"Hanum, ini kacamata milikmu?" tanyanya sambil memperhatikan kacamata yang berada di genggamannya.
"Oh? Iya, Mas, tadi aku sambil nunggu kamu aku baca-baca cerita di sebuah aplikasi, kalau kelamaan melototin hp mataku suka perih," kilahku.
Kuambil kaca mata itu dari tangan mas Danang lalu memasukkan ke dalam tas dan menggandeng mas Danang menuju sofa, dimana di sana ada kotak bekal bekal yang memang sengaja kupersiapkan dari rumah untuk makan malam.
"Kita makan malam dulu, Mas, aku lapar. Kamu belum makan, kan?" tanyaku sambil membuka penutupnya.
"Ini kamu yang masak?" tanyanya menatap satu persatu menu yang ada di dalam kotak nekalku.
Ada ayam bakar, sayur sup, juga nasi putih di dalamnya.
"Iya, Mas, karena menurutku sebagai perempuan harus pintar masak agar kelak suami betah di rumah." Sengaja aku bicara seperti itu agar dia teringat pada sosok Yulia yang memang lihai dalam mengolah makanan.
Mas Danang hanya mengangguk-anggukkan kepalanya, nampaknya pancinganku tidak mempan baginya.
"Ayo, Mas, makan." Kusodorkan sesendok nasi beserta lauk dan sayuran ke mulut mas Danang. Dengan senang hati dia menerimanya.
Sejenak dia tertegun sambil merasa-rasakan makanan yang ada dalam mulutnya.
"Kenapa, Mas? Nggak enak, ya?" tanyaku.
"Masakanmu terasa cocok di lidahku, seperti." Dia tak meneruskan ucapannya, apakah mungkin dia teringat pada rasa masakan yang setiap hari dimakannya?
"Seperti apa?" desakku.
"Seperti... makanan di restoran-restoran mahal," sangkalnya kemudian.
Mas-mas, ternyata kau sangat pintar membelokkan kata-kata. Aku yakin saat kau memakan makanan itu kau pasti teringat pada istrimu yang tak pernah kau anggap ada.
Mas Danang mengambil sendok dari tanganku, sekarang gantian dia yang menyuapiku.
"Makan yang banyak, biar cepat besar," guraunya.
Hal yang sama sekali tak pernah dia lakukan bersama Yulia. Jangankan untuk bergurau, berbincang saja dia enggan.
Aku membuka mulutku, menerima suapan dari mas Danang.
Setelah dua tahun menikah baru kali ini aku makan dari tangannya, itu pun bukan sebagai Yulia istrinya, tetapi sebagai Hanum selingkuhannya.
Ternyata sesak juga rasanya mengingat jika mas Danang melakukan itu bukan padaku, tapi pada wanita lain.
Kadang terlintas dalam benakku untuk mencari tahu bagaimana mas Danang ketika berada di luar rumah, seperti apa kehidupan yang dia jalani.
Tapi selama ini aku tak berani, tak siap jika nanti aku harus menelan pil yang lebih pahit lagi.
Jadi, aku lebih memilih untuk tidak mau tahu. Mungkin begitu lebih baik. Namun, sekarang aku ingin mengetahui tentangnya lebih jauh lagi.
"Mas, apa aku boleh bertanya?" tanyaku setelah kami menghabiskan bekal yang kubawa.
"Apa?" Mas Danang menggeser duduknya mendekat padaku dan membawa tubuhku bersandar di dadanya.
"Selain istrimu dan aku, apa masih ada wanita lain di luar sana?" tanyaku to the poin.
Mas Danang terdiam, membuat rasa penasaranku kian membuncah.
"Mas?" Kutegakkan tubuhku dan menatap dalam pada wajahnya, menunggu jawaban yang akan keluar dari mulutnya.
Wajah mas Danang berubah serius.
"Sebenarnya aku tak menginginkan pernikahan itu, pernikahan itu tak ubahnya bagaikan bencana untukku, itu semua terjadi karena kesalahan, dan demi menjaga nama baik keluargaku maka aku yang dikorbankan, aku sama sekali tidak mencintai dia."
Perih... rasanya hatiku seperti dicukai setelah dilukai.
Ternyata mas Danang menganggapku tak lebih dari sebuah musibah, bahkan menyebut namaku saja enggan dia lakukan.
"Kalau kamu tidak mencintainya, kenapa tidak diceraikan saja?" Dengan menahan suara bergetar aku bertanya.
"Tidak semudah itu, Hanum," lirihnya.
"Kenapa?" tanyaku ingin tahu alasannya untuk tidak menceraikanku.
Jika menikah denganku adalah sebuah kesalahan seharusnya melepaskanku adalah hal terbaik yang harusnya dia lakukan.
Bukannya mempertahankan tapi tak pernah menganggapku ada.
"Sudahlah, jangan bahas masalah itu lagi, aku menemuimu karena ingin terlepas dari kenyataan hidupku," sahutnya mencoba mengakhiri pembahasanku.
Dadaku terasa sesak bagaikan dihimpit batu besar, apa yang dikatakan mas Danang tentangku teramat menyakitkan.
"Satu lagi, apa selain aku ada wanita lain yang kau kunjungi? Mungkin aku bisa menerima untuk menjadi yang kedua bagimu, tapi aku tak bisa menerima jika ada orang lain lagi."
Mas Danang meraih tanganku dan menggenggamnya.
"Tidak ada," sahutnya mantap.
"Serius?" tanyaku memastikan, yang dijawab dengan anggukan oleh mas Danang.
Meski tak yakin sepenuhnya, tapi aku mencoba untuk percaya.
"Kita jalan-jalan, yuk, nyari angin," ajak mas Danang.
Aku menggeleng pelan.
"Sepertinya tidak sekarang, Mas," tolakku halus, karena semua terkendala dengan pakaian yang kukenakkan.
Sebenarnya aku juga sangat ingin keluar jalan-jalan bersama mas Danang, melihat hamparan langit malam di bawah hamparan bulan dan ribuan bintang berdua mungkin akan lebih romantis daripada terkurung di dalam kamar hotel ini.
"Ya sudah, mungkin lain kali," ucapnya kemudian.
Mas Danang beringsut lalu merebahkan kepalanya di pahaku. "Aku lelah, izinkan aku istirahat di pangkuanmu," ucapnya seraya memejamkan mata.
Aku membelai rambutnya yang tebal. Rasa sedih dan bahagia berbaur menjadi satu.
Aku bahagia karena bisa sedekat ini dengan mas Danang, menyentuhnya, membelainya, merasakan hangat tubuhnya dan mendengar hembusan napasnya.
Namun, aku sedih karena aku menikmati itu bukan sebagai Yulia, tapi sebagai Hanum, tapi biarlah, yang penting aku bisa merasakan bagaimana berdekatan secara langsung dengan mas Danang.
Dan menghirup aroma tubuhnya sepuasku, yang selama ini hanya bisa kunikmati dari bekas pakaian yang dia pakai sebelum aku mencucinya.
Perlahan aku membuka mata, tubuhku terasa sangat gerah sekali, dan betapa terkejutnya aku setelah kesadaran menghampiriku sepenuhnya.
Mataku membulat sempurna saat mendapati ternyata aku tidur dalam dekapan mas Danang di ranjang.
Kembali ku pejamkan mata, mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi tadi malam.
Seingatku semalam mas Danang tidur di pangkuanku, dan setelah itu aku tak ingat apa-apa lagi, apa aku juga ikut tertidur?
Lalu...? Bergegas kusibak selimut yang membungkus tubuhku dan aku bersyukur saat melihat pakaianku masih melekat dengan sempurna. Bagaimana pun aku tak ingin mas Danang melakukan 'hal itu' padaku sebagai Hanum.
"Ya Tuhan, ternyata sudah pagi." Kulihat jam yang melingkar di pergelangan tanganku sudah menunjukkan angka enam dan itu artinya aku harus segera pulang.
"Hanum, kamu sudah bangun?" Suara mas Danang menghentikan gerakku saat aku hendak turun dari ranjang.
"Sudah, Mas," sahutku sambil merapikan rambutku yang tergerai.
"Semalam kamu ketiduran, aku tak tega membangunkan, makanya langsung saja kupindahkan," jelasnya.
"Oh, terima kasih."
Aku merutuki kebodohanku, bisa-bisanya aku tertidur nyenyak hingga bangun kesiangan seperti ini, kalau begini ceritanya bisa-bisa mas Danang lebih dahulu sampai di rumah nanti, karena tak mungkin aku pulang dengan pakaian seperti ini, untuk mengganti dengan gamis pun lebih tak mungkin lagi.
Tak ada pilihan lain, terpaksa aku menunggu hingga mas Danang pergi.
Bergegas aku ke kamar mandi untuk memastikan makeup yang kupakai masih melekat dengan sempurna, jangan sampai gara-gara ini penyamaranku sampai terbuka. Sungguh ceroboh.
Tak henti-hentinya aku merutuki kecerobohanku sendiri.
Beruntung makeup yang kupakai dari merek ternama, jadi tidak luntur walaupun dipakai tidur.
"Hanum, aku harus pulang sekarang," ucap mas Danang sembari merapikan pakaiannya.
Dalam hati aku bersyukur karena itulah yang kutunggu-tunggu.
Aku tak perlu pusing-pusing mencari alasan agar mas Danang cepat-cepat pergi dari sini.
"Iya, Mas, aku juga mau pulang," sahutku.
"Kebetulan, biar sekalian kuantar."
"Tidak usah, Mas, sebelum pulang aku juga mau mampir ke salon, mungkin agak lama, soalnya mau perawatan." Semoga mas Danang percaya dengan ucapku agar dia tidak kekeuh mau mengantarku pulang.
"Ya sudah, hati-hati, nanti kabari aku, ya," pesannya.
Sebelum pergi tak lupa mas Danang mendaratkan sebuah kecupan manis di keningku.
"Terima kasih karena sudah menemaniku," ucapnya.
Kemudian dia melangkah menjauh dan menghilang di balik pintu.
Setelah kepergian mas Danang, bergegas aku menghapus makeup dari wajahku dan mengganti kembali pakaianku. Lalu buru-buru meninggalkan hotel.
Ternyata dugaanku benar, ketika aku sampai di rumah mobil mas Danang sudah terparkir di garasi.
Rasa gugup, cemas dan takut seketika menghampiriku, apa yang akan kukatakan nanti jika mas Danang menanyaiku karena ketika dia pulang dia mendapati rumah dalam keadaan kosong?
To Be Continue
Share this novel