Dia sudah ada di depan mata. Melihatnya dalam versi Yulia tanpa penutup kepala, gamis dan kacamata tebal yang selama ini menghalangi wajahnya membuatku tertegun--membisu.
Mataku menatapnya tanpa kedip. Tak percaya aku dengan apa yang tersaji di hadapanku.
Ternyata dia... sangat... ca... ca... cantik, cahaya lampunya membuat mataku silau. Ya, lampu itu begitu terang, membuat perih di mataku.
Selangkah lagi aku mendekat.
"Kenapa kau pergi?" Kalimat itu tiba-tiba saja menyembur dari mulutku.
"Tak ada alasan untukku tetap bertahan," sahutnya tanpa menoleh.
"Apa kau tidak takut berdosa? Keluar dari rumah tanpa seizin suami?"
Siyal!
Ucapan macam apa ini? Suami? Ingin rasanya aku menghilang, teleportasi ke tempat lain dan tidak ingin kembali lagi setelah mengucapkan kalimat memalukan itu.
Dasar lidah tak bertulang. Umpatku.
"Sejak kapan?" tanyanya.
Aku mendengar suaranya mulai bergetar. Da-sar ceng-eng.
Jangan sampai dia menangis, kalau mama tahu bisa-bisa aku diten-da-ng dari rumah ini.
"Sejak kapan? Apa maksudmu?"
"Sejak kapan kau perduli? Aku ada ataupun tidak, bukannya itu tidak berpengaruh padamu?"
"Bukankah seharusnya kau bisa tenang setelah kepergianku?"
"Karena aku adalah bencana bagimu." Sial... berani-beraninya dia membalikkan ucapanku selama ini.
Namun, aku harus bersabar menghadapinya.
"Pulanglah!"
"Tak ada alasan untukku kembali!"
"Aku adalah suamimu!"
Ya Tuhan... kenapa harus kalimat itu yang keluar dari mulutku.
Ini sudah yang kedua kalinya aku menyebut diriku sebagai suami di dekatnya dalam kesempatan yang sama.
"Lebih tepatnya hanya suami di atas kertas."
Emosiku mulai terpancing.
Aku tidak suka dibantah.
"Kenapa kau begitu keras kepala?"
"Kamu yang membuatnya menjadi keras. Karena selama ini kelembutan dan kesabaranku tak pernah kau hargai!"
Ya, untuk yang ini memang aku akui. Selama dua tahun terikat dalam ikatan pernikahan dan tinggal serumah.
Aku memang tak pernah sedikit pun menganggapnya ada, apalagi menghargainya.
Dia, ada, tapi tiada bagiku. Namun, setelah dia benar-benar tak ada, tak bisa untuk kupungkiri, rasanya ada yang kurang dalam hidupku.
Rumah terasa sangat sepi, tak ada aroma masakan dan kepulan asap kopi yang menyambutku di pagi hari.
"Kasihan alat-alat memasakmu sekarang sudah tidak terpakai." Aku menertawakan diriku sendiri. Alasan konyol macam apa ini?
"Kau tinggal cari pembantu atau istri baru!"
Ternyata dia benar-benar sudah berubah, padahal baru beberapa hari tidak bertemu.
Atau.. apa semua ini memang kesalahanku?
Sepertinya aku butuh kesabaran ekstra untuk menghadapinya. Bagaimana pun aku harus kembali membawanya ke rumahku, demi misiku.
Aku melangkah semakin mendekat padanya. Berdiri bersisian sambil melayangkan pandangan ke tempat yang sama hamparan langit malam nan suram tanpa satu bintang pun di sana.
Aku menatap wajahnya dari samping. Ada genangan di sudut matanya yang siap untuk mengalir.
Ya Tuhan... kenapa hati ini terasa nyeri melihatnya?
"Usap air matanya! Rangkul dia! Tenangkan dia!" Hati kecilku berbisik.
"Jangan bodoh! Itu sama saja merendahkan harga dirimu di hadapannya!"
"Ingat, dia bukan siapa-siapa dan jangan pernah pakai perasaan padanya!" Pikiran seakan melarangku.
Lama kami sama-sama terdiam, hingga telingaku mendengar isakan yang terdengar lirih, kembali kualihkan pandanganku padanya, bahunya bergetar, genangan tadi sudah mengalir di pipinya.
Dua sisi dalam diriku semakin bersiteru.
Ada apa dengan hatiku? Ada yang sakit ketika melihat air mata itu keluar dari telaganya.
To Be Continue..
Share this novel