Merasa heran, aku ikut menatap diriku. Ya Tuhan ... aku lupa memakai gamis dan jilbabku. Kenapa aku bisa seceroboh ini?
Astagah.. penyamaranku?
Bergegas aku berbalik hendak menuju kamar. Namun, sebuah tangan menahan pergelanganku terlebih dahulu.
"Yulia?" panggilnya.
Langkahku terhenti, dengan wajah menunduk aku membalikkan tubuhku untuk menghadap kembali padanya.
"Ini benar-benar kamu, kan, sayang?" tanyanya tak yakin.
Perlahan aku menganggukkan kepala, malu sekali rasanya berhadapan dengan mama mertua dengan tampilan seperti ini.
Mendadak tubuhku terasa semakin mengecil karena mama Arum mamanya mas Danang memperhatikanku dari ujung kaki ke ujung kepala.
"Kamu cantik, sayang." Beliau membingkai wajahku dengan kedua tangannya.
Ya Tuhan... mamanya saja bisa mengenaliku, tapi kenapa suamiku sendiri tidak?
"Ma-masuk, Ma," ajakku sungkan.
Setelah mempersilakan Mama mas Danang duduk, bergegas aku ke kamar dan mengganti pakaianku tak lupa kukenakkan kembali jilbabku.
"Kenapa diganti?" tanya Mama Arum dengan kening berkerut.
"Nggak enak aja, Ma," sahutku.
Mama Arum menepuk kursi di sampingnya, menyuruhku duduk di sana.
"Mama sudah dengar cerita dari papa kalian. Apa benar kalau kalian masih tidur di kamar terpisah?"
Aku tak berani membalas tatapan wanita berkulit putih itu.
"Yulia?" serunya.
"I-iya, Ma," sahutku terbata.
"Benar-benar anak itu," gerutu mama Arum sambil meremas-remas tangannya kesal.
"Tidak apa-apa, Ma. Mungkin mas Danang."
"Sudah, kamu tidak perlu membelanya, biar Mama sendiri yang akan memberinya pelajaran!"
"Jangan, Ma. Eh, maksud Yulia nggak usah, mungkin mas Danang masih butuh waktu." Bisa gawat kalau mama mertua ikut campur tangan, bisa-bisa rencanaku ikutan ambyar.
"Yulia... maafkan Mama, ya. Mama nggak bisa membuat Danang menjadi suami yang baik untukmu." Mama Arum mengusap lenganku.
"Tidak apa-apa, Ma. Yulia ikhlas," sahutku dengan senyum merekah.
"Ikhlas, tapi aku punya rencana sendiri," lanjutku dalam hati.
Sekarang mungkin mas Danang bisa mengabaikanku, tapi aku berjanji kalau nanti akan kubuat dia menyesal karena sudah menyia-nyiakan aku.
"Maaf juga kerena mama nggak bisa sering-sering nengokin kalian ke sini."
Aku mengangguk maklum, karena mama mertuaku itu memang sibuk, meskipun sudah berkecukupan malahan berlebihan materi, tapi dia tetap gigih, di usianya yang sudah memasuki awal lima puluh tahunan mama Arum masih gesit mengurus beberapa butik dan restoran miliknya.
Wanita yang mandiri adalah julukan yang tepat untuk disematkan pada sosoknya.
"Tapi malam ini Mama akan menginap di sini."
"Mama akan pastikan kalian akan tidur sekamar!" tegasnya. "Mumpung papa kalian lagi keluar kota."
Apa yang harus aku lakukan? Tak mungkin juga aku melarang mama Arum untuk menginap di rumah anaknya sendiri.
"Iya, Ma, terserah mama saja," ujarku pasrah.
Menjelang sore, aku dan mama Arum menyibukkan diri di dapur untuk menyiapkan makan malam.
Meski dari keluarga berada, tapi selama aku mengenalnya sebagai mertua mama Arum tidak punya asisten rumah tangga, katanya lebih afdol kalau mengurusi rumah tangga sendiri.
"Kamu tolong iris sayuran ini, biar Mama yang memasakkannya," ucap Mama Arum sambil meletakkan wortel, brokoli, kembang kol, sawi putih, sawi ijo, baby corn, jamur kancing dan jamur kuping di atas meja.
"Capcay adalah salah satu makanan fovorit Danang," ujarnya, sedangkan tangannya sibuk memotong-motong ayam.
"Selama dua tahun tinggal seatap apa kalian belum pernah." Mama Arum tidak melanjutkan ucapannya, tetapi dia malah memandangku dengan pandangan yang entahlah.
"Apa, Ma?" tanyaku sambil terus fokus dengan tumpukan sayuran di hadapanku.
"Apa kamu .. beneran.. masih... segelan? Belum dicoblos gitu?" tanyanya tanpa sungkan.
Aku tersedak mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut ibu mertuaku itu.
Dicoblos? Udah kayak pemilu aja. Beruntung pisau dalam genggamanku tidak melukai jariku karena saking kagetnya aku mendengar pertanyaannya.
"Ya udah, nggak usah dijawab, karena Mama udah tahu jawabannya." Mama Arum kembali fokus pada kegiatannya.
Hening... tak ada lagi pembicaraan di antara kami. Kami sama-sama sibuk dengan kegiatan masing-masing.
Hidangan makan malam sudah tersaji di meja makan. Mama Arum tersenyum puas melihat hasil kerjanya.
Sambil menunggu mas Danang pulang aku menemani mama Arum, mendengarkan dia bercerita tentang banyak hal.
S-sesekali dia mengajakku bercanda, sungguh aku merasa beruntung memiliki mertua seperti dia, tapi sayang keberuntungan itu tidak sejalan dengan hubunganku dengan suamiku sendiri.
Menjelang magrib mas Danang sudah pulang, terdengar suara mobilnya yang sudah berhenti di halaman.
Aku yang kala itu tengah duduk di samping mama Arum bergegas bangkit untuk membukakan pintu.
"Sudah, biarkan saja dia masuk sendiri," cegah mama mertuaku sambil memegang tanganku agar aku tidak berdiri.
"Tapi, Ma?"
"Ssstttt ... jangan protes!" Kalau sudah begitu apalagi yang bisa kulakukan?
"Mama? Kenapa di sini?" tanya mas Danang ketika menemui kami tengah duduk di ruang tengah.
Namun, tak sedikitpun matanya melirik padaku, padahal aku duduk tepat di samping mamanya.
"Kamu lupa cara mengucapkan salam dan adab saat bertemu dengan orang tua?"
"Lagi pula memangnya kenapa kalau mama di sini? Kamu tidak suka?"
Mas Danang tampak menarik napas dalam, lalu menghembuskannya perlahan, dia mendekat pada mamanya, menyalami dan mencium tangan wanita yang paling berjasa dalam kehidupannya.
"Pada istrimu?" tanyanya ketika mas Danang hendak berbalik.
"Danang!" tegur Mama Arum ketika melihat mas Danang tetap melanjutkan langkahnya seperti tak mendengar ucapan mamanya.
"Ma.. udah... nggak apa-apa," ujarku.
"Tidak bisa dibiarkan ini," ketusnya, kemudian menyusul mas Danang yang sudah masuk ke kamarnya.
Dari ruang tengah samar-samar kudengar perdebatan antara ibu dan anak itu.
Tanpa kudengar dengan seksama pun aku sudah tahu apa yang tengah mereka perdebatkan. Apalagi kalau bukan tentang aku.
Perdebatan mereka masih belum usai bahkan saat adzan magrib berkumandang.
Dari dalam kamar mas Danang suara mama lebih mendominasi, sedangkan mas Danang hanya sesekali saja menjawab.
Tapi nampaknya jawaban yang dia lontarkan hanya semakin menyulut amarah mamanya.
Aku memilih untuk masuk ke kamarku dan melaksanakan shalat, mengabaikan mereka yang masih berdebat di dalam sana.
Namun, saat aku mengucapkan salam ternyata mama Arum juga sudah shalat di belakangku.
Syukurlah, setidaknya mereka bisa meng-cancel perdebatan mereka untuk melaksanakan perintah Tuhan terlebih dahulu.
Entah dengan mas Danang, selama menikah aku belum pernah melihatnya shalat sekali pun.
"Sudah jadi suami tapi masih belum jadi imam. Istri dibiarkan shalat sendiri, tidur sendiri. Payah!" gerutu mama Arum saat melepas mukenahnya.
Aku hanya diam, tak ingin menanggapi karena tidak mau semakin memantik api kemarahan mama mertuaku itu.
"Kita makan malam dulu, yuk, Ma," ajakku berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Kamu juga. Seharusnya dalam rumah jangan pakai pakaian seperti ini."
"Pakai baju yang bisa memancing hasrat suami."
"Kalau kalian seperti ini terus kapan mama akan menimang cucu?"
"Mama juga ingin seperti teman-teman mama, setiap bertemu mereka sangat antusias menceritakan kelucuan cucu-cucu mereka."
"Sedangkan mama? Jangankan punya cucu, menantu aja masih segelan."
Akhirnya aku juga ikut menjadi sasaran omelan mama Arum.
Sebenarnya aku juga ingin, ma.. aku juga ingin seperti istri-istri di luar sana, aku juga ingin mendengar rumah ini dipenuhi oleh kebisingan suara anak-anak.
Tapi mau bagaimana lagi, jangankan aku berpenampilan seksi nan menggoda.
Melihatku melepas jilbab saja mas Danang sudah jijik. Keluhku dalam hati.
Saat mama Arum keluar dari kamar, aku mengambil kesempatan untuk mengambil gawaiku ketika menjadi Hanum dan mengantonginya.
Tak lupa kuatur mode silent-nya. Jangan sampai mama Arum mengetahui peran yang sedang kulakoni.
Kemudian aku menyusulnya ke luar, menuju ke ruang makan. Mas Danang juga sudah duduk di sana.
Aku ikut menghenyakkan tubuhku tepat di hadapan mas Danang.
Kuambil piring dan mengisinya dengan nasi beserta menu lain yang sudah kami masak tadi siang lalu memberikannya pada mas Danang.
Dia menerima, tapi seperti biasa tak sedikitpun dia melirik padaku.
Mama Arum membuang napas kesal, dari ekor mata aku melihat dia bergantian menatap kami.
Selama makan malam mama Arum terus merengut, bahkan dia sengaja menghentak-hentakkan sendoknya pada piring sehingga menimbulkan suara gaduh.
Sepertinya dia sedang meluapkan kekesalannya.
Dengan canggung aku melanjutkan makan malamku, mengabaikan kekesalan mama mertua.
Setelah menghabiskan porsinya mama Arum beranjak meninggalkan meja makan, disusul oleh mas Danang kemudian, sedangkan aku lanjut membereskan meja makan.
Saat sedang mengangkat piring kotor ke westafel, aku mendengar suara jeritan mama Arum.
Kuletakkan piring begitu saja, kemudian bergegas menuju suara mama Arum.
Aku menemui mama mertuaku sudah bersimpuh di tepi pintu kamar tamu, tempat yang memang sengaja disedikan jika ada kerabat yang ingin menginap.
Mama mertuaku meringis sembari memegang kakinya.
Mungkin dia terjatuh. Pikirku.
Selang beberapa saat mas Danang juga tiba.
"Mama kenapa?" tanyanya panik.
Tak ada sahutan, mamanya terus saja meringis.
"Ayo, Danang bantu." Mas Danang mengulurkan tangannya.
"Yulia, tolong pegangin tangan mama," ucapnya sambil mengulurkan tangan kirinya padaku.
Tanpa pikir panjang bergegas aku meraih tangannya.
Pelan-pelan aku dan mas Danang membantunya untuk berdiri. Namun, apa yang terjadi?
Saat mama Arum sudah berdiri dengan sempurna dia malah mendorongku dengan mas Danang masuk ke dalam kamar, dan langsung menutup pintu.
"Itu hukuman untuk kalian! Jangan harap kalian bisa keluar jika kalian masih belum menyempurnakan pernikahan kalian," teriak mama Arum dari luar
To Be Continue
Share this novel