"Kamu?"Dengan geram mas Danang mengacungkan jari telunjuk kirinya tepat di depan wajahku.
Matanya memerah menyiratkan amarah.
Dia melangkah maju, mendekat padaku dan berhenti selangkah di depanku.
Tangannya terulur untuk meraih kedua bahuku dan mencengkeramnya erat.
"Beraninya kau mempermainkanku?" geramnya.
"Kenapa? Apa kau begitu menginginkanku?" tanyanya dengan pandangan merendahkan.
"Lepaskan, mas!" Aku meringis menahan sakit di bahuku.
Kuku-kukunya yang tajam terasa menembus baju yang kukenakkan dan menusuk ke kulitku.
"Sakit? Itu belum seberapa. Itu akibatnya karena kau sudah nekad mempermainkanku."
Dengan kasar mas Danang melepaskan cengkeramannya membuatku sedikit oleng karena hilang keseimbangan, beruntung aku masih bisa mengendalikan tubuhku agar tidak terjerembab di lantai.
Kuusap bahuku yang terasa perih dan panas.
Mas Danang kembali mendekat, dia meraih tanganku dan menyeretku menuju ranjang.
"Mas apa-apaan kamu?! Lepaskan!" Aku memberontak, berusaha untuk melepaskan diri dari mas Danang yang seperti kesetanan.
"Ini bukan yang kamu harapkan?" Dengan sekali sentakan dia mendorong tubuhku hingga aku terpelanting di atas ranjang.
Mas Danang menyeringai membuatku bergidik ngeri, kemudian ikut naik ke tempat tidur.
Bergegas aku duduk dan beringsut mundur hingga tubuhku membentur dinding.
"Kenapa, hum? Apa kau takut?" Mas Danang semakin mendekat, tangannya beralih mencengkram daguku dan memaksa agar aku melihat padanya.
Aku menggeleng, peluh mulai menyembur dari setiap pori-poriku, sepertinya mas Danang sedang marah besar.
Mas Danang mengikis jarak antara kami, matanya fokus tertuju pada bibirku yang bergetar hebat karena takut.
"Hanum... sungguh drama yang sangat apik."
"Kenapa kau tak pernah berhenti membuat masalah, hah?!" ucap mas Danang penuh tekanan.
"Dan bodohnya aku, mau-maunya menjadi wayangmu."
"Katakan apa tujuanmu menciptakan skenario sedemikian rupa?"
"Oh, aku tahu, kamu ingin ini, kan?" Mas Danang melumat bibir Yulia dengan rakus.
Aku memukul-mukul dadanya agar dia melepaskanku.
Memang sebagai istri tak jarang aku merindukan sentuhannya, tapi juga tidak seperti ini caranya.
Seakan tak memperdulikan aku yang memberontak, mas Danang semakin brutal dan kasar.
Tak tahan lagi dengan perbuatannya yang terkesan melecehkanku, aku menggigit bibirnya, hingga akhirnya dia melepaskan tautannya.
Rasa amis darah merebak di mulutku.
Mas Danang mengusap darah segar di bibirnya.
Plaaak....
Seakan belum puas kulayangkan tamparan di pipinya.
Saking kuatnya aku menampar sampai-sampai telapak tanganku terasa panas.
Mas Danang memegang pipinya yang memerah. Gambar tanganku tercetak jelas di pipinya yang putih.
Dia menatapku bengis dengan satu tangan terangkat, membuatku memejamkan mata menanti balasan tamparan yang akan kuterima.
Setelah memejam beberapa saat, tapi aku tak kunjung merasakan apapun.
Aku merasa kasur bergoyang, pelan-pelan aku membuka mata, ternyata mas Danang sudah turun dan melangkah menuju pintu.
Aku mengusap dadaku, menormalkan debaran hebat di dalam sana.
"Permainan sudah usai. Berakhir dengan cara yang tak terduga," lirihku.
Kusentuh bibirku yang masih terasa perih karena kebrutalan mas Danang, dia sudah mengambilnya, tapi dengan cara yang tak kuinginkan.
To Be Continue..
Share this novel