Episode 19: Ku Baringkan Tubuhnya Diatas Ranjang.

Romance Series 4404

Bruk

Yulia jatuh di tepi tangga entah kerana apa..

Dia tidak sedarkan di lantai, sontak membuatku bergegas bangkit dan mengejarnya yang sudah terkulai tak berdaya. Wajahnya pucat.

"Ya tuhan Yulia!!! Danang cepat angkat Istri kamu." Hardik mama.

Aku benar-benar buntu kerna itu aku hanya mematung duduk di sampingnya sana.

Aku tak tahu mahu apaian sama Yulia, ia dia tetap istri ku tetapi!!!

Entah karena takut pada mama atau karena khawatir padanya, kuraih tubuhnya dan menggendongnya.

"Cepat!! Apa-apaan sih ini anak!" Mama memerintahkan untuk membawa ke kamar tamu saja.

"Ada apa ini? Kenapa ribut-ribut ini Mama..?" Papa keluar dari kamarnya.

"Yulia kenapa?" tanyanya melihat Yulia berada dalam gendonganku.

"Nggak tahu, Pa, tadi tiba-tiba dia pingsan," sahut mama.

Kepanikan begitu ketara di wajah mama.

Kubaringkan tubuhnya di atas ranjang dan menyelimutinya sebatas pinggang.

"Lihat akibat perbuatanmu," omel mama.

Beliau menatapku sangar, lalu ikut naik ke tempat tidur dan menempelkan punggung tangannya di kening menantu kesayangannya itu.

Huftt

'Kenapa aku yang disalahkan?' Hanya menjawab dalam hati.

Kalau aku ucapkan bisa-bisa membuat mama semakin murka dan aku tidak siap untuk kena amukannya.

Aku sudah terlalu lelah memikirkan Yulia beberapa hari ini.

Eh?

Hah?

Memikirkan Yulia? Apa iya? Dih.

"Ya Tuhan... dia demam, Pa," ucap mama panik.

"Ya sudah, Papa telpon dokter Runi dulu." Papa keluar dari kamar.

Dokter Runi adalah dokter keluargaku dari zaman aku kecil.

"Ambilkan air hangat dan handuk kecil untuk mengompres!" titah Mama.

"Semoga saja dokter Runi bisa ke sini. Mana hujan lagi." Mama bergumam sendiri.

Kutinggalkan mama yang masih mengoceh untuk mengambil apa yang diperintahkannya.

Sejam kemudian.

Terlihat panik di wajah Papa kerana Dr yang di minta tidak bisa datang kerana hujan diluar terlalu parah lebatnya.

"Dokter Runi tidak bisa datang, hujan sangat deras, tapi dia menyarankan untuk mengompres dan membalurkan minyak kayu putih ke beberapa bagian tubuhnya."

"Nanti kalau dia sudah sadar maka segera kasih teh manis dan obat penurun demam." Papa mulai sarankan.

"Ya... pa." Aku mendengar ucapan papa saat kembali masuk ke kamar setelah mengambil air hangat dan handuk.

"Kamu lihat, kan, akibat perbuatanmu!! Apa kamu puas melihat isteri mu begini?!" Lagi.. Mama menatapku berang.

"Sudah, Ma... sudah. Sekarang bukan waktu yang tepat untuk berdebat dan saling menyalahkan," tegur papa.

"Sini biar mama yang buatin, kamu itu tidak punya perasaan sama sekali!" Mama mengambil handuk kecil dari tanganku dengan kasar, kemudian merendamkan ke dalam mangkuk berisi air hangat yang sudah kuletakkan di atas nakas di samping tempat tidur.

Mama perlahan-lahan meletakkannya di kening menantunya.

"Sayang, bangun yuk." Mama mengusap pipinya dengan lembut.

Sangat jelas sekali kekhawatiran dari raut wajah mama saat menatap wajahnya.

"Lepaskan jilbabnya agar dia merasa nyaman, Danang." ucap papa sembari keluar dari kamar.

"Jangan lupa perhatikan kompresnya!" sambung mama, kemudian beliau menyusul papa.

"A...apa?" Tunggu...

Apa maksudnya ini? Apa mereka menyuruh aku yang merawat dia?

Kenapa mereka meninggalkan aku berdua dengannya?

"Ma...."

"Jangan membantah! Lakukan saja! Kamu harus bertanggung jawab, karena Yulia pingsan akibat perbuatanmu," potong mama tanpa menoleh. Tak lupa dia menutup pintu.

Sudah sekian menit berlalu, tapi dia masih belum sadar. Kuraba keningnya, masih terasa panas.

"Lepaskan jilbabnya agar dia merasa nyaman." Ucapan papa kembali terngiang di telingaku.

Apa aku harus mengikuti perintah papa? Apa jika aku membuka jilbabnya dia bisa segera sadar? Aku rasa tak ada salahnya untuk mencoba.

Dadaku berdebar ketika tanganku meraih ikatan jilbab di bagian belakang kepalanya dengan gemetar.

Ada apa lagi dengan diriku?

Perlahan kubuka kain yang membungkus kepalanya.

Setelah kain itu terlepas dengan sempurna, kuperhatikan setiap inci wajahnya.

"Bodoh! Kenapa aku tidak bisa mengenalinya?"

"Kenapa aku tidak menyadari kalau Hanum itu adalah dia?" umpatku.

Jemariku terulur untuk mengusap pipinya. Dia terlihat sangat imut meski dengan mata yang masih terpejam.

Kenapa aku baru menyadarinya sekarang? Padahal sudah dua tahun dia menemaniku, hidup bersama di bawah atap yang sama.

"Cantik." Tanpa kusadari aku berdecak kagum melihatnya.

To Be Continue..

Halo masih ada yang menanti di Episode seterusnya ngak?

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience