Episode 09: Kenapa Seperti nya Dia...

Romance Series 4292

"Itu hukuman untuk kalian! Jangan harap kalian bisa keluar jika kalian masih belum menyempurnakan pernikahan kalian," teriak mama Arum dari luar.

Aku dan mas Danang tersungkur di lantai. Tanpa menghiraukan aku, bergegas mas Danang kembali berdiri dan mengetuk-ngetuk pintu.

"Ma... buka, Ma. Jangan kekanak-kanakkan seperti ini," ucapnya setengah berteriak.

"Kamu yang kekanak-kanakkan. Punya istri kok dianggurin."

"Jangan-jangan apa yang dikatakan papamu memang benar," sahut mama Arum dari balik pintu.

"Ma... buka!" Mas Danang memutar-mutar handel pintu dengan gusar, tapi usahanya hanya sia-sia.

Tak ada lagi sahutan dari luar. Mungkin mama Arum sudah pergi, entah itu ke kamarnya atau mengurus piring makan malam yang masih berantakan di dapur.

"Aarrgghh..," Jerit mas Danang frustasi sembari menjambak rambutnya.

Aku berusaha berdiri, menahan rasa sakit di bokongku akibat dorongan mama Arum.

"Jangan --"

"Jangan terlalu berharap!" Aku memotong ucapan mas Danang, karena aku sudah hapal betul apa yang akan dia katakan.

Ucapan itu seolah-olah sudah terpatri di dalam ingatanku saking seringnya kudengar.

Meninggalkan aku yang masih terpaku, mas Danang berjalan menuju sofa berukuran sedang yang terletak di dekat pintu, lalu menghempaskan tubuhnya di sana.

Dari gestur tubuhnya jelas sekali terlihat kalau dia sedang kesal.

Tak menghiraukan mas Danang aku pun melangkah menuju ranjang, menumpuk bantal di kepala ranjang dan menyandarkan diriku di sana.

Diam-diam aku mencuri-curi pandang pada mas Danang. Wajahnya yang tampan tampak serius seperti tengah memikirkan sesuatu.

Aku yakin, dia sedang mencari cara untuk keluar dari ruangan ini.

Hening ....
Sunyi ....
Sepi ....

Hanya suara cicak yang terdengar saling bersahutan seolah menertawakan kami.

Dua orang anak manusia yang sudah resmi terikat dalam sebuah ikatan nan suci terjebak dalam satu ruangan, tapi serasa seperti orang asing yang tak saling mengenal. Ironis sekali bukan?

Di saat banyak pasangan yang berjuang melawan rindu karena terpisahkan jarak, mas Danang justru sengaja menciptakan jarak di antara kami.

Aku mendengar dengusan kasar keputus asaan yang dihembuskan mas Danang.

Mencoba untuk tidak perduli, dan sadar dengan keadaan yang sudah menjebak, aku tak mengeluarkan komentar apa-apa, juga tidak berusaha untuk meminta mama mertuaku berbaik hati untuk membukakan pintu, karena aku yakin beliau tak akan mungkin mau melakukannya.

Daripada pusing-pusing memikirkan cara untuk keluar, kuputuskan untuk segera istirahat.

Kuurai kembali tumpukan bantal penyangga punggungku dan berbaring menghadap ke dinding, dengan posisi membelakangi mas Danang.

Memancing rasa kantuk, kukeluarkan gawai dari kantong gamisku, ada untungnya juga tadi aku sempat mengambil benda berukuran pipih itu.

Selain agar tidak ketahuan oleh mama Arum, setidaknya juga bisa menjadi teman hingga kantuk menghampiri.

Saat tengah asik men-scroll layarnya turun naik, tiba-tiba ada notifikasi pesan masuk dari aplikasi hijau.

Mas Danang nama yang tertera di sana. Beruntung sudah kuatur mode silent, jadi benda itu tidak berbunyi ketika ada pemberitahuan.

@Mas Danang
[Lagi ngapain?]

Tanpa pikir panjang langsung kubalas.

@Hanum
[Lagi tiduran aja. Kamu?] Jawabku sejujurnya.

@Mas Danang
[Lagi kangen kamu.] Dengan emotikon peluk berjejer sepanjang gerbong kereta api.

Mas-mas, padahal orang yang kamu rindukan ada di depan matamu.

Aku semakin tergelitik untuk membalas pesannya.

Ku ubah posisiku menjadi terlentang, sepertinya akan menyenangkan jika berbalas pesan dengan seseorang sambil melihat ekspresinya.

@ Hanum
[Masa, sih? Aku juga kangen.]

Mas Danang tersenyum, dia tampak malu-malu, sembari menutupi lengkungan di bibirnya dengan telapak tangannya.

Lucu sekali dia.

@Mas Danang
[Serius?]

@Hanum
[Banget! Bahkan aku bisa menebak kamu sedang memakai baju apa sekarang.]

@Mas Danang
[Segitunya?]

@Hanum
[Kalau aku tebak ... sekarang kamu pasti lagi pakai tshirt warna navy dan celana hitam selutut]

Mas Danang menatap tubuhnya dengan takjub, sepertinya dia terheran-heran dengan tebakan Hanum yang tepat sasaran.

Aku tak dapat lagi menahan tawa melihat ekspresinya.

Ya jelas aku tahu tuan Danang... orang sekarang kita berada di satu ruangan yang sama.

Cemoohku.

Mas Danang berdehem, saat aku mengalihkan pandangan padanya ternyata dia sedang menatapku sengit.

Sepertinya dia terganggu karena cekikikan-ku.

Ternyata menyenangkan juga mengerjainya.

Kembali kuubah posisiku, kubelakangi lagi Mas Danang dan menenggelamkan diriku di dalam selimut.

Sepertinya dengan begini--menjadikan Mas Danang sebagai lelucon lebih baik daripada aku harus terpancing emosi olehnya, karena rasa berbeda darinya untuk dua sisi diriku.

@Mas Danang
[Boleh aku menelpon?]

Sedikit tersentak aku ketika membaca pesannya.

[Jangan sekarang, Mas. Aku udah ngantuk. Udah dulu, ya. Selamat malam] balasku.

Tanpa menunggu pesan balasan dari Mas Danang, kumatikan ponselku dan menyimpannya di bawah bantal.

Sepertinya untuk hari ini cukup sampai di sini dulu mempermainkan mas Danang.

Laki-laki angkuh, tapi ternyata begitu mudah kubohongi.

Menyesal juga karena aku baru punya keberanian sekarang untuk melakukan hal ini.

Seandainya saja... ah, aku tidak mau berandai-andai.

Perlahan kupejamkan mata yang semakin terasa berat.

Membaurkan diri dalam angan, hingga mimpi meyambut dan mendekapku hangat.

PoV Danang

Dari awal aku sudah curiga, Mama pasti punya rencana terselubung di balik kunjungannya ke rumahku.

Ini semua pasti gara-gara papa. Aku yakin mereka sudah membahas tentang hubunganku dengan office girl itu.

Ternyata tebakanku tidak meleset sedikitpun. Berbekal kemampuan aktingnya, mama membuatku terjebak dalam satu ruangan dengan dia.

Dia? Ya, wanita itu.

Dan yang membuatku tak kalah kesalnya adalah, dia sudah berani memotong ucapanku.

Ingin rasanya aku memperingatinya. Namun, dia beruntung, karena aku tak suka banyak bicara dengannya, jadi setidaknya itu bisa menyelamatkannya.

Rasa kesal, marah, gusar, muak berkecamuk di dadaku.

"Itu hukuman untuk kalian! Jangan harap kalian bisa, keluar jika kalian masih belum menyempurnakan pernikahan kalian," teriakan mama dari luar membuat perutku mual dan ingin muntah.

Membayangkannya saja aku tak mau, apalagi melakukannya. Kasihan keturunanku nanti jika terlahir dari seorang office girl, dia bukan bibit unggul.

Berbeda denganku, dia tampak santai saja berbaring di kasur.

Apa jangan-jangan dia juga menginginkan sentuhanku?

Atau jangan-jangan dia ikut bersekongkol dengan orang tuaku agar.. tidak!

Aku tak akan membiarkan rencana mereka berjalan. Jika itu terjadi, satu-satunya orang yang paling merugi adalah aku.

Menikah dengannya saja sudah seperti bencana bagiku, apalagi kalau sampai punya anak.

Mau ditaruh dimana wajahku?

Beruntung aku punya Hanum. Dia memang selalu bisa mendamaikan hatiku.

Seperti tetesan air hujan yang meredakan kobaran api di jiwaku. Bahkan dia bisa membuatku tersenyum, meskipun aku sedang bergulat dengan amarah.

Hanum... dia memang spesial. Aku harap dia adalah wanita yang dikirim Tuhan untukku, sebagai imbalan karena aku sudah mengorbankan hidupku demi untuk menikahi wanita yang sama sekali tak pernah kuinginkan.

Berbalas pesan dengan Hanum sedikitnya bisa membuatku lupa dengan musibah apa yang sedang kualami sekamar dengan wanita asing.

Meski sudah bergelar sebagai istriku, tapi di jiwaku dia selamanya akan tetap seperti orang asing.

Membaca balasan pesan dari Hanum membuat bibirku tak henti menyunggingkan senyuman, salah satu hal yang aku hampir lupa cara melakukannya semenjak menikah dengan office girl dan kehilangan Kanaya.

Hidupku berubah suram ketika saksi mengucapkan 'Sah', apalagi setelah mendengar kabar pernikahan Kanaya, tapi tanpa di duga Hanum hadir memberi warna baru.

Mood-ku kembali ambyar saat mendengar 'dia' cekikikan, entah apa yang sedang dilakukannya dengan gawainya.

Apa mungkin dia juga sedang berbalas pesan dengan seseorang, yang juga membuatnya teramat bahagia seperti apa yang sedang aku lakukan?

Tapi kurasa itu tidak mungkin, mungkin dia hanya sedang menonton video lucu.

Lagi pula siapa yang mau melakukan hal itu untuknya? Jika pun ada, pasti hanya orang-orang yang berasal dari golongan yang sama dengannya.

Aku memberinya kode dengan deheman.

Seakan sadar karena aku terganggu, bergegas dia membalikkan badannya dan mengubur tubuhnya di dalam selimut.

Syukurlah, setidaknya dia masih tahu diri.

Sial... gara-gara dia, aku jadi telat membalas pesan Hanum, dan sekarang nomor Hanum sudah tidak aktif lagi.

"Dasar pembuat masalah," gerutuku.

Kelemparkan gawaiku ke atas nakas, dan bersiap untuk tidur. Urusan mama biar besok saja kucari jalan keluarnya. Yang penting sekarang aku istirahat dulu.

Sudah bersusah payah aku agar tertidur, tapi sofa yang menjadi alas tidurku sangat tidak membuatku nyaman.

Berbalik ke kiri dan ke kanan. Mulai dari posisi terlentang dan tengkurap sudah kulakukan, tapi tetap saja tidak bisa membuatku Lena dan terlelap.

Sedangkan dia... sepertinya dia sudah terlelap, tubuhnya yang terbungkus selimut sudah tidak bergerak lagi.

Aku kembali bangkit dan melangkah menuju kamar mandi untuk membasuh mukaku, berharap rasa kantuk sudi untuk menghampiri.

Namun, ternyata nihil, aku masih tak bisa untuk tertidur di atas sofa.

Malam semakin larut, kendati kantuk sudah sedikit terasa, tapi mata masih enggan terlelap.

Tak ada pilihan lain, daripada aku tidak tidur-tidur sampai pagi, aku memutuskan untuk tidur di atas kasur.

Dengan terpaksa aku harus rela berbagi ranjang dengan wanita itu, tapi sebelumnya kuletakkan bantal guling di antara kami sebagai pembatas.

Bagaimanapun aku tak ingin kami saling bersentuhan, meskipun itu terjadi karena ketidak sengajaan saat tertidur.

Pelan-pelan aku duduk dan membaringkan tubuhku. Besok pagi-pagi sekali aku harus bangun terlebih dahulu darinya.

Jangan sampai dia sadar kalau aku tidur seranjang dengannya. Jika bukan karena terpaksa aku juga tidak akan melakukannya.

Baru saja tubuhku rebah dengan sempurna, tiba-tiba dia membalikkan tubuhnya menghadap padaku, sontak aku mengalihkan pandangan padanya.

Tak sengaja mataku menatap pada wajah yang sudah damai dalam tidurnya.

Lama aku mengamati wajah di balik kaca mata itu. Kenapa sepertinya dia....

To Be Continue

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience