Episode 05: Pa, jelas Aku Masih Normal!

Romance Series 4292

Ternyata dugaanku benar, ketika aku sampai di rumah mobil mas Danang sudah terparkir di garasi.

Rasa gugup, cemas dan takut seketika menghampiriku. Apa yang akan kukatakan nanti jika mas Danang menanyaiku karena ketika dia pulang dia mendapati rumah dalam keadaan kosong?

Kakiku terasa berat untuk melangkah, pelan-pelan kuraih knop pintu dan mendorongnya sedikit karena sudah tak terkunci lagi.

Semakin menggigil rasanya ketika aku mendapati mas Danang tengah duduk di kursi tamu yang langsung menghadap ke pintu.

Dia tampak fokus menatap layar gawai dalam genggamannya.

"Assalamualaikum," ucapku.

Tak ada sahutan.

Jangankan menyahut, mas Danang menoleh pun tidak. Dia seperti tak mendengar apapun.

Kehadiranku sama sekali tak berpengaruh baginya. Namun, setidaknya aku bersyukur, karena dengan begitu aku tak perlu berbohong dan mencari alasan.

Dalam hati aku menertawakan pikiranku sendiri, ternyata aku terlalu percaya diri kalau mas Danang akan mengintrogasiku karena ketika dia pulang aku tidak berada di rumah.

Seharusnya aku sadar, mas Danang tak mungkin perduli padaku.

Aku ada ataupun tidak tak ada pengaruhnya baginya.

Melewati mas Danang, aku melanjutkan langkah menuju ke kamar, dan menyimpan barang-barang yang kupakai sebagai Hanum di dalam lemari paling bawah, tak lupa aku menguncinya.

Sebelum keluar dari kamar, tak lupa kubuka kalung pemberian mas Danang yang masih terjuntai di leherku.

"Hanum.. beruntung sekali kamu," ucapku sambil menatap kalung itu, warnanya putih berkilau.

Aku yakin harganya pasti tidak murah.

Segera aku memasukkan kalung itu ke dalam sebuah kotak berukuran kecil dan menyimpannya di dalam laci meja hias.

Beranjak ke dapur.

Dapur masih terlihat bersih dan rapi seperti ketika aku tinggalkan kemarin. sepertinya mas Danang belum makan apa-apa hari ini.

Sejenak aku berdiri di depan kulkas sembari memilih-milih bahan yang akan kuolah untuk sarapan pagi yang tertunda.

Kukeluarkan seekor ikan gurame berukuran sedang dari dalamnya. Memasak gurame bakar menjadi pilihanku untuk menu hari ini.

Sebagai Yulia peranku hanya seperti ini, memuaskan perut mas Danang.

Sedangkan untuk memuaskan matanya untuk sementara ini biarlah menjadi tugas Hanum, hingga nanti aku mengakhiri semuanya dengan akhir yang saat ini belum terpikirkan olehku akan seperti apa.

Aroma campuran bumbu yang kuracik menguar, merebak kesetiap penjuru ruangan.

Sambil menunggu ikan yang kubakar matang dengan sempurna aku beralih menyiapkan sayuran pendampingnya.

Ya, sebagai Yulia hanya ini yang bisa kulakukan.

Semua hidangan sudah tertata dengan rapi di meja makan. Sebelum memanggil mas Danang, terlebih dahulu kusiapkan piring dan segelas air putih yang kututup. Sengaja tidak langsung kuambilkan ke piring.

Karena biasanya saat aku memanggil mas Danang untuk makan dia tak langsung menanggapi, tapi menunggu beberapa saat kemudian.

Meninggalkan dapur aku melangkah menuju ruang tamu, dimana tadi mas Danang duduk di sana.

Namun, ruangan itu sudah sepi, tak kutemukan lagi laki-laki bergelar suamiku itu di sana, lebih tepatnya suami di atas kertas.

Aku beranjak ke kamarnya.

"Mas, sarapan pagi sudah siap," ucapku setelah mengetuk pintunya.

Tak ada sahutan, tapi sudah tak aneh lagi bagiku, kerena memang itu yang selalu terjadi.

Mas Danang memang enggan untuk bicara denganku. Aku tak ubahnya seperti bicara dengan batu saat bicara dengannya.

Tak pernah ada sahutan dan tanggapan.

Apa aku tidak lelah? Tentu, bahkan aku sangat lelah dengan keadaan ini, tapi mau bagaimana lagi, kami sama-sama bertahan dengan keadaan ini.

Namun dengan alasan yang berbeda. Aku bertahan karena tak ingin membuat malu keluargaku jika aku berstatus janda cerai,

Sedangkan mas Danang bertahan karena tak ingin dicoret dari kartu keluarganya, jika itu terjadi maka otomatis dia kehilangan harta warisan dan kedudukan yang selama ini dia miliki.

Inilah yang disebut dengan pergi sulit bertahan sakit.

Saat hendak kembali ke dapur untuk membereskan peralatan yang kotor, langkahku terhenti ketika mendengar deru mobil berhenti di halaman.

Kuputar langkahku menuju pintu dan membukakannya.

"Papa?" gumamku.

Pak Wicaksono keluar dari mobilnya, laki-laki yang sudah berusia awal lima puluh tahunan itu masih terlihat gagah dan berenerjik.

Dia tersenyum padaku. Semenjak awal pernikahanku dengan mas Danang pak Wicaksono memintaku untuk memanggilnya dengan sebutan 'Papa' seperti panggilan mas Danang padanya.

Sebagai seorang mertua, Pak Wicaksono memperlakukanku dengan cukup baik, dia menganggapku seperti layaknya menantu,

Dia tak pernah mempermasalahkan status sosialku, dia bahkan tak merasa risih sedikitpun meski dulu aku hanyalah seorang office girl di perusahaannya.

Sikapnya sangat bertolak belakang dengan mas Danang.

Kususul dia dan mengulurkan tanganku, kemudian kucium dengan takzim punggung tangannya sebagaimana yang kulakukan pada ayahku.

Pak Wicaksono membalasnya dengan mengusap kepalaku.

Aku menemukan sosok ayah kedua dari beliau.

"Apa kabar, Pa? Sudah lama tidak ke sini," ucapku.

"Belakangan Papa sibuk mengontrol cabang baru," sahutnya.

"Mama kok nggak ikut?"

"Mamamu ada acara sama teman-teman arisannya, tapi dia titip salam buat kamu."

Sama seperti pak Wicaksono, bu Arum istrinya juga begitu baik padaku. Mereka memperlakukanku seperti anak sendiri, hanya saja karena kesibukan mereka kami sangat jarang bertemu.

"Danang mana?" tanya pak Wicaksono setelah masuk ke dalam rumah.

"Ada di kamarnya, Pa," sahutku.

"Di kamarnya? Kalian masih tidur di kamar sendiri-sendiri? Benar-benar keterlaluan anak itu." Pak Wicaksono membuang napas kesal, lalu meninggalkanku di ruang tamu dan melangkah menuju kamar mas Danang.

Dari gelagatnya aku sudah bisa menebak akan ada persidangan setelah ini.

Bergegas aku menyusulnya.

"Danang, buka pintunya!" Lantang suara pak Wicaksono menggema memenuhi ruangan.

Tak menunggu lama, pintu kamar mas Danang terbuka dari dalam.

"Ada apa, Pa?" tanya mas Danang santai.

"Pa, kita sarapan pagi dulu, yuk. Tadi Yulia kesiangan, jadi sarapannya sedikit tertunda," ucapku mengulur waktu, lagi pula mas Danang belum sarapan,

Aku yakin dia butuh tenaga untuk berpikir agar bisa membela diri saat disidang papanya nanti, seperti apa yang dia lakukan sebelum-sebelumnya.

Sebelum pak Wicaksono menolak, aku sudah menggandeng tangannya menuju ke ruang makan.

Ya, aku memang begitu dekat dengan beliau, seakan tak ada sekat, layaknya ayah dan anak.

Di meja makan pak Wicaksono duduk di kursi kepala keluarga, sedangkan mas Danang duduk berhadapan denganku.

Kuambilkan nasi berserta lauk dan sayurannya untuk pak Wicaksono.

"Nggak usah banyak-banyak, tadi Papa juga sudah sarapan di rumah."

Setelah itu kuambilkan juga untuk mas Danang.

Suasana mulai hening.

Pak Wicaksono memang tidak suka ada yang bersuara saat tengah makan, hanya denting sendok yang beradu dengan piring yang sekali-kali terdengar.

Setelah menghabiskan sarapannya, pak Wicaksono menggeser piringnya sedikit ke tengah, lalu meminum air putih yang sudah kusediakan dan mengelap mulutnya dengan serbet.

Sebagai seorang laki-laki papa mertuaku itu cukup disiplin, tidak seperti banyak laki-laki pada umumnya.

Jika dia selesai duluan, maka dia tidak akan beranjak dari tempat duduknya sebelum semuanya selesai.

Mendengar cerita dari Bu Arum, beliau memang terbiasa disiplin karena ayahnya seorang tentara.

"Ada yang mau Papa bicarakan sama kalian," ucap pak Wicaksono memecah keheningan setelah aku dan mas Danang selesai sarapan.

Suasana horror kembali mulai terasa, baik aku maupun mas Danang hanya diam dan menunduk.

"Sampai kapan rencananya kalian akan tidur terpisah?" tanyanya to the point.

Aku sudah menebak kalau beliau akan membahas hal itu.

Hening... tak ada di antara kami yang bersuara.

"Danang, ini sudah tahun kedua, apa kamu sadar, apa yang kamu lakukan itu adalah suatu kezoliman? Itu salah satu dosa besar, kamu sudah menelantarkan istrimu," terangnya.

"Danang tak pernah menelantarkannya, Pa. Bahkan Danang selalu memberi uang --"

"Apa kamu pikir bentuk tanggung jawab itu hanya sebatas uang?!" Pak Wicaksono memotong ucapan mas Danang dan menaikkan nada suaranya.

"Pa, dari awal Danang sudah bilang kalau Danang tidak menginginkan pernikahan ini. Papa yang egois memaksa Danang menikahi dia."

"Dia? Namanya Yulia!" tegas pak Wicaksono.

Mas Danang mengusap wajahnya gusar, dia terlihat sangat tak nyaman dengan pembahasan papanya.

"Dua tahun tinggal seatap, tapi ... Danang, papa curiga, apa jangan-jangan kamu...." Pak Wicaksono menggantung ucapannya dan menatap mas Danang dengan pandangan yang tak bisa kuartikan.

"Apa maksud papa?" tanya mas Danang.

"Kamu masih normal, kan?"

Mas Danang melotot mendengar pertanyaan papanya.

"Pa, jelas aku masih normal!" tegas mas Danang, dia tak terima dengan pertanyaan papanya yang seakan-akan menuduh kalau dia tak normal.

Sedangkan aku?

Aku hanya menjadi penonton dan pendengar yang baik.

"Ok, baguslah kalau kamu masih normal, tapi papa tidak akan percaya sebelum ada buktinya." Dari nada bicaranya terkesan pak Wicaksono meremehkan mas Danang.

"Apa maksud Papa?"

"Papa mau bukti kalau kamu memang laki-laki normal. Kasih papa dan mama cucu secepatnya!"

"Apa?!" tanya mas Danang seolah-olah ucapan papanya itu adalah sebuah kemustahilan.

"Kasih kami cucu, karena warisan hanya akan Papa berikan kepada cucu Papa." Sepertinya pak Wicaksono selalu menggunakan hartanya sebagai senjatanya untuk mengalahkan Mas Danang.

Mungkin beliau tahu bagaimana watak anak semata wayangnya yang begitu takut kehilangan harta dan tahta.

Mas Danang menggelengkan kepalanya, begitu juga denganku. Aku juga merasa permintaan papa itu sesuatu yang mustahil dan tak akan mungkin pernah terjadi.

"Semua tergantung padamu." Pak Wicaksono meneguk kembali air putihnya, kemudian melangkah meninggalkan meja makan.

To Be Continue

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience