Episode 02: Meskipun Hanum Adalah Aku

Romance Series 4292

Benar saja, mas Danang yang datang, matanya tak berkedip ketika melihatku berdiri di hadapannya.

Semoga saja dia tidak menyadari kalau wanita yang sedang berhadapan dengannya saat ini adalah istrinya yang menjelma menjadi seorang pelakor.

"Hai, Mas," sapaku sembari menyunguhkan senyuman semanis mungkin.

"Hai, Ha-Hanum," sahutnya sedikit gugup.

Entah apa yang membuat suaranya bergetar. Apa jangan-jangan dia menyadari kalau Hanum adalah Yulia?

Jangan sampai..

"Ayo masuk, Mas." Aku menyingkir dari pintu agar mas Danang bisa masuk.

Dia mengangguk samar dan melewatiku.

Aroma parfum khas wangi tubuhnya seketika semerbak menusuk indera penciumanku.

Setelah menutup pintu, kuhampiri mas Danang yang sudah duduk di sofa dan duduk di sampingnya.

"Sepertinya wajahmu tak asing," ujarnya. Dia menatap lekat wajahku.

"Aku sudah katakan, beberapa kali kita pernah bertemu di pesta, bahkan kita juga pernah bertemu di club, hanya saja kamu tak pernah menyadarinya."

"Padahal aku selalu memperhatikanmu," sahutku dengan ekspresi seperti orang yang sedang kecewa.

Aku bisa menjadikan itu sebagai alasan karena aku tahu mas Danang sering nongkrong di club bersama teman-temannya untuk menghabiskan malam.

Begitulah, selama ini dia selalu membiarkanku kesepian sendirian di rumah, meski pernikahan ini juga bukan keinginanku.

Tapi aku tetap menginginkan untuk menjadi seorang istri yang seutuhnya, tapi sayang mas Danang tak pernah memberi kesempatan walau sekedar untuk saling mengenal.

Sebenarnya wajar, mungkin dia merasa tertekan dan malu karena terpaksa untuk menikahi office girl di perusahaannya sendiri.

"Oh, ya? Kenapa kau tak menghampiriku?" tanyanya sambil membuka jas kerja yang membalut tubuhnya dan hanya menyisakan kemeja berwarna maroon yang kusiapkan tadi pagi.

Mas Danang memang tak pernah menganggapku sebagai seorang istri.

Tapi aku selalu mengerjakan kewajibanku setiap harinya, membuat peranku lebih mengarah seperti seorang pembantu.

"Aku takut diabaikan." Kuraih segelas minuman dari atas meja yang sudah kupesan, sebelum mas Danang datang dan memberikan padanya.

Mas Danang menggeser duduknya mendekat padaku.

"Kenapa kamu mengajakku ketemuan di hotel, hum?" tanyanya menatap dalam pada manikku.

Perlakuan mas Danang membuat dadaku bertabuh hebat, selama ini kami belum pernah berada dalam posisi sedekat ini.

Tatapan matanya yang tajam seakan menusuk langsung ke manikku dan menancap di hati.

"Karena aku hanya ingin berdua denganmu, tanpa ada orang lain," sahutku menekan kegugupan.

Mana mungkin aku mengajaknya ketemuan di luar, dengan penampilan seperti ini.

Dosalah!

Setelah itu kami menghabiskan malam dengan saling bercerita dan tertawa bersama.

Mas Danang tertawa lepas, tawa yang selama ini belum pernah kulihat.

Aku yakin, sepertinya mas Danang hanya dingin pada aku--Yulia--istrinya saja, tapi tetap hangat pada orang lain.

Mungkin karena perbedaan kasta kami yang sangat mencolok.

"Mas, apa istrimu tidak menunggu?" sindirku saat sudah lewat tengah malam.

Seketika wajah mas Danang langsung berubah, keceriaan di wajahnya langsung sirna mendengar pertanyaanku.

"Kenapa? Apa kau sudah bosan atau..."

Dengan memberanikan diri aku meluk tubuhnya sehingga ucapannya terhenti.

"Mana mungkin aku bosan, kalau bisa aku ingin setiap saat seperti ini denganmu." Kuhirup dalam-dalam aroma khas tubuh mas Danang.

Hal yang tak pernah kulalukan sebagai Yulia.

Dia membalas pelukanku, satu tangannya melingkar erat di pinggang kecilku dan satunya lagi meraih daguku agar mendongak menatap wajahnya.

Pandangan kami bertemu, jemari mas Danang bermain-main di bibirku yang kupolesi dengan lipstik berwarna peach, kemudian beranjak ke leherku.

Matanya menatap sayu seakan menginginkan sesuatu. Perlahan mas Danang mendekatkan wajahnya padaku, hembusan napasnya terasa hangat menerpa wajahku.

Semakin lama semakin dekat hingga akhirnya bingkai kami menyatu. Aku terhanyut dalam permainan mas Danang.

Rasa takut dan senang berbaur menjadi satu, bagaimana pun aku belum siap jika mas Danang melakukan hal yang lebih padaku saat ini.

Mas Danang semakin liar, sehingga aku melepaskan diri darinya.

"Kenapa?" tanyanya bingung.

"Ma-maaf mas, a-aku ...," ucapku terbata-bata.

"Aku mengerti." Laki-laki berkulit putih itu mengusap wajahnya sambil menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa.

Aku menatap mas Danang lamat-lamat, apa mungkin selama ini dia menyalurkan has-ratnya di luar?

Karena mustahil rasanya seorang laki-laki yang sudah menikah tidak punya keinginan untuk menyalurkan has-rat biologisnya.

Baiklah, jika memang itu terjadi, mulai sekarang kupastikan dia akan berhenti melakukan hal itu, cukup aku Hanum yang menjadi pelariannya dari Yulia.

Setidaknya kalaupun kami sampai melakukan 'hal itu' tidak akan berdosa, dan semoga Tuhan bisa memaklumiku.

Setelah beberapa saat mas Danang memperbaiki duduknya.

"Tapi aku mohon, untuk malam ini temani aku tidur. Aku berjanji tak akan melewati batas. Aku sangat lelah hari ini," pintanya.

Aku tersenyum miris.

"Seharusnya jika kau lelah kau mencari istrimu, Mas, karena dia adalah tempat pulangmu, bukannya mencari persinggahan di luar!" makiku dalam hati.

"Aku mohon," ucapnya dengan tatapan memohon.

"Baiklah, tapi ingat aku hanya menemanimu tidur, kalau sampai kau melewati batas maka aku tidak akan mau lagi mengenalmu," ancamku.

Mas Danang tersenyum, seulas senyum mengembang di bibir tipisnya.

Malam semakin larut, mas Danang sudah terlelap dalam tidurnya dengan membenamkan kepalanya di ceruk leherku.

Seandainya peranku sekarang bukan Hanum, tapi Yulia, mungkin aku akan sangat bahagia, bisa tidur dalam pelukan suamiku.

Hingga subuh menjelang aku masih terjaga, sengaja aku tidak tidur karena aku harus pulang sebelum mas Danang bangun.

Suara lantunan ayat suci Alquran sudah menggema menyambut subuh dari mesjid-mesjid terdekat.

Pelan-pelan kusingkirkan tangan mas Danang yang melingkar di pinggangku, kemudian bergegas.

Aku berkemas sebelum mas Danang bangun, mengganti mini dress-ku dengan gamis dan mengenakkan kembali jilbabku.

Tak lupa kutinggalkan selembar kertas di atas bantalku.

"Maaf, Mas, aku harus pergi sebelum kamu bangun, karena ada urusan." Begitulah pesan yang kutinggalkan untuknya.

Setibanya di rumah, cepat-cepat aku mandi dan melaksanakan shalat subuh, kemudian melanjutkan aktivitas rutinku di dapur untuk menyiapkan sarapan.

Biasanya jika mas Danang tidak pulang, maka pagi-pagi sekali dia akan pulang.

Benar saja, saat sarapan pagi baru saja terhidang, deru mobil mas Danang sudah terdengar berhenti di halaman.

Bergegas aku mencuci tanganku dan membukakan pintu untuk mas Danang.

Wajah mas Danang datar melihatku, tanpa mengucapkan salam dia berjalan melewatiku.

"Mau mandi atau sarapan dulu, Mas?" tanyaku sambil mengemasi sepatu mas Danang ke rak.

Tak ada sahutan, dingin, kaku dan beku, berbeda sekali dengan sosoknya ketika bersama Hanum.

Langkah mas Danang lurus ke kamarnya, ya kamarnya, karena dari awal kami memang tidur di kamar yang terpisah, dan itu adalah keinginannya.

Aku menatap punggung mas Danang yang semakin menjauh dan menghilang di balik pintu.

Kami tak ubahnya seperti orang asing yang tinggal seatap. Bersama tapi tak saling sapa.

Setelah menutup makanan yang terhidang, akupun lebih memilih untuk masuk ke kamarku, berencana untuk tidur sejenak, karena semalaman mataku tak pernah terpejam.

Gawai yang kuletakkan di atas nakas menyala, aku yakin pasti mas Danang yang tengah menghubungiku.

Lebih tepatnya menghubungi Hanum, karena gawai itu memang kukhususkan hanya untuk penyamaranku.

[Kenapa kamu pergi tanpa membangunkanku? Padahal aku ingin sekali menatap wajahmu saat aku terbangun.] Ternyata dia sereceh itu.

Meski Hanum adalah aku, tapi tetap saja hatiku merasa teriris ketika membaca pesan dari mas Danang.

"Kamu sudah menatap wajahnya, Mas, tapi sayang kau tak mengenalinya," lirihku sambil meletakkan gawai itu kembali tanpa berniat untuk membalasnya.

Kubaringkan tubuhku di atas kasur berukuran besar ini sambil menatap langit-langit kamar dengan lampu kristal berukuran sedang yang tergantung di tengah-tengahnya.

Kasur yang memang sudah tersedia ketika aku menginjakkan kaki di rumah mewah ini dua tahun yang lalu.

Meski pernikahanku terjadi kerena sebuah kecelakaan yang seharusnya tidak terjadi, tapi tetap saja orang-orang menyebutku sebagai wanita yang beruntung.

Karena bisa menikah dengan laki-laki kaya dengan jabatan direktur. Namun, mereka tidak tahu betapa tersiksanya aku.

Semenjak menikah, tak sekali pun mas Danang menatap wajahku, walaupun harus terpaksa bicara denganku.

Dia lebih memilih membuang pandangannya ke arah lain. Tidak, kami tidak bicara.

Lebih tepatnya hanya dia yang bicara kerena sebelum aku sempat menjawab dia sudah terlebih dahulu pergi.

Meski begitu, satu yang kusalutkan darinya, dia tak pernah perhitungan masalah uang, tapi apalah artinya... aku bagaikan burung yang hidup dalam sangkar emas, aku memiliki segalanya tapi aku tak bahagia.

Getaran gawai di atas nakas yang seakan tak berjeda mengusikku, membuat mata semakin enggan untuk terpejam.

Dengan malas aku bangkit dan meraihnya. Rentetan pesan dari mas Danang tertera di sana.

"Apa kamu sudah terpikat dengan sosok Hanum, mas?" gumamku. Tertawa ironis.

Seandainya kau memberiku kesempatan, tentu aku ini tak harus terjadi.

Selama ini jangankan untuk menyentuhmu, untuk menatapmu saja hanya berani kulakukan dengan diam-diam.

Beranjak ke meja hias dan duduk mematut diri di sana. Kulepas kaca mata minus yang selama ini bertengger di hidungku untuk membantuku melihat dengan jelas, pun hijab lebar yang tak pernah lepas dari kepalaku.

Bukan, bukan tak pernah lepas, ketika awal pernikahan aku pernah melepas jilbabku di rumah ini, kebetulan kami hanya tinggal berdua saja.

Jadi ketika itu aku merasa tidak sungkan, karena mas Danang adalah suamiku.

"Apa kamu pikir dengan melepas jilbabmu bisa mengubah perasaanku terhadapmu? Bangunlah segera, karena itu adalah sebuah kemustahilan semata!"

Hatiku bagaikan terkoyak-koyak mendengar ucapan tajamnya, tak ubahnya seperti belati yang sengaja dia tancapkan di hatiku.

Sakit... aku terluka, tapi tak berdarah. Dan semenjak itulah, aku tak pernah lagi melepaskan jilbabku.

Kuraih paper bag berisi pakaian dan peralatan make up yang kugunakan semalam.

Miris, mas Danang lebih menyukaiku dalam sosok orang lain.

Belajar tutorial dari YouTube ternyata mampu membuat mas Danang pangling, dan tak sadar kalau wanita yang bersamanya semalam adalah wanita yang dia abaikan.

Wajar jika dia tidak mengenaliku, karena memang tak pernah sedikitpun dia memperhatikanku.

Kembali gawaiku bergetar, tapi dengan durasi yang lama, sepertinya bukan lagi pesan masuk, melainkan sebuah panggilan.

"Mas Danang? Semudah itukah kau terpikat?" gumamku.

Kuusap tombol hijau di layarnya dan mendekatkan benda itu ke telingaku.

"Iya, Mas?" sapaku manja.

"Kenapa pesanku hanya di-read?"

"Maaf, Mas, tadi aku lagi sibuk." Lebih tepatnya sibuk menata hati dan perasaan yang selama ini kau hancurkan.

"Kapan kita bisa bertemu lagi?" tanyanya.

"Nanti akan kukabarkan kembali."

"Hanum, entah kenapa aku bisa langsung nyaman denganmu, setelah perpisahanku dengan mantan kekasihku dua tahun lalu."

"Aku belum pernah senyaman ini dengan wanita." Mas Danang berkisah.

Aku yakin mantan kekasih yang dimaksudnya adalah mbak Kanaya.

"Tak ada wanita yang mampu membuatku nyaman seperti saat sedang berada dalam pelukanmu."

"Itu karena aku memelukmu dengan hati, mas, dengan cinta," batinku.

"Bahkan... bahkan dari istriku sekalipun."

Sumpah demi apa, rasanya ingin kumaki dia dan mengeluarkan sumpah serapah untuknya.

Bagaimana mungkin kau bisa bicara seperti itu, sedangkan kau tak pernah memberi kesempatan pada istrimu.

Jangankan untuk memeluk, melihatnya saja kau seolah-olah jijik.

"Hanum?"

"Iya, Mas?"

"Kenapa kamu diam?"

"Oh? Tidak aku hanya tersanjung mendengar penuturanmu."

"Aku bahagia, ternyata selama ini aku mengagumimu diam-diam membuahkan hasil."

"Sedikit menyesal karena baru berani mendekatimu sekarang."

"Kenapa kau tak mendekatiku dari dulu?"

"Aku takut diabaikan."

"Hanum... bagaimana mungkin aku bisa mengabaikanmu?"

Seandainya kau melihat sosok yang saat ini sedang bicara denganmu, apakah kau bisa berkata semanis ini?

"Ya sudah, Mas, aku masih ada sedikit urusan lagi. Bye." Aku memutuskan panggilan sepihak sebelum mas Danang bicara kembali.

Tak sanggup rasanya hatiku mendengar kata-katanya yang semanis madu yang dia tujukan untuk Hanum.

Rasa kantukku hilang sudah, melebur entah kemana setelah mendengar rayuan mas Danang pada Hanum yang tak lain adalah sosok lain dari diriku Yulia istri sahnya.

Tak lupa kembali kukenakkan kaca mataku agar aku bisa melihat dengan jelas, begitu juga dengan jilbabku.

Aku tak ingin mendapat nyinyiran dari mas Danang jika dia melihat aku tak memakai jilbab.

Bisa-bisa harga diriku semakin tak ada di matanya karena dia akan berpikir kalau aku sengaja melakukan itu untuk menarik perhatiannya.

Meninggalkan kamar, aku beranjak menuju teras belakang. Sepertinya di sana akan membuat perasaanku lebih tenang, sambil menatap ragam mawar yang selama ini kutanam dan kuurus untuk menyibukkan diri.

Mawar putih... lambang cinta yang suci, sesuci cintaku pada mas Danang, meskipun kami menikah tanpa cinta, tapi tak sulit untukku belajar mencintainya.

Tidak seperti dia. Kadang ingin kumenyerah dan mengakhiri pernikahan gila ini, tapi aku tak ingin mencoreng nama baik keluargaku, karena bagi orang kampung seperti kami status janda cerai merupakan aib.

Biarlah, mungkin memang lebih baik aku bertahan, meski harus menahan perih luka yang digoreskan mas Danang setiap saat, dan entah kapan luka itu akan terobati.

Kunikmati hembusan angin menerpa wajahku, menghirup udara segar sebanyak-banyaknya untuk menyejukkan hati yang terbakar.

Melihat mas Danang begitu mesra dengan Hanum saja sudah membuatku terbakar cemburu, apalagi kalau melihat dia melakukan itu dengan wanita lain.

Tuhan... jika cinta ini hanya datang padaku, aku mohon hilangkanlah, karena engkaulah sang maha membolak balikkan hati.

Keadaan ini membuatku berperang dengan diri sendiri, satu sisi aku merasa lelah dan ingin menyerah, tapi di sisi lainnya aku ingin untuk tetap bertahan dan selalu berdoa agar suatu saat nanti pintu hati mas Danang akan terketuk.

Namun, entah kapan....

Aku tersadar saat gawai dalam genggamanku bergetar, mataku membulat ketika menyadari ternyata aku membawa gawai untuk penyamaranku sebagi Hanum.

Nama mas Danang kembali tertera di sana, untuk apa lagi dia menelpon, apa segitu rindunya dia pada Hanum si wanita seksi sang penggoda?

Gawai itu terus saja bergetar, tanpa ragu kuusap layarnya, tapi nahas, di saat yang bersamaan mas Danang muncul dari balik pintu yang hanya beberapa meter dari tempatku berdiri.

To Be Continue

Share this novel

Guest User
 

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience