau melakukannya bukan karena alasan itu, tapi karena dipaksa oleh orang tuamu."
"Atau karena tak ingin kehilangan harta dan tahta yang selalu kau anggap dewa itu.. hisk." Hanum tersenyum sinis.
Ucapannya yang tajam seakan langsung menusuk ke hatiku.
Memang hampir keseluruhan yang dia katakan itu benar adanya, tapi ... ada alasan lain yang aku sendiri tak mengerti.
Aku merasa ada yang kurang saat dia pergi, dan ada sepercik kebahagiaan yang menyeruak di hati saat kembali bertemu dengannya, entah itu rasa apa.
"Sudahlah, aku tak ingin berdebat. Yang jelas statusmu adalah istriku dan aku adalah suamimu, tidak terlepas dari apapun itu." Kulepaskan genggaman tanganku dan melangkah meninggalkannya yang masih terpaku.
"Kalau begitu lepaskan aku.. mas Danang, bebaskan aku kerna."
"Aku sudah muak dengan semua ini. Dua tahun bukan waktu yang sebentar, dan selama itu pula aku sudah berusaha mendampingimu dengan sabar."
" Aku terlalu sabar menerima keegoisanmu, sabar menerima kesombonganmu."
"Aku sabar menerima keangkuhanmu, dan sabar menerima kenyataan bahwa aku tak pernah berarti bagimu!" Ucap Hanum dengan tangis sendu.
Ucapannya menghentikan langkahku.
Suaranya kembali bergetar. Dia menangis lagi..
"Memang tak seharusnya ini terjadi," tambahnya kemudian, lalu segera melangkah dan ke luar dari kamar tanpa bisa kucegah lagi.
Kujambak rambutku dengan kesal. Ternyata tidak mudah untuk kembali meluluhkan hatinya.
Setelah berdebat denganku, dia pun terisak. Bahunya bergetar dan dia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.
Aku semakin bingung dibuatnya. Tidak tega, tapi tidak tahu juga harus berbuat apa.
Apa aku harus memeluknya, menyandarkan di dadaku? Dan aku harus membelai lembut rambutnya, lalu mengecup lama ubun-ubunnya agar dia tenang dan merasa tidak sendirian.?
Kemudian meyakinkan ada aku bersamanya. Hah? Pikiran macam apa ini?!
BIG NO!
Tubuhku membatu dan membeku terpaku. Sedangkan isakan itu terdengar semakin lirih.
Siyal!
Sudahlah, Yulia.
Jangan begini! Nanti aku jadi sa... sakit....
Sampai di sini dulu ceritanya. Kapan hari kalo nggak mager dilanjutkan.
To Be Continue..
Share this novel