Kukeluarkan kemeja hitam yang tersusun rapi dari dalam lemari, kemudian celana slim fit berwarna abu-abu.
Semua pakaianku tersusun rapi dan wangi di sana, dia mengerjakan semuanya dengan baik.
Dia?
Kukibaskan tanganku di udara. Memang sudah sewajarnya dia melakukannya.
Jadi aku tak perlu merasa terkesan.
Setelah selesai bersiap-siap segera aku keluar dari kamarku. Seperti biasa, tujuanku pertama kali adalah ke ruang makan untuk mengisi perut sebelum memulai hari.
Namun, tidak seperti biasanya, saat aku membuka pintu kamar, tak ada lagi aroma masakan yang menyambutku.
Rumah terasa sepi dan sunyi.
Kesunyian semakin terasa saat aku tiba di ruang makan, semua masih seperti apa yang kulihat semalam.
Semua peralatan di sana masih terletak di tempatnya, seperti tak tersentuh.
Di atas meja tak kutemukan kopi dengan asap tipis yang mengepul, begitupun dengan sarapan, tak ada satu pun yang tersaji di sana.
"Dia? Apa yang dia lakukan? Apa dia masih tidur?
Semalam dia tidak memasakkan makan malam untukku, dan sekarang dia juga tidak menyediakan sarapan.
Benar-benar tidak bisa dibiarkan."
Dengan kesal aku meninggalkan ruang makan.
Pintu kamarnya masih terbuka seperti semalam. Apa mungkin dia tidur tanpa menutup pintunya?
Aku melangkah mendekat dan berdiri di ambang pintunya.
Ternyata kamarnya juga masih seperti semalam, tak ada tanda-tanda ada seseorang yang habis tidur di ranjangnya.
Apa jangan-jangan???
Bergegas aku melangkah masuk, tanpa suara kuperiksa seluruh sudut kamarnya, juga kamar mandi, tapi tidak kutemukan keberadaannya. Sepi, sunyi.
Aku beranjak menuju lemarinya, pakaiannya masih tersusun di sana.
Namun, aku tidak tahu pasti apakah ada pakaiannya yang berkurang atau tidak, karena memang selama ini.
Aku tak pernah mau tahu dengan semua tentangnya, termasuk semua pakaiannya.
Tak sengaja mataku tertuju pada kotak kecil yang terletak di atas lipatan bajunya.
Meski sungkan kuraih kotak itu dan membukanya. Kalung... itu adalah kalung yang tempo hari kuberikan pada Hanum.
Aku masih ingat bagaimana cara aku memakaikan kalung itu pada Hanum.
Ah, siapa pun dia, yang jelas saat itu aku menatapnya dengan tatapan cinta.
Aku nyaman dengannya, dan entah kenapa aku merasa perasaan itu masih sama, meski sekarang aku tahu kalau Hanum adalah dia.
Apa aku rindu Hanum?
Entahlah.
Bergegas aku menepis perasaanku. Apa-apaan ini?
Tak seharusnya aku masih merasakan hal itu padanya.
Dia tak pantas menerima rasaku. Semuanya adalah sandiwara! Dia sudah mempermainkan dan membodohiku.
Aku membencinya!
Kutekan kalimat itu pada hatiku.
Gawai dalam kantong celanaku bergetar.
[Jangan lupa pagi ini jam setengah sembilan kita ada meeting, Pak.] Santi.
Dia adalah sekretarisku yang mengurusi semua jadwalku di kantor.
Kuamati jam yang melingkar di pergelangan tangan kiriku, ternyata sudah hampir pukul setengah delapan.
Itu artinya satu setengah jam lagi sebelum meeting.
Bergegas aku keluar dari kamarnya. Aku harus segera berangkat ke kantor, meski dengan perut kosong.
Biarlah, nanti saja aku sempatkan sarapan di kantor sebelum meeting.
Soal dia... mungkin dia sedang pergi ketempat temannya, mungkin dia tidak enak ataupun takut padaku karena ketahuan membohongiku, dan aku yakin nanti dia akan pulang dengan sendirinya.
Mau kemana lagi dia, dia tak punya kerabat di kota ini, lagi pula tak mungkin juga dia berlama-lama menumpang ditempat orang.
Kecuali kalau dia tak punya rasa malu.
Kupacu mobilku menuju ke kantor. Beruntung lalu lintas tidak terlalu ramai, jadi aku tidak perlu berlama-lama di jalan sambil menahan perut lapar.
"Pesankan aku sarapan pagi dan segelas kopi!" titahku pada Santi saat melewati mejanya yang terletak di depan ruanganku.
"Baik, Pak," sahut Santi. Wanita bertubuh sintal dan berkulit putih itu memang selalu bisa diandalkan.
Kuhempaskan bobotku di balik meja kerjaku, beberapa dokumen sudah mengantri di atas mejanya.
Aku yakin itu adalah dokumen yang sudah disiapkan Santi untuk meeting nanti.
"Permisi, Pak." Santi mendorong pintu dan masuk dengan membawa nampan.
Sepiring nasi goreng dan segelas kopi dia hidangkan di meja sofa tempat biasa aku menerima tamu.
"Semua berkas untuk meeting sudah saya siapkan di meja Bapak. Permisi." Santi membalikkan tubuhnya dan keluar dari ruanganku, tubuhnya menghilang di balik pintu kaca yang membatasi ruangan kami.
Lelah... sungguh hari yang sangat melelahkan. Meski bekerja dengan otak, bukan dengan otot, tapi pekerjaanku cukup menguras stamina.
Beruntung semua pekerjaan hari ini ter-handel dengan baik. Tak sia-sia aku sekolah tinggi-tinggi untuk menjadi seorang pimpinan perusahaan.
Namun, sayang, kehidupan personalku berbanding terbalik dengan kemilau karir yang kumiliki.
Saat matahari mulai condong ke ufuk barat, kutinggalkan gedung bertingkat itu untuk kembali pulang.
Layaknya matahari, setelah hampir seharian disibukkan oleh ragam tanggung jawab, aku juga punya peraduan tempatku kembali, untuk melepas penat.
Suasana hening menyambut kepulanganku.
Pintu masih terkunci, sepertinya dia masih belum pulang.
Biasanya setiap aku pulang dari kantor, dia pasti selalu menyambut dan membukakan pintu untukku meski aku tak pernah mengacuhkannya, bahkan terkesan tak perduli dengan apa yang dia lakukan.
Langkahku terhenti, kupandangi setiap penjuru ruangan, entah kenapa rasanya ada yang kurang di rumah ini. Rumah ini seakan-akan mati.
Sepi..
Sunyi ....
Entah dorongan dari mana, seperti tanpa perintah kakiku melangkah menuju kamarnya.
Di dalam hati ada secuil harapan kalau aku akan menemukannya di sana. Namun, nihil, hanya detak jarum jam yang memenuhi ruangan itu.
Kembali aku keluar, berjalan menuju dapur. Tertegun aku mendapati ruangan yang tak kalah terasa sepinya.
Bayangan tentang dia yang sedang menghidangkan makanan menari di pelupuk mata.
Perasaan apa ini?
Aku merasa ada ruang kosong di dalam jiwaku saat dia tak ada di sini.
Padahal selama dua tahun menikah belum pernah aku menikmati kehadirannya, yang ada aku tak pernah menganggapnya ada.
Apapun yang dia lakukan selama ini tak pernah ada artinya bagiku, tapi kenapa saat dia tak ada di sini rasanya ada yang kurang.
Lagi... aku menggelengkan kepalaku, mengusir perasaan aneh yang tiba-tiba menggerayangi pikiran.
Tak mungkin aku merasa kehilangan.
Aku duduk di ruang tengah dan menyulut sebatang rokok.
Kunikmati hisapan demi hisapan aroma tembakau yang dibakar itu kemudian menghembuskan ke udara.
Sedangkan pikiran berkelana memikirkan dia. Kalau sampai dia tidak kembali dan kedua orang tuaku tahu, urusan ini bisa semakin rumit dan posisiku akan terancam.
Aku menganggukkan kepalaku seolah menemukan jawaban, aku bukan takut kehilangannya, tapi lebih tepatnya aku takut kehilangan apa yang selama ini sudah kumiliki selama ini.
Kurogoh phonsel-ku, aku rasa tak ada salahnya untuk menghubunginya dan menanyakan dimana keberadaannya, bagaimanapun juga jika terjadi sesuatu padanya pasti aku yang akan disalahkan.
[Dimana kamu?!]
Setelah menunggu beberapa menit, tak ada tanda-tanda pesan itu sudah dibacanya.
Kumatikan api rokokku di dalam sebuah asbak keramik berwarna putih dan merebahkan tubuhku di sofa.
Kembali kuraih gawaiku, berharap ada pesan balasan darinya, tapi sepertinya sia-sia, jangankan dibalasnya, dibaca pun tidak.
Hari beranjak malam, perasaanku bertambah gelisah saat melihat jarum jam sudah bertengger di angka sembilan.
Kuperiksa lagi pesan yang kukirim padanya. Masih saja sama, centang satu berwarna abu-abu.
Karena tak ada respon kuputuskan untuk menelponnya saja, tanpa pikir panjang kucari namanya dan menekan panggilan. Namun, panggilan tidak tersambung.
"Yulia... dimana kamu.." gumamku.
Seketika aku tertegun disaat aku tersadar mulutku tak sengaja menyebut namanya.
Aku heran pada diriku sendiri, kenapa tiba-tiba aku begitu khawatir padanya.
Padahal seharusnya kubiarkan saja dia pergi, selain karena aku memang tak pernah mengharapkannya.
Dia juga sudah berani mempermainkanku, membuat diriku seperti orang bodoh.
Tidak!
Aku tidak khawatir, aku hanya tak mau dia menambah-nambah masalah.
To Be Continue..
Share this novel